"Kenapa kamu masih berdiri di situ sayang?" Perkataan Davina membuat Topan tersadar dari keterkejutannya. Davina menambahkan dengan tatapan dan senyum nakal. "Kemari lah, sayang. Aku ... " Davina melirik dirinya yang tengah berpose menggoda, hanya sekadar ingin memperlihatkan apa yang tengah ia lakukan kepada sang suami. "Bukannya langsung kemari dan menerkamku saat melihatku dalam keadaan seperti ini." Tepat Davina menyelesaikan kalimatnya, Topan buru-buru menarik kaos yang melekat di tubuhnya. Gerakannya cepat, hampir tergesa, hingga kaos itu terlepas begitu saja dan terlempar ke sisi ranjang. Setelah itu, ia bergegas menuju ke arah ranjang dengan rasa bahagia membumbung tinggi dan hasrat yang telah memuncak. Apalagi saat mendapati istrinya telah terbuka sepenuhnya. Baik hati mau pun tubuhnya. Tentu saja kali ini Topan tidak lagi menahan diri seperti sebelumnya. Pun sudah tidak ada keraguan sedikit pun. Di hadapan sang istri, perut bidang dengan otot-otot sispack yang
Davina menelan ludah, tubuhnya tiba-tiba menegang begitu merasakan bisikan Topan yang sangat dekat di telinganya. Panas merambat di wajahnya seketika. Di titik ini, ia teringat perkataannya tadi tentang hal itu dan kini membuatnya malu bukan main. Akhirnya, setelah berhasil menguasai diri, Davina menganggukan kepalanya pelan. Setelah itu, ia langsung memalingkan muka sebab tidak tahan bertatapan dengan sang suami. Meski hanya lewat anggukan kepala, itu sudah membuat senyum tersungging lebar di bibir Topan. Seketika hatinya langsung berbunga-bunga. Sementara itu, Davina menahan napas, hatinya tengah berdegup kencang. Selama ini ia selalu menolak, galak, bahkan jutek pada Topan. Tapi sekarang, entah mengapa, ia merasa ingin menyerah pada dekapannya. Dengan perasaan senang, Topan kembali mendekat perlahan, penasaran apakah Davina akan menggeser tubuhnya atau tidak. Tapi ternyata tidak, Davina tetap bergeming meski Topan menyadari sang istri gugup. Untuk menutupinya, Davina men
Setelah beberapa saat Davina terdiam agak lama dengan napas naik-turun, ia memejamkan mata, tengah mencerna semuanya. Akhirnya, dengan berat hati, ia membuka mata. Davina, dengan nada getir berkata lirih, "Baiklah, aku percaya kali ini." Mendengar itu, Topan terperanjat. Sedangkan Indira terkejut. Tanpa mempedulikan reaksi keduanya, Davina menatap dalam mata Topan. "Karena aku tahu kamu bukan tipe pria yang memaksakan diri. Dan... karena aku juga tahu Indira terlalu membencimu untuk mau benar-benar bersama denganmu." Seketika wajah Topan dipenuhi haru sekaligus lega. "Terima kasih sayang. Terima kasih karena kamu sudah mau percaya." Balas Topan dengan bibir dan suara bergetar seraya menggenggam tangan sang istri. Indira yang melihat pemandangan itu jadi kesal. Rasa cemburu kembali membakar dirinya. Entah kenapa, setiap kali melihat keduanya memamerkan kemesraan di hadapannya, hatinya memanas. Namun kali ini ia mencoba menekan perasaan itu sebab posisisnya yang tengah terancam.
Tanpa diminta, Topan lanjut menjelaskan kejadian tadi di dalam kamar mandi, tentu saja tidak menyertakan apa yang dilakukan dengan sengaja oleh Indira kepadanya. Begitu mendengar penjelasan Topan, Davina tercekat. Kata-kata itu membuatnya terdiam sejenak, meski rasa sakit di hatinya belum berkurang. Sedangkan Indira tercengang, tapi ia segera sadar bahwa pria tampan itu sedang menutup mulutnya rapat-rapat tentang apa yang sebenarnya terjadi. Demikian, ia juga terpaksa harus melakukannya. Tanpa menoleh ke belakang, Davina angkat bicara. "Kau pikir aku percaya begitu saja?!" suara Davina meninggi, penuh dengan luka yang tak terbendung. Didengar dari nada bicaranya, kentara masih marah. Topan memasang wajah tidak berdaya, tapi ia tetap berusaha meyakinkan sang istri. "Kamu mau percaya atau tidak, tapi itu yang terjadi, sayang. Aku tidak bohong. Aku bersumpah, sayang. Tidak terjadi apa-apa antara aku dan Ibu di dalam kamar mandi. Aku tidak pernah sekalipun berniat mengkhianatimu, apa
Davina melangkah mundur, dadanya tengah naik turun menahan gejolak. Wajahnya seketika pucat. Jantungnya berdentum keras, seakan tidak mampu menerima apa yang baru saja disaksikan. Ada panas yang menjalar di matanya, bercampur antara kemarahan dan rasa sakit yang menikam. "Aku baru saja pulang dan mendapati Ibu tiriku ada di dalam kamarku dengan hanya mengenakan handuk saja di tubuhnya dan lalu kau muncul dari dalam sana juga!" seru Davina parau, seperti pisau yang tergores di tenggorokan. "Berarti, sebelumnya kalian berdua berada di dalam, bukan? Apa aku terlihat sebodoh itu untuk tidak mengerti?!" Lanjut Davina dengan suara meninggi sekaligus bergetar. Sebab kini ia langsung berpikir yang tidak-tidak, langsung berpikir kalau keduanya berbuat hal mesum di dalam kamar mandi! Indira sendiri memilih menunduk, wajahnya juga pucat, pura-pura tidak berdaya, membiarkan keduanya salah paham. Meski ia masih takut dengan sosok Topan, tapi ia menikmati situasi ini, menyaksikan Davina run
Namun, begitu bayangan tatapan tajam Topan kembali terlintas, ide itu seketika gugur. Aura dingin dan mengerikan yang sempat membuat tubuhnya bergetar masih membekas. Ancaman Topan seolah bergema kembali di telinganya: 'Kalau aku tahu kau bermain di belakang Ayah Gunawan, aku sendiri yang akan mengadukannya.' Kala teringat hal itu, ketakutan langsung melanda diri Indira. Indira menggigit bibir bawahnya, lalu buru-buru menepis pikiran busuk itu. Ia sadar, mencoba menjebak Topan hanya akan menjadi bumerang besar untuk dirinya sendiri. Akhirnya, setelah terdiam sesaat, Indira kembali menatap Davina. Ia menghembuskan napas berat dan berkata, "Sungguh, Davina. Aku hanya mau mandi saja di dalam kamar mandimu karena shower di kamar mandiku rusak. Hanya itu saja dan ini aku sudah selesai mandi dan sebenarnya mau langsung pergi tapi kau keburu datang!" Indira mengulangi penjelasannya, berusaha meyakinkan Davina. Sedangkan Davina memicingkan pandangan mendengar hal itu, mencerna penjela