Share

Bab 6 Kembali Ke Istana

Tak terasa sudah enam bulan Xiaoyang tinggal di perbatasan. Karena kecerdasan dan ketekunannya, kemampuannya bermain pedang dan memanah meningkat pesat. Deyun bahkan tidak ragu mempromosikannya naik tingkat.

“APA?! Apa tidak terlalu cepat memindahkanya ke pasukan inti, Kak? Belum genap enam bulan dia di sini!” protes Zening tak terima.

Butuh waktu satu tahun lebih bagi Zening untuk berhasil diterima sebagai pasukan inti di bawah pimpinan Han Xiu. Sekarang, Xiaoyang yang kalah dalam tiga gerakan olehnya, bisa diterima hanya dalam waktu enam bulan. Kenyataan yang mengoyak kebanggaannya.

“Bukan aku yang memutuskan. Kau tahu sendiri bahwa Han Xiu tidak pernah ceroboh dalam memutuskan anggota pasukannya. Dia yang menguji Xiaoyang sendiri.”

“Aku akan pergi mencari Han Xiu.”

“Aku di sini.” Han Xiu muncul dari balik tirai, berjalan mendekat.

“A-Xiu, benar yang Kak Deyun katakan? Pria manja itu sudah resmi menjadi pasukan kita?”

Han Xiu hanya menganggukkan kepala dan tersenyum, yang dibalas hentakan jengkel kaki Zening. Pasalnya, ia dan Deyun yang menunda Zening masuk ke pasukan inti dengan menambah waktu berlatihnya. Alasan Deyun saat itu, ia khawatir ada yang berpikir bahwa Zening dipromosikan cepat karena dia anak Menteri, bukan karena kemampuannya.

“Sebentar lagi dia akan datang, benahi raut wajahmu. Kita adalah satu tubuh, jadi aku harap kamu bisa menerimanya seperti menerima tentara lainnya,” tegas Deyun.

“Baik, Jenderal!” jawab Zening seraya menghormat, membuat ekor kudanya bergerak di balik punggung.

Daehan selalu mengajarkan pada semua tentara pasukan Taichan bahwa mereka adalah satu tubuh yang dipimpin oleh Jenderal Besar. Apabila satu bagian terluka, maka bagian lain akan merasakan sakitnya dan perkataan pimpinan adalah perintah. Ajaran itu yang membuat pasukan Taichan kuat sampai kini.

Xiaoyang masuk dengan gagahnya, mengenakan baju zirah pertama miliknya. Zening menggeser tubuhnya ke samping sambil melemparkan pandangan ingin tahu, ingin mencibir awalnya, berakhir terpesona melihat ketampanan Xiaoyang.

‘Baru enam bulan dia berlatih di sini. Bagaimana bisa tubuhnya menjadi lebih kokoh dan kulit wajahnya lebih maskulin?’

“Jenderal!” Xiaoyang membungkuk memberi hormat.

“Kemarilah, kita bahas hal yang lebih penting.” Deyun kembali ke balik mejanya, mengambil sebuah gulungan peta. “Ini adalah tempat kita sekarang,” tunjuknya pada gambar bendera. “Ini adalah perbatasan Selatan.” Deyun menatap tiga orang di depannya.

“Aku baru mendapat laporan bahwa di sana sedang terjadi masalah. Beberapa pedagang garam menolak membongkar keretanya dan lebih memilih menunggu di penginapan luar perbatasan. Ada kecurigaan mereka membawa barang terlarang melihat pengawalan yang ketat.”

“Jenderal, izinkan aku pergi ke sana dan memeriksa keadaan.”

Deyun mengangguk. “Baik, kau pergilah bersama Zening.” Deyun menunjuk Xiaoyang, membuat bibir adiknya cemberut.

“Baik, Jenderal!” Xiaoyang mengangguk.

“Jenderal!” Ji Mong masuk dengan tergesa.

“Katakan.”

“Ada surat dari Selir Chu.” Ji mong mengangkat gulungan kertas di tangannya.

‘Ibu.’ Xiaoyang mengeratkan rahangnya.

Deyun menerima surat itu dan membukanya, membacanya dengan cepat. Tak lama kemudian, ia menatap Xiaoyang sejenak kemudian berkata, “Kalian keluarlah dulu. Ada yang harus aku bicarakan berdua dengan Xiaoyang.”

