Share

Bab 5 Kuda Taichan

Kediaman Kanselir Zhao, Paviliun Jianshan

Zhao Ming Lan sedang menyulam sebuah sapu tangan di taman belakang rumah ditemani pelayan setianya. Ketika ayahnya menghampiri dengan langkah lebar dan wajah berbinar, Ming Lan mengerutkan dahinya sambil bangkit berdiri.

“Ada hal penting apa yang terjadi di istana hingga membuat wajah tuanya terlihat segar?” gumam Ming Lan.

“Ming’er, Ming’er!”

“Apa yang terjadi, Yah? Berjalan begitu cepat seperti dikejar hantu.”

Ziliang menarik lengan Ming Lan agar ikut duduk di bangku. “Ayah baru saja kembali dari Istana Barat menemui Ratu Qi. Dia meminta ayah mencarikan calon istri untuk pangeran Wang Su dan pada akhirnya meminta Ayah untuk mengirimmu masuk istana untuk mengikuti pelajaran Etika Istana.”

“Hahh?” Ming Lan tersentak. “Menikahi siapa? Wang Su?”

“Ya. Dengan begitu, jalanmu menjadi permaisuri akan semakin terbuka lebar. Wang Su adalah pewaris tahta raja Wang Li.”

“Tapi, Yah. Aku sudah punya orang yang aku sukai. Aku ingin menikah dengan orang yang aku sukai. Lagi pula, rumor yang beredar di lingkungan dayang istana mengatakan kalau Wang Su suka main perempuan. Aku tidak ingin sakit hati karena memikirkan sikapnya.”

“Gadis bodoh! Kamu tidak akan kenyang dan menguasai dunia hanya dengan cinta. Sudah, tidak perlu dibahas lagi. Kita sudah sepakat. Lagi pula, ini perintah langsung dari Ratu Qi, apa kau ingin dipenggal karena melawan perintah ratu?” Ziliang mengibaskan lengan hanfu cokelat muda miliknya sambil berlalu.

“Kita? Sepakat?” Ming Lan terlolong melihat ayahnya pergi begitu saja tanpa mendengar protesnya. “Ayah, Ayah!” Ming Lan menghentak kakinya ke tanah.

“Nona, jangan berteriak lagi. Suaramu akan serak dan susah menelan kalau terus melakukannya.”

“Diam!” bentak Ming Lan marah. “Kau sudah dengar tadi, kalau aku menjadi calon istri Wang Su, aku harus segera masuk istana dan belajar tentang semua tata krama kerajaan. Aku tidak bisa bebas bertemu Wang Yang seperti sebelumnya,” ujar Ming Lan kesal.

“Nona, bukankah justru sebaliknya? Anda bisa sering bertemu Pangeran Wang Yang atau sekedar melihatnya dari jauh bila Anda berada di lingkungan yang sama dengannya.”

Zhao Ming Lan terdiam sejenak, sejurus kemudian tersenyum senang. “Tidak sia-sia aku mengajarimu selama ini.” Ming Lan merogoh ke dalam kantong uangnya dan mengeluarkan dua keping uang. “Ini hadiah untukmu.”

Ming Lan bergegas masuk ke dalam rumah, setengah berlari sambil mengangkat bagian bawah hanfu merah muda menemui ayahnya. “Ayah, aku bersedia masuk istana.”

****

Kamp Pasukan Taichan

Suara derap kaki kuda terdengar makin dekat. Deyun bergegas keluar menyambut rombongan ayahnya.

“Hiyaa … hiyaa …!” suara teriakan orang memacu kuda.

Puluhan kuda meringkik bersamaan saat tali kekang ditarik untuk membuat mereka berhenti berlari. Seorang pria yang berbaris paling depan, melompat dari punggung kudanya dengan gagah.

“Ayah!” Deyun mengangkat dua tangannya bersatu di depan dada, memberi hormat.

Daehan menghampiri putranya dan memeluknya sejenak. Sudah lebih satu tahun mereka tidak bertemu. “Bagaimana kabarmu, Nak?” Daehan menepuk bahu Deyun bersamaan.

“Baik, Ayah. Kami semua baik dan tetap waspada.”

“Mana Kuda Taichan-ku?”

‘Kuda Taichan? Masih sempat menanyakan tentang kudanya saat baru bertemu putranya, Paman Li memang unik,’ batin Wang Yang sambil menggelengkan kepala.

“Ada, sedang merajuk.” Deyun tersenyum mengingat kejadian tadi. Deyun mengintip ke balik punggung ayahnya. “Siapa dia, Yah?”

“Oh ya, hampir lupa.” Daehan berbalik. “Perkenalkan ini Xiaoyang, pemuda yang akan belajar di sini bersamamu.”

Dua pemuda itu saling mengangguk hormat.

“Dia putra teman baik Ayah, tidak perlu diistimewakan. Ajarkan padanya bagaimana menjadi Pasukan Taichan yang gagah berani di medan perang dan cerdas dalam mengatur siasat.”

