Share

Malam Perburuan

Malam ini punya bulan sempurna berwarna merah. Bulan yang menunjukkan kondisi terbaik kosmos bagi para mahluk supranatural yang dianggap sebagian orang sebagai mitos. Munculnya bulan ini juga dipakai beberapa manusia dalam cult untuk mempersembahkan sesaji mereka di beberapa titik yang dianggap sakral sebagai uang muka untuk mendapat apa yang mereka inginkan.

Di malam itu ada tiga bayangan hitam yang mengejar seorang wanita yang berlari di dalam hutan. Hutan itu sebenarnya hutan kawasan yang dilarang untuk disentuh. Tapi seperti banyaknya larangan, hutan itu juga jadi tempat manusia melakukan dosanya yang lebih seperti keintiman yang seharusnya romantis dan manis.

Awalnya gadis itu hanya numpang minum di dalam bar di diskotik murah. Ia bertemu tiga pemuda berkaus hitam yang mulai menggodanya dengan minuman dan juga canda ringan. Sampai satu titik di mana pemuda itu membawanya paksa ke dalam hutan yang tadi kujelaskan dan si gadis berlari menghindari mereka.

Jika kau pikir kisah gadis itu hanya sampai di sini, di dalam hutan gelap yang diterangi bulan merah, maka kau salah.

“Kau tak bisa lagi mengelak.” Suara dari pemuda berpakaian hitam dengan mata liar yang berusaha mendekati wanita itu terdengar menyeramkan. “Kau berikan saja dirimu. Tak ada gunanya hidup terlalu lama jika hanya menderita.”

“Siapa kalian?” tanya gadis itu yang kini berdiri di sudut tebing.

“Mari hentikan pembicaraan ini, dan lekas berikan jantungmu.”

Lalu tiga sosok hitam itu melesat, mereka mendorong tubuh si gadis hingga rebah dan mendudukinya. Salah satu pemuda dengan posisi tepat di dada mengeluarkan belatinya dan berusaha menghujam, dan gadis itu menjerit tercekik dengan lima sentimeter metal yang terbenam di dadanya.

“Cepat ambil jantungnya. Sebentar lagi mendung, dan bulan akan tertutup.” Salah satu pemuda mengeluarkan belatinya untuk membantu temannya yang sudah bergerak menyobek. Mereka cukup sibuk sampai tak menyadari saat seseorang muncul dan menatap mereka dari atas sebuah ranting pohon.

“Siapa itu?” Suara gesekan ranting membuat ketiga sosok terkejut. “Keluar! Kau tak akan selamat dengan hanya bersembunyi.

Lalu terdengar suara tawa, tawa yang semakin keras dan membuat kuduk merinding.

“Kalian dibodohi dengan bujukan para dukun gadungan. Jantung itu tak akan bisa membuat kalian kaya berapapun kalian memburunya.”

“Jangan hanya berkata, tunjukkan wujudmu!” jerit salah satu pemuda. Dia tak tahu siapa yang dihadapi. Kalaupun ia tahu, nyawa mereka sudah tak mungkin lagi selamat.

Lalu tubuh yang semula mereka bunuh tiba-tiba bergerak, pergerakan itu menimbulkan suara mengerang yang membuat ketiga pemuda takut. Siapapun tak menyangka jika mayat dengan luka di jantung akan kembali hidup.

Lalu mayat itu melompat, menerkam salah satu dari mereka dan menciptakan keributan besar hingga kedua pemuda sisanya berlari takut hanya agar bisa selamat.

Namun bisakah mereka selamat? Pria yang sebelumnya hanya bertengger di atas ranting, kini melompat menerkam salah satu lelaki berpakaian hitam. Ia membiarkan jantung mereka terus memompa agar darah yang mengucur akibat tancapan taringnya keluar deras tanpa perlu repot dihisap.

Pria misterius itu lapar. Ia berburu untuk makan, dan tak mungkin membiarkan objeknya untuk lolos sampai tetes darah terakhir.

“Kau memakan buruanku.” Gadis yang semula terlihat seperti korban muncul di belakang pria penghisap darah itu. Ia mengacungkan belati yang berasal dari dadanya dan mengalungkan ke leher si pria. “Nyawamu taruhannya jika satu lagi pemuda tak berhasil kudapat.”

