Share

Bab 3 Keberangkatan Wang Yang

Halaman Kuil Bailong

Di hari keberangkatannya, Wang Yang mengunjungi Kuil Bailong untuk memohon perlindungan dan keselamatan, bukan bagi dirinya tetapi bagi ibu dan adiknya. Besar harapannya, langit akan berbelas kasihan padanya dan mengabulkan permohonannya. Di istana yang luas ini, tidak ada yang berani menyentuh ibu dan adiknya, kecuali Ratu Qi.

Keluar dari kuil, Wang Yang mengedarkan pandangannya sejenak ke sekitar kuil. Daun pohon mapel mulai berguguran, membuat beberapa biksu sibuk menyapu halaman. Di halaman ini, ia dan Wang Yin sering bermain sembari menunggu ibunya selesai sembahyang. Persis seperti yang dia ingat, kicauan burung, embusan angin sepoi dan daun yang jatuh perlahan.

“Kakak!”

Wang Yang menoleh ke belakang. Wang Mu Lan—adik beda ibu, sedang berjalan ke arahnya.

“Aku kira kamu sudah meninggalkan istana.” Mu Lan menghambur memeluk Wang Yang dengan manja.

Wang Yang tersenyum membalas pelukan adiknya. “Tidak, aku masih berdoa. Setelah dari kuil, rencananya aku akan mengunjungimu untuk berpamitan.”

“Aku tidak sabar ingin menemuimu. Aku bahkan meninggalkan kelas sastra hanya untuk mengantar keberangkatanmu,” aku Mu Lan.

Wang Yang mendorong bahu Mu Lan menjauh. “Aku kecewa padamu, jangan lagi keluar di tengah pelajaran berlangsung. Itu tidak sopan dan menyinggung. Kalau sampai Ratu dengar, kau akan dihukum.”

Wang Mu Lan cemberut. “Aku tidak peduli. Siapa yang berani melaporkan sikapku? Mereka lebih memilih menyelamatkan kepalanya daripada marah karena sikapku,” bantah Mu Lan congkak.

“Kakak, segeralah pulang. Aku akan memohon pada ayah untuk menikahkanku denganmu. Dengan begitu, kau tak perlu lagi pergi berperang atau membuktikan kemampuanmu.”

Mu Lan adalah adik kandung Wang Su, saudara satu ayah beda ibu dengan Wang Yang. Sejak kecil, keinginan terbesar Mu Lan adalah menikahi Wang Yang, yang hanya dianggapnya sebagai gurauan anak kecil.

Wang Yang menggeleng lembut. “Aku akan sangat berterima kasih padamu, bila kau bersedia menjaga ibuku dan A-Yin selama aku tidak ada.”

Mu Lan memeluk Wang Yang lagi. “Tenang saja, serahkan mereka padaku. Aku akan menjaga mereka baik-baik. Sebagai imbalannya, kau harus segera pulang dan menikahiku.”

Tiba-tiba, Mu Lan memisahkan diri. “Aku akan mengantarmu sampai ke perbatasan, kalau perlu aku akan tinggal di kemah pasukan Taichan,” ucap Mu Lan mengagetkan.

Wang Yang tersentak mendengarnya. “Barusan kau bilang apa?!”

“Aku akan ikut ke perbatasan bersamamu. Belajar bela diri, memanah dan berkuda, belajar apa saja yang kau pelajari. Terutama belajar menjadi istri yang baik untukmu.”

“Itu sangat tidak mungkin. Kau tidak akan betah tinggal di sana.” Wang Yang mulai gerah menghadapi sikap adiknya. “Lagi pula, ayahanda tidak akan memberimu izin.”

“Aku tidak ingin ada wanita yang main mata dengan calon suamiku,” rengeknya manja pada Wang Yang.

“Apa kau pikir kamp pasukan Taichan itu sama seperti Paviliun Qinghe yang dihuni banyak selir? Jangan bercanda, Mu Lan. Di sana hanya ada pria kasar yang memegang pedang dan panah.”

Dengan berat hati, Mu Lan melepaskan pelukannya. “Baiklah, aku percaya ucapanmu. Belajarlah dengan giat agar ayah segera memanggilmu pulang dan memberiku izin untuk menikahimu.”

Wang Yang tidak begitu memperhatikan perkataan Mu Lan sebab matanya menangkap gerak-gerik mencurigakan di pintu gerbang Kuil Bailong.

‘Siapa itu? Dayang Ratu Qi dan tabib kerajaan? Ada apa mereka bertemu di tempat sepi?’ batin Wang Yang penasaran.

“Kak, Kak Yang’er.” Mu Lan menggoyangkan lengan kakaknya dengan keras.

“Heh? Ya, pasti,” jawab Yang’er asal.

“Yang Mulia, sudah waktunya berangkat.” Huazhi memberi hormat yang dibalas tatapan menusuk Mu Lan.

“Ayo.” Wang Yang melompat naik ke atas kuda, menghentak pelan perut gendut hewan berwarna cokelat dengan kedua kakinya dan memacunya menuju gerbang istana.

Setelah keluar dari gerbang istana, Wang Yang menarik tali kekangnya. “Aku rasa, cukup sampai sini kau mengantarku. Kembalilah ke istana. Jaga ibu dan A-Yin untukku.”

“Tapi, Yang Mulia –.”

“Tidak ada yang boleh mengenaliku selama aku berada di perbatasan. Paman Li dan pasukannya akan pergi bersamaku, jadi kau tenang saja.”

Wang Yang paham betul kekhawatiran Huazhi. Selain karena kedudukannya sebagai pangeran, kemampuan bela diri Wang Yang masih jauh di bawah Huazhi.

“Baik, Yang Mulia!”

“Dan satu lagi, awasi tabib kerajaan dan dayang ratu. Aku melihat gelagat mencurigakan dari mereka. Aku teringat cerita ibuku tentang peristiwa kematian beberapa selir kesayangan raja yang diduga karena keracunan.”

Huazhi mengangguk mengerti. “Maksud Anda, ini ada hubungannya dengan tabib kerajaan dan dayang kepercayaan ratu?”

“Entahlah, belum bisa memastikan. Saat aku berniat menyelidikinya, Ayahanda keburu mengeluarkan dekrit mengirimku ke perbatasan. Dan juga, kau perketat penjagaan di sekitar Paviliun Wuyan. Aku khawatir meninggalkan ibu dan adikku.”

“Baik, Yang Mulia!” sekali lagi Huazhi mengangkat tangannya memberi hormat.

“Aku percayakan ibu dan adikku padamu. Jangan lupa, hubungan dekat antara dayang ratu dan dayang selir, juga kasim. Selidiki mereka dan keterkaitan mereka. Jangan sampai ada yang terlewat.”

“Baik, Yang Mulia.”

“Aku berangkat.” Wang Yang menarik kekang kudanya dan mulai memacunya menjauhi gerbang istana.

Andaikata Wang Yang tahu, kepergiannya akan membuatnya kehilangan orang-orang yang dia sayangi, tentu Wang Yang lebih memilih ditangkap dan dicap sebagai pemberontak. Seandainya dia tahu yang akan terjadi.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status