Deyun mendekati Xiaoyang, menepuk bahu dan lengannya, mengukur kekuatan tulang dan otot pemuda itu. “Tubuhmu bagus, sangat cocok menjadi tentara.”

“Terima kasih, Jenderal!”

“Mari, kita masuk dan makan. Kuda Taichan sudah menyiapkan makanan kesukaan Ayah.”

“Maaf, Kuda Taichan yang kalian bicarakan sejak tadi itu sebenarnya siapa?” Wang Yang tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

Daehan terkekeh. “Ji Mong, panggilkan Kuda Taichan-ku.”

Ji Mong mengangguk dan berbalik pergi. Tak lama kemudian, seorang gadis berambut panjang mengenakan hanfu biru muda masuk bersama Ji Mong.

“Ayah.” Gadis itu menyapa dengan riang.

Xiaoyang mengernyit. ‘Ini yang mereka sebut dengan Kuda Taichan? Gadis ini?’

Daehan berdiri sambil merentangkan tangannya. “Bagaimana kabarmu, Ning’er?”

Gadis itu mendarat lembut di pelukan ayahnya. “Aku baik dan luar biasa merindukanmu.”

Daehan menepuk punggung putrinya sayang. “Ini, Xiaoyang. Dia akan belajar di sini.”

Zening mengurai pelukan ayahnya. Mengamati pemuda di depannya. ‘Cih, anak bangsawan manja. Aku jamin dia akan merengek minta pulang hanya dalam hitungan hari.’

“Kenapa diam?” Deyun menegur adiknya yang terus menatap Xiaoyang tanpa berkedip.

“Hanya memperkirakan berapa lama dia sanggup bertahan di sini,” sahut Zening jujur, membuat mata Xiaoyang terbeliak tak percaya.

“Hahaha …!” gelak Daehan keras. “Jangan tersinggung, dia memang begitu.” Daehan kembali duduk sambil menepuk bahu Xiaoyang.

“Tidak apa-apa, Paman. Wanita yang tidak mengerti dunia laki-laki, harus dimaklumi ucapannya,” sindirnya pedas.

“Kau!” tunjuk Zening marah.

“Sudah, sudah. Sopanlah pada tamu!” tegur Deyun melerai. “Ayo, kita makan.”

Mereka mulai makan diselingi perbincangan ringan. Zening hanya diam mendengarkan, tangannya sibuk mengambilkan lauk dan sayur untuk ayah dan kakaknya. Kekesalannya karena komentar Xiaoyang tadi, sudah hilang tertiup angin.

“Saat ini, di kalangan pejabat istana sedang beredar kabar bahwa Ayah menggelapkan anggaran militer. Baginda mengirimkan mata-mata untuk menyelidikinya.” Daehan menyuap sepotong daging kecap ke dalam mulutnya.

“Ayah tidak perlu khawatir, aku punya bukti pembukuannya lengkap. Han Xiu yang menuliskannya untukku, jadi bisa Ayah bawa dan tunjukkan pada Baginda.”

“Tidak, biarkan saja Baginda menyelidiki. Akan terkesan aku menentang titah raja kalau kita lakukan seperti katamu. Kita hanya perlu menunggu hasil dan mencocokkannya dengan pembukuan milik kita.”

Xiaoyang hanya mendengarkan dan terus makan. ‘Paman Li begitu bijak, tidak mungkin menggelapkan dana militer.’

“Biarkan saja mereka datang, kalau sampai aku tahu siapa mata-mata yang dikirim, lihat saja nanti!” geram Zening sambil mengunyah makanannya.

‘Cih, memangnya apa yang bisa kamu lakukan?’ Xiaoyang melirik wanita di seberangnya dengan sinis. ‘Memangnya apa yang bisa dia lakukan? Memasak? Menjamu? Lagaknya.’

****

Sinar mentari masih malu-malu menyapa, namun telinga Xiaoyang sudah terganggu oleh suara denting pedang yang beradu. Meskipun terbiasa hidup di alam terbuka, Xiaoyang tetap merasa terganggu dengan suara berisik di luar tendanya.

“Siapa yang berlatih pedang sepagi ini?” gerutu Ziaoyun seraya turun dari ranjang.

Setelah membasuh mukanya, Xiaoyang menyisir rambutnya dan mengikatnya rapi. Matanya terbeliak lebar melihat Han Xiu sedang berlatih dengan seorang prajurit yang kemampuannya sepadan dengannya. Gerakannya mantap dan gesit, tangannya cekatan menangkis dan membalas serangan. Luar biasa.

Xiaoyang masih berdiri terpaku di depan tendanya ketika dua orang tadi telah menyelesaikan latihannya.

“Ning’er, aku harus pergi untuk apel pagi pasukan. Kau berlatihlah sendiri.” Han Xiu menyarungkan kembali pedangnya.

“Pernah kau lihat seorang prajurit bertanding pedang sendirian? Menyebalkan.”

