Setelah berucap dengan nada tinggi dan kasar, Anett kembali tersenyum kepada para tamu undangan.
“Maaf atas pemandangan tak mengenakkan ini,” katanya lembut, tapi para tamu undangan masih berbisik-bisik satu sama lain.
Kemudian Alex Gunawan berdiri di samping Anett Wongso.
“Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, acara segera dimulai. Sebaiknya kita kembali ke dalam. Kalian tak perlu memikirkan orang ini, biar satpam yang mengurusnya,” ucapnya dengan lugas. “Aku akan memberikan kartu keanggotaan VIP bagi orang yang tetap tinggal sampai acara pembukaan selesai. Dengan kartu itu, kalian akan diberi akses kemewahan tiada batas di seluruh jaringan hotel nilik Grup Gunawan.”
Mendengar tawaran dari Alex, membuat semua orang kembali masuk ke dalam. Kartu VIP hotel Grup Gunawan memiliki keistimewaan yang luar biasa. Orang yang memilikinya akan mendapatkan pelayanan dan akses kemewahan lebih baik dari pelanggan biasa.
“Terima kasih, Tuan Alex,” ucap Annet dengan tersenyum hangat.
“Tidak apa-apa, Tante. Itu bukan masalah besar bagiku.”
“Sayang kau tidak jadi menantuku,” kata Annet.
Alex tersenyum sembari memegang tangan Annet.
“Peluang selalu ada, Tante. Asalkan Tante memberi restu, aku bisa menjadi menantu Tante.”
Annet tersenyum.
“Itu sudah pasti. Kau tahu sendiri, aku sudah memberi restuku padamu dari dulu. Gara-gara laki-laki sialan ini semuanya kacau,” ucapnya sambil memandang Rafandra yang sedang dipegangi para satpam.
Alex menatap Rafandra yang masih memandang pintu masuk perusahaan. Dia ingin sekali masuk ke dalam untuk menjelaskan semuanya pada istrinya.
“Kenapa kalian masih di sini. Bawa dia pergi sekarang!” perintah Alex.
“Baik, Tuan.”
“Tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri,” ucap Rafandra.
Dia berjalan menjauhi pintu masuk perusahaan menuju tempat parkir. Sepanjang jalan dia berkali-kali mendesah dan menghela nafas dalam-dalam.
Beberapa saat kemudian, dia sampai di parkiran motor. Rafandra duduk di atas motornya terdiam. Dia kembali mengingat perlakuan buruk orang-orang Keluarga Darmawan kepadanya. Entah sudah berapa kali dia mengalami hal tidak menyenangkan seperti ini.
Bahkan saat dia mengalami kecelakaan mobil satu tahun yang lalu, tidak ada seorang pun yang menjenguk apalagi mengurusnya, termasuk Alexa. Mereka malah dengan semena-mena menyalahkan Rafandra yang telah menghancurkan mobil keluarga dan menuntut ganti rugi kepadanya.
Saat itu Rafandra harus terbaring di rumah sakit hampir satu minggu lamanya. Dia mengalami patah kaki kiri yang cukup parah. Sejak saat itu, Rafandra tidak diperbolehkan menaiki mobil Keluarga Darmawan lagi, bahkan sebagai penumpang. Dia pun harus membayar seluruh kerusakan mobil yang dikendarainya.
Setelah cukup lama melamun, Rafandra menyalakan motornya. Dia memilih pulang ke rumah daripada tetap berada di sini. Dalam perjalanan pulang, Rafandra terus memikirkan istrinya, Alexa. Usia pernikahan mereka sudah hampir tiga tahun lamanya, tepatnya dua tahun enam bulan. Tapi hubungan mereka sangat dingin setelah Tuan Martin meninggal.
Setelah dua puluh menit perjalanan, Rafandra sampai di rumahnya. Rumah yang sangat besar dan megah. Dia dan Alexa tinggal di bagian samping rumah Keluarga Darmawan.
Rumah itu memiliki tiga bagian. Bagian tengah dihuni kepala keluarga Darmawan dan nyonya besar, Wendy Satriawan, istri mendiang Tuan Martin Darmawan.
Setelah Tuan Martin meninggal, ayah Alexa, Alan Darmawan dan istrinya, Anett Wongso menghuni rumah bagian tengah bersama ibunya.