“Ada apa dengan ibuku?” tanya Xiaoyang setelah tinggal berdua dengan Deyun.

Pertanyaan Xiaoyang membuat Deyun memicingkan mata sesaat dan menampakkan wajah penuh rasa bersalah pada detik berikutnya. “Pangeran!” Deyun mengangkat dua tangannya memberi hormat. “Maafkan kelancangan hamba selama ini. Hamba tidak mengenali Anda.” Deyun menunduk tak berani menatap junjungannya.

“Bantu aku merahasiakan ini. Katakan, apa yang ibuku tulis dalam suratnya?”

Deyun menegakkan tubuhnya. “Izin menjawab, Yang Mulia. Kondisi Pangeran Wang Yin makin menurun. Saat surat itu ditulis, Pangeran tidak sadarkan diri.”

Xiaoyang menutup mulutnya karena terkejut, mimiknya berubah khawatir. “Jenderal, tolong siapkan seekor kuda yang paling cepat untuk mengantarku kembali ke istana.”

“Maaf, Yang Mulia. Saya harus meminta izin pada Ayahanda.”

“Jenderal, itu akan memakan waktu. Adikku tidak akan bertahan sampai Paman Li memberi jawaban. Aku yang akan bicara sendiri padanya saat bertemu di istana.”

“Baik, kalau begitu saya sendiri yang akan mengantar Anda kembali dengan selamat.”

Xiaoyang diam sejenak, memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi bila menerima saran Deyun.

“Tidak, cukup Ji Mong yang menemaniku. Kau fokuslah mengatasi kerusuhan yang terjadi di Selatan,” tolak Xiaoyang bijak.

“Ji Mong tidak akan bisa melindungi Anda dengan baik. Zening lebih tepat. Saya tidak akan merasa khawatir kalau dia yang pergi mengantar Anda.”

“Hhh,” desah Xiaoyang pelan. “Baiklah, kalau itu bisa membuatmu mengizinkanku pulang ke istana dengan tenang.”

Deyun mengangguk dan tersenyum lega. “Zening!”

Zening menyibak pintu tenda dan melangkah masuk. “Saya, Jenderal!”

“Aku tugaskan kamu untuk mengantar Xiaoyang kembali ke istana. Selir Chu ingin Xiaoyang segera menghadapnya.”

“Maaf Jenderal, tapi saat ini sedang ada kerusuhan di –.”

“Mengantar Xiaoyang lebih penting.” Deyun memotong protes Zening.

“Baik, Jenderal!” angguk Zening hormat seraya mengangkat kedua tangannya.

Sebelum matahari terbit, Zening dan Xiaoyang sudah berangkat meninggalkan kamp pasukan Taichan. Mereka memacu kuda masing-masing dengan kecepatan maksimal. Zening sempat bertanya-tanya apa yang sedang terjadi, namun tidak berani mengutarakannya.

‘Apa hubungan pria ini dengan Selir Chu? Apa mereka kerabat dekat? Pantas saja dia bersikap begitu angkuh. Aku akan tanyakan langsung pada ayah bila nanti kami bertemu.’ Zening membatin sambil mengimbangi laju kuda di depannya.

Setelah berkuda selama hampir dua hari, mereka berhenti di depan gerbang kota.

“Hei!” Xiaoyang memanggil Zening.

“Siapa yang sedang kamu panggil ‘hei’? Aku?” Zening bersungut mendengar panggilan Xiaoyang padanya.

“Tentu saja kamu, memang ada orang lain?”

“Ayahku memberiku nama Li Zening, kamu bisa memanggilku Zening,” sahut Zening cuek.

“Nona, gunakan identitasmu untuk memasuki gerbang kota.” Xiaoyang tidak menggubris protes Zening.

“Kenapa dengan milikmu? Apa kau buronan kerajaan?” balas Zening tak mau kalah.

“Jangan banyak bertanya. Lakukan saja apa yang aku katakan.”

“Cih,” decih Zening seraya berkuda mendekati gerbang.

Dua orang prajurit yang bertugas menjaga gerbang kota menghadang Zening dan memintanya turun dari kuda.

“Tunjukkan identitasmu.”

Zening melemparkan kantong yang tergantung diikat pinggangnya pada salah seorang penjaga. Segera saja penjaga itu menepi dan memberi hormat.

“Silakan, Nona Li!” seru penjaga itu.

