Lima tahun yang lalu, Rafandra meninggalkan keluarganya karena tidak mau berkonflik dengan ibu tiri dan adik-adiknya.
Konflik dalam keluarga Sanjaya memuncak ketika ibu tiri dan adik-adiknya menggunakan dana perusahaan untuk menyuap para pemegang saham dan jajaran direksi agar tidak menjadikan Rafandra sebagai CEO Sanjaya Invastement Bank, yang menyebabkan salah satu anak perusahaan Grup Sanjaya mengalami PHK massal.
Demi menstabilkan perusahaan keluarganya dan mencegah kerugian lebih lanjut, Rafandra memutuskan untuk meninggalkan keluarga Sanjaya dan melepaskan semua jabatan eksekutifnya di Grup Sanjaya.
Dia melakukannya setelah mendengar kabar bahwa beberapa pekerja yang terkena PHK massal bunuh diri. Keuangan salah satu anak perusahaan Grup Sanjaya hancur lebur sampai harus menutup perusahaan dan pabrik-pabriknya.
Sejak saat itu, Rafandra memilih keluar dari Grup Sanjaya agar tidak terjadi hal yang sama. Dia takut ibu dan adik-adik tirinya melakukan hal yang sama selama dia masih berada di Grup Sanjaya. Dia pun tidak ingin berkonflik langsung dengan mereka karena penyakit ayahnya.
Awalnya Tuan Martin selalu menolak pemberian Rafandra. Dia selalu berkata: “Aku tidak bisa menerimanya, Rafandra. Uang ini terlalu banyak.”
Tapi perlahan-lahan Rafandra berhasil membujuknya. Dia menggunakan titik lemah Tuan Martin, yaitu para pekerja. Rafandra mengatakan bahwa uang ini bisa menghindarkan para pekerja dari pemecatan. Jika perusahaannya bangkrut para pekerjalah yang menjadi korban.
Rafandra memang memiliki trauma besar terhadap PHK massal. Dia menyaksikan sendiri dampak buruknya terhadap para pekerja dan keluarganya. Saat itu dia benar-benar hancur. Pikirannya kacau dan dipenuhi rasa bersalah meski dia bukan penyebab langsung PHK mereka.
Karena itu Rafandra sangat ingin membantu Tuan Martin menyelamatkan perusahaannya. Selama dua bulan lebih, Rafandra telah dibuat terharu oleh Tuan Martin. Dia menjalani perawatan intensif di rumah sakit dua bulan lamanya. Selama itu pula Tuan Martin selalu meluangkan waktu menjenguknya, meski tidak setiap hari.
Pada bulan pertama, Rafandra hanya terbaring di atas ranjang rumah sakit tanpa bisa melakukan apa-apa, dan Tuan Martin adalah satu-satunya orang yang selalu mendampingi dan membiayai seluruh pengobatannya. Kebaikannya membuat Rafandra tidak berpikir dua kali untuk memberikan uangnya.
Ingatan tentang Tuan Martin selalu muncul setiap kali Rafandra mendapat perlakuan buruk dari keluarganya seperti yang terjadi hari ini.
Hari ini dia harus berjalan keluar dengan kepala tertunduk. Istrinya sendiri tidak menghendaki kehadirannya. Dia lebih senang berdampingan dengan Max Hendrawan dan Alex Gunawan di atas sana.
“Kenapa kau keluar? Kau harus melayani mereka,” ucap seorang satpam yang menjaga pintu.
Rafandra tidak mempedulikan ucapan satpam tersebut. Dia berjalan melaluinya tanpa sedikit pun melihatnya.
“Kurang ajar!” hardik satpam itu. Dia berjalan mendekati Rafandra.
Sebelum dia sampai di samping Rafandra, sebuah mobil mewah berhenti di depan pintu masuk perusahaan. Satpam itu bergegas tersenyum menghampiri mobil tersebut.
Dari dalam mobil keluar seorang wanita cantik yang sangat elegan. Dia adalah Sofia Roberts. Di pintu satunya keluar Henry Roberts, kakak laki-laki Sofia. Mereka adalah pewaris Roberts Enterprise.
“Selamat datang, Tuan Henry dan Nona Sofia,” sapa satpam tersebut sopan.
Wanita muda itu memberi tips yang cukup besar pada satpam tersebut, lalu berjalan masuk melewati Rafandra tanpa menyapanya. Sementara Henry sempat melirik ke arah Rafandra untuk sesaat.