Sementara bagian samping, baik sebelah kanan dan kiri bangunan utama, ditempati oleh anak-anak Alan Darmawan dan keponakannya, termasuk Alexa dan Rafandra.
Rafandra menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Berkali-kali dia menghela nafas dalam-dalam. Wajah kecewa Alexa begitu jelas terekam di kepalanya. Meski hubungan mereka tidak layaknya suami istri, Rafandra menyayangi Alexa dengan tulus.
Kriing... kriing...
Ponsel Rafandra berbunyi cukup keras. Dia mengambil ponselnya dan melihat layarnya. Tidak ada nama, hanya nomor yang tidak dikenalnya. Rafandra meletakkan kembali ponselnya. Dia tidak tertarik untuk mengangkat telepon tersebut.
Krriingg... kriingg...
Ponselnya kembali berbunyi berulang kali. Karena merasa sangat mengganggu, Rafandra mengangkat telepon tersebut.
“Jangan gang...”
“Halo, Rafandra?” ucap seorang wanita di telepon tersebut.
Rafandra terdiam. Dia berusaha mengenali suara wanita tersebut.
“Halo, Rafandra? Ini Tante Anna.”
“Tante Anna?”
Rafandra bergegas bangun dari tempat tidurnya dan duduk.
“Betul. Bagaimana kabarmu?”
“Baik, Tante. Tante sendiri bagaimana?”
“Tante baik-baik saja, tapi perusahaan Tante tidak.”
“Kenapa, Tante?!” tanya Rafandra terkejut. Kabar itu membuatnya berdiri seketika.
“Di mana kau sekarang? Kurang nyaman menjelaskannya di telepon.”
“Aku di Kota Woodpool, Tante,” jawab Rafandra berbohong.
“Tante butuh bantuanmu, Rafandra. Bisakah kau segera kemari.”
“Baik, Tante. Besok aku segera berangkat ke sana.”
“Kenapa tidak hari ini?”
“Ada sesuatu yang harus aku urus.”
“Baiklah. Kau harus segera kemari. Jika tidak perusahaan Tante akan terkena masalah besar.”
“Baik, Tante. Aku janji.”
“Baik. Tante tunggu kedatanganmu.”
Lalu Tante Anna menutup teleponnya.
Jarak antara Kota Loven dan Kota Blackward cukup jauh, sekitar dua jam menggunakan pesawat. Tante Anna tinggal di Kota Blackward, kota terbesar kedua di Republik Worthen.
Rafandra terus menatap ponselnya. Dia heran bagaimana Tante Anna bisa mendapatkan nomornya. Setelah keluar dari Keluarga Sanjaya, Rafandra mengganti semua nomor teleponnya.
Setelah siang datang, terdengar suara bising pintu mobil yang ditutup keras. Rafandra mengintip dari jendela depan. Dia melihat semua mobil keluarga Darmawan berbaris rapi di depan, termasuk mobil istrinya.
Kretek...
Pintu depan terbuka. Alexa, Susan dan Lena masuk ke dalam dengan wajah murung.
Rafandra mendekati Alexa sambil membawakan minum.
“Maafkan...”
“Ini tasmu. Kau melupakannya di mobilku.”
Tiba-tiba seorang pria tampan masuk ke dalam membawa tas. Dia adalah Alex Gunawan.
Melihat kehadiran Alex di rumahnya, membuat Rafandra menghentikan langkah kakinya. Dia sangat terkejut sampai membuatnya diam beribu bahasa.
“Kenapa kau diam? Buatkan teh atau kopi untuk Tuan Alex,” ucap Alexa setelah mengambil air putih dingin dari tangan Rafandra.
Rafandra tertegun diam. Dia terus memandang Alexa.
“Apa kau tuli?!”
Tiba-tiba Tuan Alan Darmawan, kepala keluarga Darmawan saat ini masuk ke rumah Alexa.
“Cepat kau buatkan kopi untuk Tuan Alex!” perintah Alan.
Lalu Alan duduk di sofa merah yang panjang sembari tersenyum ke arah Alex Gunawan.
“Silakan duduk,” ucap Alan ramah.
“Terima kasih, Om Alan.”
Alex duduk tidak jauh dari Alan.
“Kau duduk di sini,” kata Alan kepada Alexa.
Dia sengaja mengosongkan sofa tengah di antara dirinya dan Alex.