Zening kembali melompat ke atas punggung Ru Feng dan bergegas memasuki kota. Suasana kota terasa lebih hening. Mereka memacu kuda perlahan-lahan.

Pak. Pok. Pak. Pok.

“Xiaoyang, apa memang sesunyi ini suasana ibukota biasanya?”

Pria itu mengernyit mendengar pertanyaan aneh Zening. “Apa kamu belum pernah masuk ibukota?” tanya Xiaoyang sambil terus mengendalikan kudanya.

“Hampir tujuh tahun aku pergi ke perbatasan dan baru sekarang kembali.” Zening mengamati toko-toko yang berjajar di sepanjang jalan yang dilaluinya.

“Wanita aneh.”

“Aneh? Apanya yang aneh?”

“Mungkin hanya kamu wanita yang bersedia tinggal di kemah selama bertahun-tahun menjadi prajurit dan jauh dari kemewahan, bahkan berpisah dengan ayahmu,” ucap Xiaoyang jujur.

“Aku memutuskan untuk menjadi prajurit sejak ibuku meninggal karena sakit. Menjadi putri bangsawan bukan hal yang membanggakan untukku. Aku ingin berjasa pada negaraku seperti yang ayah dan kakakku lakukan.”

“Kenapa? Banyak gadis-gadis dari kalangan bawah yang bermimpi menjadi putri bangsawan sepertimu. Masuk ke keluarga bangsawan yang lebih terpandang, membangun keluarganya sendiri.”

“Apa hebatnya menjadi putri bangsawan kalau akhirnya hanya menikah muda dan merawat keluarga? Mendukung suami dengan kuasa yang kita miliki. Semua pengajaran yang kita dapatkan saat masih belia, hanya akan menjadi kenangan.”

Xiaoyang tersenyum samar mendengar pendapat Zening. ‘Wanita unik,’ batinnya.

Tak terasa, mereka sudah sampai di depan pintu gerbang istana. Mereka turun dari kuda, melangkah pelan sambil menuntun kuda masing-masing. Dua orang penjaga melakukan hal yang sama dengan penjaga di gerbang kota tadi, kemudian membuka gerbang dan mengambil alih kuda mereka setelah melihat plakat milik Zening.

“Kita langsung saja ke Paviliun Muyan, kediaman Selir Chu.”

“Tidak, kau bisa pergi ke sana sendiri. Aku akan pulang ke Paviliun Houxiang menemui ayah. Temui aku setelah urusanmu selesai.” Zening mengambil jalan ke kiri tanpa menunggu jawaban Xiaoyang.

Setelah punggung Zening tidak terlihat, Xiaoyang bergegas menuju Paviliun Muyan, tempat ibu dan adiknya tinggal.

“Yang’er, kau kembali.” Song Lin bergegas melintasi ruangan dan memeluk putra sulungnya. Airmatanya mengalir deras dalam dekapan Wang Yang.

“Ibu, tenanglah, aku di sini. Ceritakan apa yang terjadi,” ujarnya seraya mengelus punggung ibunya perlahan.

“Ibu tidak tahu pasti. Pangeran Ketiga menjemputnya dan mengajaknya belajar bersama, kemudian Wang Yin batuk-batuk dan muntah darah setelah pulang dari ruang baca.”

Wang Yang memapah ibunya duduk, sedang ia sendiri berlutut di depan kaki ibunya. “Apa kata tabib kerajaan?”

“Dia tidak berkata apa-apa, hanya menggeleng dan melangkah pergi.” Song Lin kembali tersedu.

“Ibu, berhentilah menangis. Ibu akan sakit bila terus menangis begini. Aku akan melihat A-Yin sebentar.”

Wang Yang menghampiri ranjang tempat A-Yin berbaring. Dilihatnya, adiknya itu semakin kurus dan pucat. Bibirnya kering kebiruan. “A-Yin,” bisiknya lirih. “A-Yin, aku datang. Buka matamu.”

Wang Yin merintih lirih dan membuka matanya perlahan. “Kakak, kau datang.” A-Yin melambaikan tangannya. “Men-de-kat-lah.”

Wang Yang mendudukkan diri dan mendekatkan wajahnya. “Ada apa? Apakah sangat sakit?”

“Kak, ra-cun. Uhuk … uhuk ….”