Henry dan Sofia adalah pewaris salah satu keluarga terkaya di Kota Loven. Di usianya yang masih sangat muda, mereka sudah menjadi direktur di Roberts Enterprise yang memiliki banyak lini usaha. Hampir semua orang mengenal mereka karena sering muncul di televisi.
“Kau lihat mereka, sayang. Bagaikan langit dan bumi,” ucap seorang wanita paruh baya dengan dandanan mewah. Dia dan suaminya baru saja turun dari mobil yang berada di belakang mobil Henry Roberts.
“Kau salah,” kata suaminya. “Yang benar bagaikan langit dan dasar laut,” lanjutnya sembari tertawa menatap Rafandra dengan sinis.
Wanita paruh baya itu tertawa dengan memukulkan tasnya pelan ke dada suaminya. Begitu juga dengan satpam yang sedang berdiri menyambut mereka.
Kemudian satpam itu mendekati dua orang berpakaian mewah tersebut dan bertanya:
“Bisa Tuan dan Nyonya tunjukkan surat undangan resmi perusahaan kami?” tanyanya dengan sopan.
Pria paruh baya itu mengambil surat undangan dari saku dalam jasnya dan memberikannya kepada satpam tersebut.
“Oh, rupanya Tuan Robin Andreas dan Nyonya Angeline Darmawan. Maaf tidak mengenali kalian,” ucap satpam itu menundukkan kepalanya.
Tanpa mempedulikan satpam tersebut, Robin mendekati Rafandra.
“Selamat datang, Paman Andreas,” sapa Rafandra setelah pria paruh baya itu mendekat.
“Kau bukan keponakan kami! Kau tidak berhak memanggilnya Paman!” sela Angeline dengan keras. Dia adalah adik kandung Alan Darmawan, ayah Alexa Darmawan.
Karena suaranya yang keras, banyak orang yang keluar masuk perusahaan melihat ke arah Rafandra. Mereka semua menatapnya dengan tatapan sinis. Semua orang memperhatikan pakaian pelayan yang dipakai Rafandra.
“Aku menikahi Alexa. Bukankah itu membuatku menjadi keponakan kalian?”
Robin Andreas bergegas menutup mulut Rafandra dan menggelengkan kepalanya.
“Ayah mungkin menerimamu, tapi kami tidak. Orang miskin dan tidak berguna sepertimu tidak pantas menjadi keluarga kami,” bisik Robin sembari menyentuh dada Rafandra beberapa kali dengan jari telunjuknya.
Rafandra menatap Robin dengan tajam. Dalam sorot matanya tidak ada rasa takut sama sekali.
“Kau berani menatap suamiku seperti itu! Dasar pelayan rendahan!”
Plakk...
Angeline menampar pipi Rafandra dengan sangat keras.
“Pakaian suamiku lebih berharga dari kedua matamu!”
Kejadian itu menarik perhatian semua orang karena terjadi di pintu masuk perusahaan. Banyak orang yang mendekati titik kejadian itu, termasuk orang-orang yang sudah berada di dalam hall perusahaan.
Hal itu membuat Alexa dan keluarganya penasaran. Mereka bertanya-tanya kenapa banyak orang yang baru saja masuk ke dalam memilih keluar lagi. Mereka pun berjalan menuju pintu keluar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
“Kau masih berani menatap suamiku seperti itu!” ucap Angeline dengan keras. Lalu dia melayangkan tangannya kembali untuk menampar pipi Rafandra.
Namun kali ini Rafandra tidak tinggal diam. Dia menangkap tangan Angeline sebelum mengenai pipinya.
“Tante tak punya hak menampar wajahku!” ujar Rafandra penuh penekanan.
Tapi...
Plakk...
Sebuah tamparan yang jauh lebih keras mengenai pipi Rafandra yang sebelah kiri.
“Bagaimana denganku?! Apa aku juga tak punya hak menamparmu?” ucap Anett Wongso.
Rafandra terkejut mendapat tamparan keras ini. Dia menatap ibu mertuanya dengan tajam, tapi tatapannya melunak setelah melihat Alexa menatapnya dengan menggelengkan kepalanya beberapa kali.