Alexa berjalan di depan Rafandra untuk duduk di sofa yang disediakan ayahnya. Saat melintasi Rafandra dia berkata dengan mata memicing:
“Cepat kau buatkan kopi. Sudah cukup kau permalukan aku di acara pembukaan perusahaan! Jangan lagi kau permalukan aku di rumahku sendiri!” ucapnya langsung di telinga Rafandra. “Kau tidak tahu hari buruk apa yang telah kulalui.”
Dia pun mendorong tubuh Rafandra dengan tangan kanannya untuk memperlebar ruangnya berjalan menuju sofa itu.
“Hari buruk apa yang telah kau lalui?” tanya Rafandra penasaran.
“Tak ada gunanya kau tahu,” ucap Susan.
“Bahkan Tuan Alex tidak bisa menyelesaikannya, apalagi pengangguran sepertimu,” sambung Lena.
“Mungkin aku bisa membantu,” kata Rafandra.
Rafandra berjalan sambil tertawa kecil yang dapat didengar orang-orang di belakangnya.Wajah-wajah mereka terlihat geram mendengar tawa Rafandra yang penuh ejek, termasuk Alexa.Setelah Rafandra masuk ke dalam rumah, Alan, Annet, Alexa dan lainnya berjalan masuk ke ruang utama kediaman Keluarga Darmawan.“Aku melihat dan mendengar apa yang terjadi,” kata Wendy Satriawan yang sedang duduk di sofa ruangan tersebut.Alexa dan lainnya pun duduk di sofa besar yang ada di ruang utama kediaman.“Sepertinya kita harus mempercepat rencana kita, Anakku,” kata Wendy sambil menatap Alan.“Mamah benar. Aku harus mempercepat semuanya,” jawab Alan.Selain mereka berdua, tak ada seorang pun yang mengetahui rencana tersebut.“Sebenarnya apa rencana kalian?” tanya Annet penasaran.“Kalian tak perlu tahu. Yang penting hasilnya dapat kalian rasakan,” ujar Wendy dengan tenang.****Mentari pagi bersinar indah. Udaranya menghangat setelah malam yang dingin. Tak terasa satu minggu sudah Rafandra menjadi sop
“Dia bekerja di mana?” tanya Alan Darmawan kepada Alexa.Saat ini Keluarga Darmawan sedang berkumpul makan siang di sebuah restoran mewah. Setelah Alexa menyampaikan kepada keluarganya bahwa Rafandra sekarang bekerja, mereka langsung mengadakan pertemuan. Hampir semua anggota Keluarga Darmawan hadir di pertemuan kali ini.“Aku tidak tahu, Pah. Dia belum memberitahukannya kepadaku,” jawab Alexa.“Apa yang membuatnya berubah? Apa kalian tahu penyebabnya?” tanya Annet Wongso. “Sebelumnya dia akan diam saja diperlakukan buruk oleh kita, tapi kenapa sekarang dia mulai berulah?”Semua orang terdiam sambil berpikir masing-masing. Ada yang menggaruk-garuk dagunya; ada pula yang memegangi keningnya.“Apa mungkin dia tahu perjanjian kita dengan Kakek Martin?” tanya Richard Darmawan. “Sepertinya tidak ada alasan lain selain ini.”“Tapi dari mana dia mengetahuinya? Hanya kita sekeluarga yang mengetahuinya,” ujar Alan.“Kita harus mengujinya, Pah,” kata Frida Darmawan.“Dengan cara apa?” tanya Ann
Rafandra agak terkejut mendengar hardikan Sofia, tapi dia tidak berani melihatnya.Blug... blugg... blugg...Beberapa kali Sofia memukul-mukul kursi mobil di sampingnya. Dia terlihat sangat kesal.Kriing... kringg...Ponsel Sofia berbunyi beberapa kali.“Ke mana saja kau?! Tidak mengangkat telepon dan tidak membalas pesanku!” ujar Sofia setelah mengangkat teleponnya.“Maaf, aku baru saja meeting dengan Tuan Harry Maruti dari Silken Woven,” jawab Henry Roberts, kakak Sofia Roberts.“Kenapa kau melakukan pertemuan dengannya?” tanya Sofia penasaran.“Ayah ingin memasuki bisnis fashion. Dia menyuruhku untuk datang ke Silken Woven,” kata Henry pelan. “Bagaimana hasil dari pertemuanmu dengan Paman Larry dan lainnya?”“Kacau! Sangat kacau! Mereka meminta kenaikan persentasi jika ingin melanjutkan kontrak kerja sama. Jika tidak, mereka tidak keberatan untuk mengakhiri kerja sama ini.”“Berapa yang mereka minta?”“Tujuh puluh persen dari laba bersih.”“Kurang ajar!” kutuk Henry dengan nada mar