“Jangan bicara lagi. Aku akan menyelidikinya. Kau harus sembuh. Lihatlah ibu, dia menangis tiada henti karena keadaanmu.”

Wang Yin mengangguk lemah.

“Apa Ayahanda sudah tahu tentang hal ini?”

Wang Yin menggeleng.

“Tidurlah, aku akan menjagamu.”

Setelah adiknya memejamkan mata, Wang Yang berpaling menatap ibunya. Wanita paruh baya itu masih menunduk dalam, menyembunyikan isakannya.

“Bu, apa Ayah sudah menjenguk A-Yin?”

“Baginda sendiri sedang sakit. Beberapa hari ini kurang tidur karena kerusuhan di Selatan dan protes keras pejabat istana. Berkunjunglah ke sana, Baginda akan senang melihatmu datang.”

“Baik, Ibu. Aku akan pergi ke Istana Barat sekarang.”

Wang Yang berjalan menuju kediaman ayahnya disertai Zhou Huazhi. Langkahnya terhenti ketika melewati ruang baca.

“Huazhi.”

“Hadir, Yang Mulia.” Huazhi maju ke samping pangeran.

“Selama aku pergi, apa kau melakukan apa yang aku perintahkan?”

“Ya, saya selalu memeriksa setiap makanan dan minuman yang dikirim dari dapur tanpa sepengetahuan siapa-siapa.”

“Apa temasuk saat A-Yin pergi ke ruang baca?”

“Tidak, Yang Mulia. Hari itu, Pangeran menolak untuk saya temani. Pangeran Ketiga menjemputnya dan mereka pergi berdua. Ada apa, Yang Mulia?”

“Tidak ada.” Wang Yang menatap ruang baca yang sedang dibersihkan oleh beberapa dayang, kemudian melanjutkan langkahnya.

****

Paviliun Jianshan

“Nona, Nona!” seorang dayang muda berlari cepat menemui Ming Lan di ruang baca.

“Ada apa?” tanya Ming Lan tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang ia baca.

“Nona, Pangeran Wang Yang sudah kembali.”

Kepala berhiaskan tusuk konde emas itu mendongak cepat, membuat tusuk kondenya gemerincing. “Benarkah? Apa kau sudah melihatnya?” tanya Ming Lan dengan mata berbinar.

Dayang muda itu mengangguk penuh semangat. “Benar, Nona. Saya melihatnya sendiri. Yang Mulia baru saja memasuki gerbang istana.”

“Bantu aku bersiap. Aku ingin menemuinya.” Ming Lan bergegas menuju ke kamarnya.

Senyuman terus tersungging di bibir Ming Lan. Gerakannya tergesa, pikirannya hanya tertuju pada pertemuannya dengan Wang Yang sebentar lagi.

“Ming’er, apa kau di dalam?”

Terdengar panggilan Kanselir Zhao di depan pintu kamar Ming Lan. “Ya, Ayah.”

“Keluarlah. Sebentar lagi kita pergi ke istana. Ratu Qi ingin bertemu denganmu.”

Tangan Ming Lan yang sedang menggunakan kertas pewarna bibir, terhenti di udara. ‘Bertemu Ratu? Astaga, bagaimana bisa aku melupakannya. Aku telah menyetujui menjadi calon istri Putra Mahkota dan masuk istana hari ini.’

“Ming’er, kau dengar Ayah?”

“Ya, Ayah. Sebentar lagi selesai.”

Beberapa saat kemudian, Ming Lan keluar dari kamarnya.

“Ini dia calon ratu berikutnya.” Zhao Ziliang menepuk kedua bahu putrinya. “Kau satu-satunya harapan Ayah untuk menjadi mertua raja di masa depan. Kau harus membuat Ayah bangga dan berkuasa.”

“Engh,” gumam Ming Lan ragu.

“Ada apa?” Ziliang mengernyit heran.

“Ayah, masih sempatkah perjodohan ini dibatalkan? Aku punya seseorang yang aku sukai.”

Ziliang meraih bahu putrinya dengan kesal. “Kau pikir kita sedang membeli tusuk konde? Seenaknya saja mau dibatalkan, tidak bisa. Kau harus masuk istana hari ini!” seru Ziliang marah.

Ming Lan mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. ‘Bodohnya kamu. Terlalu gegabah memutuskan. Kau akan menyesali ini Zhao Ming Lan,’ rutuknya dalam hati.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status