Ada raut kecewa di wajah Alexa. Dia merasa suaminya telah membuat kekacauan di hari paling penting dalam hidupnya. Alexa berjalan menghampiri Rafandra. Dia menatap Rafandra dengan tajam, lalu...
Plakk...
“Dasar pelayan tidak berguna! Lebih baik kau pergi sekarang!” bentaknya sangat keras.
Rafandra mengepalkan tangannya. Pagi ini dia telah menerima tiga kali tamparan dari tiga orang berbeda. Seumur hidupnya, dia belum pernah mengalami hal seperti ini.
Setelah cukup lama menatap Rafandra, Alexa kembali masuk ke dalam meninggalkan kerumunan itu diikuti oleh Max Hendrawan. Sementara Alex Gunawan masih berdiri di samping Annet Wongso.
Rafandra masih tertunduk sembari mengendalikan amarah di hatinya.
“Pergi kau dari sini! Dasar sampah!” kutuk Anett. Lalu dia mengarahkan pandangannya pada para satpam yang menjaga pintu masuk. “Jangan biarkan dia masuk. Usir dia dari sini agar acara pembukaan berjalan lancar!”
Rafandra berjalan sambil tertawa kecil yang dapat didengar orang-orang di belakangnya.Wajah-wajah mereka terlihat geram mendengar tawa Rafandra yang penuh ejek, termasuk Alexa.Setelah Rafandra masuk ke dalam rumah, Alan, Annet, Alexa dan lainnya berjalan masuk ke ruang utama kediaman Keluarga Darmawan.“Aku melihat dan mendengar apa yang terjadi,” kata Wendy Satriawan yang sedang duduk di sofa ruangan tersebut.Alexa dan lainnya pun duduk di sofa besar yang ada di ruang utama kediaman.“Sepertinya kita harus mempercepat rencana kita, Anakku,” kata Wendy sambil menatap Alan.“Mamah benar. Aku harus mempercepat semuanya,” jawab Alan.Selain mereka berdua, tak ada seorang pun yang mengetahui rencana tersebut.“Sebenarnya apa rencana kalian?” tanya Annet penasaran.“Kalian tak perlu tahu. Yang penting hasilnya dapat kalian rasakan,” ujar Wendy dengan tenang.****Mentari pagi bersinar indah. Udaranya menghangat setelah malam yang dingin. Tak terasa satu minggu sudah Rafandra menjadi sop
“Dia bekerja di mana?” tanya Alan Darmawan kepada Alexa.Saat ini Keluarga Darmawan sedang berkumpul makan siang di sebuah restoran mewah. Setelah Alexa menyampaikan kepada keluarganya bahwa Rafandra sekarang bekerja, mereka langsung mengadakan pertemuan. Hampir semua anggota Keluarga Darmawan hadir di pertemuan kali ini.“Aku tidak tahu, Pah. Dia belum memberitahukannya kepadaku,” jawab Alexa.“Apa yang membuatnya berubah? Apa kalian tahu penyebabnya?” tanya Annet Wongso. “Sebelumnya dia akan diam saja diperlakukan buruk oleh kita, tapi kenapa sekarang dia mulai berulah?”Semua orang terdiam sambil berpikir masing-masing. Ada yang menggaruk-garuk dagunya; ada pula yang memegangi keningnya.“Apa mungkin dia tahu perjanjian kita dengan Kakek Martin?” tanya Richard Darmawan. “Sepertinya tidak ada alasan lain selain ini.”“Tapi dari mana dia mengetahuinya? Hanya kita sekeluarga yang mengetahuinya,” ujar Alan.“Kita harus mengujinya, Pah,” kata Frida Darmawan.“Dengan cara apa?” tanya Ann
Rafandra agak terkejut mendengar hardikan Sofia, tapi dia tidak berani melihatnya.Blug... blugg... blugg...Beberapa kali Sofia memukul-mukul kursi mobil di sampingnya. Dia terlihat sangat kesal.Kriing... kringg...Ponsel Sofia berbunyi beberapa kali.“Ke mana saja kau?! Tidak mengangkat telepon dan tidak membalas pesanku!” ujar Sofia setelah mengangkat teleponnya.“Maaf, aku baru saja meeting dengan Tuan Harry Maruti dari Silken Woven,” jawab Henry Roberts, kakak Sofia Roberts.“Kenapa kau melakukan pertemuan dengannya?” tanya Sofia penasaran.“Ayah ingin memasuki bisnis fashion. Dia menyuruhku untuk datang ke Silken Woven,” kata Henry pelan. “Bagaimana hasil dari pertemuanmu dengan Paman Larry dan lainnya?”“Kacau! Sangat kacau! Mereka meminta kenaikan persentasi jika ingin melanjutkan kontrak kerja sama. Jika tidak, mereka tidak keberatan untuk mengakhiri kerja sama ini.”“Berapa yang mereka minta?”“Tujuh puluh persen dari laba bersih.”“Kurang ajar!” kutuk Henry dengan nada mar
