Share

Bab 4 Menyambut Tamu

Kemah Pasukan Taichan, Kota Jingzhou

Kamp pasukan Taichan di perbatasan kota Jingzhou sedang sibuk berbenah dan mempersiapkan kunjungan Menteri Militer, yang tak lain adalah ayah dari Jenderal Besar Li Deyun. Penghuni tenda berwarna ungu dengan tulisan berwarna emas itu lalu lalang mengerjakan tugasnya masing-masing.

“Cepat benahi semua pagar pembatas yang rusak karena badai semalam. Juga bereskan arena latihan. Simpan semua senjata dan pastikan dalam keadaan bersih!” Deyun melontarkan banyak perintah sekaligus.

“Baik, Jenderal!”

“Ji Mong, katakan pada Zening tentang kedatangan Menteri Militer. Peringatkan dia untuk tetap berada di tendanya,” imbuh Deyun dengan raut panik.

“Baik, Jenderal!”

Deyun duduk di balik meja kerjanya, melanjutkan mempelajari peta kota Wu. Kabar terbaru dari mata-mata yang disebarnya, pemimpin kota Wu sedang merencanakan sebuah pemberontakan. Jumlah tentaranya tidak kalah bila dibandingkan dengan tentara kota Wu, tapi masalahnya mereka mendatangkan bantuan dari kelompok perampok Bulan Sabit yang terkenal kejam dan memiliki ilmu bela diri tinggi.

“KAK!” seorang gadis cantik masuk dengan wajah kesal.

Deyun mengabaikan teriakan protes adiknya. ‘Dia pasti ingin marah padaku.’

“Kakak, kau sengaja mengabaikanku!”

Deyun mendongak perlahan, berusaha keras menahan tawanya ketika melihat raut jengkel di wajah cantik adiknya. “Ada apa?”

“Ada apa? Apa benar kau memintaku tetap tinggal di tenda?”

“Ya, hanya untuk dua hari ke depan.”

“Apa?! Dua hari? Bahkan sehari saja aku enggan.” Zening duduk dengan kasar di atas kursi kayu. “Kak, izinkan aku pergi berburu besok. Aku akan menangkap banyak buruan untuk dihidangkan saat ayah datang,” rayunya dengan mata dibuat memelas.

Ji Mong berlari masuk dengan wajah pias. “Jenderal! Nona menolak ….” kalimatnya terpotong begitu melihat Zening sedang melotot padanya.

“Ada apa, Ji Mong?”

Ji Mong hanya menunduk tanpa berani mengangkat kepalanya. “Maafkan saya, Jenderal. Saya gagal menjalankan misi yang Anda berikan,” akunya lirih.

Deyun tersenyum lebar seraya memutari mejanya. “Pergilah, jangan sampai kamu babak belur karena terus berada di sini,” gurau Deyun sambil menepuk bahu anak buahnya itu.

Ji Mong memberi hormat dan bergegas pergi, sebelum terkena pukulan dan tendangan lagi dari jenderal wanita yang sedang duduk menatap marah ke arahnya.

“Kau apakan dia?”

“Tidak ada, hanya sedikit latihan sore. Kau belum menjawab pertanyaanku, Kak.”

“Zening, malam nanti ayah akan datang mengunjungi kita. Rencananya akan tinggal selama dua hari di sini untuk membahas beberapa masalah pemberontakan yang akhir-akhir ini santer terdengar. Jadi aku minta, jangan membuatnya khawatir.”

“Kak, aku hanya akan pergi berburu, bukan membuat onar. Jadi tidak akan membuatmu dan ayah khawatir,” bantah Zening.

“Ayah sudah semakin tua. Dengan kau memaksa tinggal di sini saja, ayah sering merasa khawatir. Bisa kau bayangkan bagaimana khawatirnya dia bila tidak menemukanmu di tenda.”

Zening mendesah. Hatinya selalu saja lemah bila berurusan dengan usia ayahnya. “Hhh, baiklah. Aku akan tinggal di tenda. Tidak akan keluar kecuali kau memanggilku. Apa begini sudah bisa?”

Deyun maju mendekati adiknya. “Ini baru adik kebanggaanku,” ucapnya seraya mengacak ujung kepala Zening, membuat lengannya dicekal sebelum menyentuh rambut Zening.

Tap.

“Ingat, Kak! Aku adalah Jenderal Li Zening, satu-satunya jenderal wanita di sini. Jaga sikapmu!” ketus Zening marah sambil berlalu pergi, diiring gelak tawa Deyun yang menggelitik hati.

“Ji Mong!”

“Ya, Jenderal.” Ji Mong bergegas masuk.

“Pastikan kamu menyimpan pelana Zening di tempat yang paling aman.”

“Baik, Jenderal.”

****

Kediaman Ratu Qi, Istana Selatan

“Berhenti.” Seorang pengawal kerajaan menghadang jalan.

“Sampaikan pada Ratu Qi, Zhao Ziliang ingin menghadap.”