Han Xiu mengabaikan protes tak terima Zening, melompat ke atas kuda dan memacunya cepat menuju tanah lapang tempat pasukannya menunggu. Zening berbalik dengan kesal, sedikit terkejut karena Xiaoyang sudah berdiri tak jauh darinya.

“Selamat pagi, Tuan Pemalas,” sapa Zening sinis seraya memberi hormat yang dibuat-buat.

“Kuda Taichan?” heran Xiaoyang.

“Kenapa? Tidak menduga kalau ini aku?” Zening menyarungkan pedangnya.

“Dengan rambut disanggul rapi mirip prajurit begini, kau terlihat kontras dengan tempat ini,” aku Xiaoyang jujur.

“Terima kasih, aku anggap itu sebagai pujian. Ru Feng!” Mendengar teriakan tuannya, seekor kuda putih besar berderap mendekat.

“Anak Pintar!” Zening melompat ke atas punggung kuda, melirik sebentar ke arah Xiaoyang kemudian memacu kudanya menyusul Han Xiu.

“Cih, sombong sekali dia,” gumam Xiaoyang lirih. “Tapi harus aku akui, ilmu pedangnya patut diacungi jempol.”

“Xiaoyang!”

Pemuda itu berbalik mendengar namanya dipanggil. “Ya, Paman.” Xiaoyang bergegas menghampiri Daehan.

“Pergilah ke tempat berlatih bersama Deyun. Jangan sia-siakan waktumu.”

“Baik, Paman.”

Lagi-lagi, Xiaoyang dibuat kagum melihat kemampuan Zening bermain panah sambil menunggang kuda. Tubuh gadis itu bergerak seirama dengan gerakan punggung kudanya. Tangan kirinya memegang busur, tangan kanannya menarik anak panah yang sudah terpasang dengan kuat.

Anak panah itu melesat cepat menuju papan target yang bergerak, menancap tepat di lingkaran merah. Sempurna. Tak hanya berhenti di situ, dua orang prajurit melepaskan empat ekor burung merpati sebagai target bergerak. Burung itu terbang dengan cepat ke udara.

Zening mengambil satu anak panah dari kantong rotan yang tergantung di leher Ru Feng. Memasangnya cepat dan menarik tali busur, mengarahkannya pada burung yang kini hanya terlihat sebesar cawan arak.

Zleb! Kkrash! Zleb! Krashh!

Ke empat burung itu jatuh terkapar di tanah setelah terkena panah Zening. Tepuk tangan Daehan dan beberapa prajurit yang melihat Zening berlatih panahan, membuyarkan kekaguman Xiaoyang.

“Masih menakjubkan seperti biasanya!” seru Daehan lantang.

Zening melompat turun dari kudanya dan setengah berlari menghampiri ayahnya. “Masih jauh di bawah Han Xiu dan Kak Deyun,” sahut Zening merendah. “Bagaimana denganmu? Tidak ingin mencoba berlatih bersama kami?” tanyanya meremehkan pada Xiaoyang.

Zening melemparkan sebilah pedang yang sudah terhunus ke arah Xiaoyang. “Ayo, kita uji ilmu pedangmu agar aku bisa menentukan di kelompok mana tempatmu.”

Tanpa banyak bicara, Xiaoyang menerima tantangan Zening. Dia yang pertama kali menyerang. Melompat di udara, berjongkok sambil berputar, menyerang Zening dengan pedangnya dari berbagai arah. Tidak satu kalipun serangannya mengenai sasaran.

“Sekarang giliranku!” seru Zening seraya berputar dan merebut pedang salah seorang prajurit yang berdiri tak jauh darinya.

“Hiyaat …!”

Dalam tiga kali serangan, Zening berhasil mengarahkan pedangnya tepat di dada kiri Xiaoyang. Senyum puas tersungging di bibirnya. Tepuk tangan riuh menyambut kemenangan Zening.

“Kamu masih ‘Kuda Taichan’ kesayangan Ayah!” seru Daehan dari tepi arena.

Zening menurunkan pedangnya seraya maju ke depan. “Jangan pernah meremehkan seseorang hanya karena dia wanita,” bisiknya sinis pada Xiaoyang.

Xiaoyang hendak membuka mulutnya, mendebat kalimat Zening tapi gadis itu lebih dulu berkata, “Tidak perlu membela diri, aku bisa membacanya dari kedua mata itu.”

Setelah berkata demikian, Zening melemparkan pedang yang dipegangnya pada Ji Mong. “Latih dia di bawah pengawasanmu. Kelompok pemula.” Zening mengerlingkan sebelah mata membuat Ji Mong tergagap dan gagal menangkap pedang.

“Masih saja mudah terpesona,” ejeknya sebelum memeluk lengan Daehan manja.

‘Apa kalimat itu tertuju padaku?’ Xiaoyang makin dongkol, walau tak memungkiri bahwa dia kagum pada kemampuan gadis itu.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status