Rafandra langsung menginjak pedal gas mobil dengan lembut. Sesekali dia mencuri-curi pandang ke arah Sofia Roberts melalui kaca tengah yang sedang membaca berkas yang ada di tangannya.Gludak...Rafandra tak sengaja melewati jalan berlubang yang membuat Sofia kaget. Berkas yang ada di tangannya pun jatuh ke bawah.“Bagaimana bisa mereka menerima sopir sepertimu? Dasar orang-orang tidak kompeten!” ucap Sofia cukup keras.Dia membungkukkan tubuhnya untuk mengambil berkas-berkas yang jatuh ke bawah.“Maafkan aku, Ibu Direktur. Aku...”“Sudah! Jangan banyak bicara! Perhatikan jalanan depan dengan baik. Jika kau melakukannya sekali lagi, aku tidak segan-segan memecatmu.”“Baik, Bu,” jawab Rafandra pelan.Dia semakin berhati-hati dalam membawa mobil agar kejadian yang sama tidak terjadi lagi.Tak berselang lama, mereka sudah sampai di depan kantor utama Grup Gunawan yang sangat besar. Di depan pintu besarnya, berdiri beberapa orang menyambut kehadiran Sofia Roberts.Rafandra bergegas turun
“Tuan Rafandra!” panggil wanita yang bertugas di bagian pemberkasan.Rafandra bergegas masuk ke dalam ruang wawancara. Dia melihat seorang laki-laki paruh baya dan seorang wanita yang berusia tidak jauh darinya. Mereka duduk di balik meja yang cukup panjang.“Silakan duduk!” ucap laki-laki itu.“Terima kasih, Tuan.”“Perkenalkan dirimu sendiri dan pengalaman kerja yang kau miliki,” kata wanita yang berada di samping laki-laki itu.“Namaku Rafandra. Aku tidak memiliki pengalaman kerja yang berarti. Tapi aku memiliki kemampuan menyetir yang cukup baik menurutku.”Kedua orang tersebut mendengarkan ucapan Rafandra sembari membuka-buka map yang berisi berkas-berkas Rafandra. Mereka terlihat sangat terkejut sampai kening mereka mengernyit.“Apa kau benar-benar lulusan jurusan manajemen bisnis Universitas Camford?” tanya wanita tersebut.Dia menatap Rafandra dengan tajam. Begitu juga dengan laki-laki paruh baya di sampingnya.“Benar. Aku lulusan Universitas Camford. Tuan dan Nyonya bisa meng
“Aku dengar Papa masih terus mencari-cari Mas Rafandra, Mah. Jika dia pulang, posisi kita akan benar-benar sulit,” kata Darmian Sanjaya.“Benar, Mah. Kita harus melakukan sesuatu,” ujar Valeria Sanjaya.Saat ini semua saudara satu ayah beda ibu Rafandra sedang berkumpul di rumah Kevin Roberts, suami dari Valeria Sanjaya.Tuan Darius memiliki tiga anak dari hasil pernikahannya dengan Mery Holland, yaitu Valeria Sanjaya, Darmian Sanjaya, dan Sandro Sanjaya. Usia mereka hampir berdekatan satu sama lain. Usia Rafandra sendiri sudah mencapai tiga puluh lima tahun, dan semua adik-adiknya secara berurutan masing-masing terpaut dua tahun.“Kalian tenang saja. Anak sialan itu tidak akan pernah kembali,” ucap Mery Holland.“Kenapa Mama begitu yakin?” tanya Sandro Sanjaya.“Dia memiliki hati yang terlalu lembut.”“Maksud Mama?” tanya Kevin Roberts, suami Valeria.“Kalian tahu kenapa dia meninggalkan Keluarga Sanjaya?”Mereka semua menggelengkan kepalanya.“Dia pergi karena Mama ancam hal yang sa