Pengawal itu masuk ke dalam istana. Tak lama kemudian telah kembali ke depan Kanselir Zhao. “Silakan, Ratu sudah menunggu.”

“Zhao Ziliang menghadap Ratu Qi.” Ziliang menunduk memberi hormat.

“Aku sudah menunggumu. Lama tidak terdengar kabar tentang pengiriman garam dari Selatan.” Dengan anggun, Suying mengangkat cawan teh dan menyesapnya perlahan.

“Maafkan pria tua ini, Yang Mulia. Saya mendapat kabar bahwa Jenderal Li Deyun sedang memperketat pemeriksaan di setiap pintu gerbang perbatasan karena isu pemberontakan yang kita sebarkan untuk memecah konsentrasi Menteri Militer.”

“Lalu bagaimana dengan kereta barang yang datang dari Selatan?” tanya Suying sembari menegakkan punggungnya.

“Beberapa kereta barang terpaksa harus menepi sambil menunggu penjagaan menurun, Yang Mulia.”

“Sial!” Suying meletakkan cawan tehnya dengan kasar ke atas meja. “Pikirkan cara lainnya, lewat perairan atau jalur lainnya. Kamu yang harusnya lebih tahu.” Suying mengibaskan lengan hanfunya dengan sebal.

“Dan satu lagi, bantu aku mencari calon istri yang tepat untuk Pangeran Wang Su. Dia harus segera memiliki anak laki-laki agar posisinya sebagai Putra Mahkota tidak tergantikan.” Suying menggeleng sedikit kencang hingga tusuk kondenya saling beradu, menimbulkan bunyi gemerincing.

“Kita tidak bisa berharap penuh pada Su’er. Dia pemuda yang kurang bergairah, hanya memikirkan kesenangannya sendiri,” gerutu Suying.

Ziliang mengangguk sepakat. “Saya akan pikirkan calon pendamping yang tepat untuk Pangeran Wang Su. Yang Mulia, beberapa kali saya melihat juru tulis istana masuk ke Istana Barat, apa Baginda banyak menulis dekrit?”

“Entahlah, sudah beberapa hari Baginda tidak berkunjung ke sini ataupun ke tempat Selir Chu. Dia menenggelamkan diri dalam pekerjaan.”

“Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia. Apakah mungkin Baginda sudah menuliskan surat wasiat? Karena menurut perhitungan tabib kerajaan, ramuan yang selalu Baginda minum sudah waktunya menunjukkan reaksi.”

Suying berpaling dengan mata berbinar. “Benarkah? Kalau begitu, besok pagi-pagi sekali aku akan mengunjunginya. Aku akan mendesaknya segera menobatkan Wang Su sebagai Putra Mahkota. Tentunya ini akan lebih mudah setelah aku berhasil mengirim Wang Yang ke perbatasan.”

“Mengenai tuduhan penggelapan pajak, saya sudah meminta petugas pengadilan untuk membuat bukti palsu yang mengarah pada Li Daehan. Hanya tinggal menunggu perintah untuk bergerak.”

“Bagus, setelah Menteri Li ditangkap, aku akan memerintahkan hakim pengadilan untuk menjatuhkan hukuman berat padanya. Keberadaannya sangat mengganggu kelancaran bisnis kita dan aku tidak suka itu.”

“Anda tidak perlu khawatir, Yang Mulia. Saya sudah menyiapkan rencana matang untuk menjebak Li Daehan dan keluarganya. Setelah dia tertangkap dan Pangeran Wang Su menjadi Putra Mahkota, maka seluruhnya akan berada di bawah kendali Anda, Yang Mulia.”

Suying menyeringai senang. “Aku sudah tidak sabar menunggu semua itu terjadi.”

“Kalau tidak ada yang lain, saya pamit undur diri, Yang Mulia.” Suying mengangguk seraya merentangkan lengan kanannya, mempersilakan Ziliang keluar.

“Tunggu,” cegah Suying seraya mengangkat tangannya. “Setelah aku pikir lagi, sebaiknya kita nikahkan putri semata wayangmu dengan Wang Su. Bukankah itu saling menguntungkan bagi kita?” tawar Suying.

Zhao Ziliang adalah kanselir agung, setara dengan perdana menteri yang bertugas sebagai penasihat raja, sekaligus adik ipar ratu dari pihaknya. Dia yang selama ini selalu membantu segala urusan ratu untuk mencapai ambisinya, termasuk menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalannya.

Mata Ziliang berbinar mendengar ucapan ratu yang sejalan dengan pemikirannya. Seketika ia berlutut dan bersujud menerima kebaikan hati ratu. “Ratu Qi panjang umur dan diberkati. Terima kasih, Yang Mulia.”

“Segera persiapkan semua yang diperlukan untuk membawa putrimu memasuki istana. Sebelum aku umumkan, dia harus mengikuti pelajaran tentang Etika Istana agar tidak memalukan keluarga kerajaan.”

Masih dengan bersujud. “Baik, Yang Mulia. Akan segera saya siapkan.”

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status