Rafandra langsung menginjak pedal gas mobil dengan lembut. Sesekali dia mencuri-curi pandang ke arah Sofia Roberts melalui kaca tengah yang sedang membaca berkas yang ada di tangannya.Gludak...Rafandra tak sengaja melewati jalan berlubang yang membuat Sofia kaget. Berkas yang ada di tangannya pun jatuh ke bawah.“Bagaimana bisa mereka menerima sopir sepertimu? Dasar orang-orang tidak kompeten!” ucap Sofia cukup keras.Dia membungkukkan tubuhnya untuk mengambil berkas-berkas yang jatuh ke bawah.“Maafkan aku, Ibu Direktur. Aku...”“Sudah! Jangan banyak bicara! Perhatikan jalanan depan dengan baik. Jika kau melakukannya sekali lagi, aku tidak segan-segan memecatmu.”“Baik, Bu,” jawab Rafandra pelan.Dia semakin berhati-hati dalam membawa mobil agar kejadian yang sama tidak terjadi lagi.Tak berselang lama, mereka sudah sampai di depan kantor utama Grup Gunawan yang sangat besar. Di depan pintu besarnya, berdiri beberapa orang menyambut kehadiran Sofia Roberts.Rafandra bergegas turun
“Tuan Rafandra!” panggil wanita yang bertugas di bagian pemberkasan.Rafandra bergegas masuk ke dalam ruang wawancara. Dia melihat seorang laki-laki paruh baya dan seorang wanita yang berusia tidak jauh darinya. Mereka duduk di balik meja yang cukup panjang.“Silakan duduk!” ucap laki-laki itu.“Terima kasih, Tuan.”“Perkenalkan dirimu sendiri dan pengalaman kerja yang kau miliki,” kata wanita yang berada di samping laki-laki itu.“Namaku Rafandra. Aku tidak memiliki pengalaman kerja yang berarti. Tapi aku memiliki kemampuan menyetir yang cukup baik menurutku.”Kedua orang tersebut mendengarkan ucapan Rafandra sembari membuka-buka map yang berisi berkas-berkas Rafandra. Mereka terlihat sangat terkejut sampai kening mereka mengernyit.“Apa kau benar-benar lulusan jurusan manajemen bisnis Universitas Camford?” tanya wanita tersebut.Dia menatap Rafandra dengan tajam. Begitu juga dengan laki-laki paruh baya di sampingnya.“Benar. Aku lulusan Universitas Camford. Tuan dan Nyonya bisa meng
“Aku dengar Papa masih terus mencari-cari Mas Rafandra, Mah. Jika dia pulang, posisi kita akan benar-benar sulit,” kata Darmian Sanjaya.“Benar, Mah. Kita harus melakukan sesuatu,” ujar Valeria Sanjaya.Saat ini semua saudara satu ayah beda ibu Rafandra sedang berkumpul di rumah Kevin Roberts, suami dari Valeria Sanjaya.Tuan Darius memiliki tiga anak dari hasil pernikahannya dengan Mery Holland, yaitu Valeria Sanjaya, Darmian Sanjaya, dan Sandro Sanjaya. Usia mereka hampir berdekatan satu sama lain. Usia Rafandra sendiri sudah mencapai tiga puluh lima tahun, dan semua adik-adiknya secara berurutan masing-masing terpaut dua tahun.“Kalian tenang saja. Anak sialan itu tidak akan pernah kembali,” ucap Mery Holland.“Kenapa Mama begitu yakin?” tanya Sandro Sanjaya.“Dia memiliki hati yang terlalu lembut.”“Maksud Mama?” tanya Kevin Roberts, suami Valeria.“Kalian tahu kenapa dia meninggalkan Keluarga Sanjaya?”Mereka semua menggelengkan kepalanya.“Dia pergi karena Mama ancam hal yang sa