Ralp, sang pemuda penghisap darah tersenyum seram. Dia dengan sigap menepis belati yang kemudian terpental dan merengkuh tubuh si wanita yang kini mulutnya penuh darah. “Aku akan membawa sisa pemuda itu padamu, jadi jangan mengeluh.”

Ralp melompat dan bayangannya seperti kilasan asap di kala malam. Ia bermain dengan buruannya yang berlari takut dan berhenti di sebuah pohon besar karena sakit di kakinya. Malam ini buruan itu tengah sial, dan berdoapun bukan jawaban atas ketakutannya. Mungkin Tuhan juga muak dan murka padanya, maka saat ia merapal surat-surat pendek, tubuh Ralp sudah menggantung terbalik dan menyeringai padanya.

“Tolong jangan bunuh aku.” Pemuda itu gemetar dan menggulung tubuhnya karena takut. “Aku punya keluarga kecil. Aku harus pulang selamat untuk memberi anakku makan.”

“Waw,” Ralp mendesis gemas. “Kau berkata soal pengampunan, tapi mengapa kau memburu para gadis muda untuk diambil jantungnya? Kau pikir mereka bisa pulang ke rumah hidup-hidup dengan dada melompong? Kau terlalu lucu.”

“Be, be,” sang pemuda masih gemetar, tapi sebuah kekuatan membuatnya melompat dan menyerang Ralp dengan belati yang semula tak ia ingat. “Brengsek! Mati kau!”

Ralp melompat menghindari belati. Dia bisa sembuh dengan cepat, tapi permainan menyerang dan menghindar akan jadi latihan bagus untuk melatih cara bertarungnya.

Dunia tempatnya tinggal merupakan dunia yang kejam. Orang mungkin merasa modern, tapi kebanyakan dari mereka hidup dari menjatuhkan dan membunuh orang lain. Dia berumur panjang, tapi dia masih tak mau jika harus mati dengan mudah.

Tak lama, belati yang semula digunakan untuk menyerang sudah berada di leher pemuda manusia itu. Ralp tersenyum dan membayangkan rasa darah yang nanti akan mengisinya, dan mulai meneguk air liur.

“Siapa tuanmu?” tanya Ralp sebelum penghabisan terakhir.

“Aku tak tahu.”

“Bagaimana kau bisa tak tahu?”

“Mereka tak pernah memberi tahukan wujud dan alamat mereka. Jantung persembahan kami hanya diletakkan di altar dan sedetik kemudian lenyap dengan cepat.”

Ralp kembali tersenyum sangar. “Mereka? Jadi tak hanya satu tuan?”

Pemuda itu menggigil. Ia bahkan sempat terkencing karena takut, dan saat ia mencoba mendorong tangan Ralp, belati senjatanya sudah menggores lehernya hingga darah yang mengaliri tubuh muncrat ke semua tempat.

“Kau menghabisinya sebelum dia selesai bicara.” Wanita vampir yang semula terlihat seperti korban sudah mengayunkan kaki di salah satu ranting di dekat Ralp. “Kita bisa saja menemukan jawaban yang lebih pasti dari sekedar jumlah.”

“Kita bisa menemukan jawaban yang lain. Dengan kematian mereka, kita bisa mencari sumber lain untuk menemukan letak para penyembah iblis itu.”

“Kau begitu yakin.”

“Aku yakin dengan semua jalan yang kubuat.” Ralp melempar tubuh serupa mayat ke arah gadis itu dan membersihkan noda darah di tubuhnya. Ia bahkan sempat membuka pakaian dan membakarnya agar tak meninggalkan barang bukti saat ia pulang.

“Kau mau ke mana?”

“Aku kangen pacarku. Kau bisa pulang sendiri kan, Wendy?”

Gadis bernama Wendy itu mendesis. “Kau bermain dengan manusia lagi. Apa gadis itu tahu kalau kau vampir?”

Ralp tersenyum. “Aku tak peduli. Sekali dia milikku, selamanya dia akan tetap milikku.” Lalu Ralp melompat dari sebuah tebing curam yang punya aliran air dalam di bawahnya. Ia menyelam dan mandi sebelum akhirnya berjalan menuju mobil yang ia parkir tak jauh dari tempat itu.

“Jenny, aku datang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status