Cinta sepihak, cinta yang jujur, cinta yang panas. Wanita penulis bernama Jenny sudah merasakan hampir semua rasa yang orang sebut cinta. Dan dia tak percaya begitu saja. Bahkan jika dia mau mendeskripsikan apa itu cinta, hal itu tak jauh dari penyerahan total di atas ranjang dan berapa ronde yang bisa dilalui saat kedua tubuh bersatu. Dan Ralp datang. Pria bugar yang bagai dewa kesuburan di jaman modern. Di terlalu tangkas untuk ditolak, tapi terlalu berbahaya untuk diraih, terlebih saat Jenny menemukan sekantung darah yang tak lazim ada di dalam tasnya. Siapa Ralp? Mengapa dia menggairahkan dan berbahaya. Satu lagi. Apa Jenny harus menghindarinya? Itu artinya dia harus mengganti nama dan kependudukannya yang tentu saja tak mungkin dia lakukan mengingat Jenny hanya penulis amatir dalam sebuah situs dewasa.
더 보기Susah sekali konsentrasi saat ritme stabil di antara kedua pahaku jadi semakin intens. Pria itu buas dan baru saja bersamaku sejak seminggu, dan kali ini dia mau lebih dari satu ronde.
“Seben …, tar.” Aku tersenggal dan berbalik hingga tubuhku berada di atasnya. Semua yang ada di antara kami harus semakin cepat dipompa karena kepalaku juga mulai linglung.
“Yes, Jenny. Kau seksi sekali.” Dia memejamkan mata dan pinggulku ditekan keras hingga apa yang ada di antara kami jadi semakin ketat.
“Siapa namamu?”
Dia membuka mata dan tampak terkejut. Tak lama sampai dia tersenyum dan menaik turunkan pinggulnya. “Aku Ralp. Kau sepertinya tak bisa berpikir. Mau aku yang ada di atas?”
“Seb,” Aku melenguh. Rasanya nikmat sekali dan aku sudah berada di puncak, dan setelah itu tubuhku jatuh dan berbalik dengan dia di atasku lagi. “Tunggu! Aku baru keluar,” ujarku dan pria bernama Ralp itu tak mau tahu.
Entah harus senang atau marah. Masalahnya ceritaku belum selesai untuk diketik dan pria itu mau terus lekat denganku walau aku sudah membanjiri ranjang. Besok seprai dan penutup springbed ini harus kucuci sebelum teman sekamarku datang, dan …. “Ah! Emh!” Aku keluar lagi bersama Ralp yang mulai menggigiti dadaku.
Kisah liarku bersama Ralp hanya satu dari ratusan kisah lain yang berjalan sebelumnya. Aku merasa rileks dengan aktifitas ini setelah banyak beban kehidupan yang banyak wanita lain rasakan termasuk ketika mereka dalam masa datang bulannya.
“Kau suka?” tanya Ralp. Dia sepertinya berbisik dan aku tahu nafas mentol itu akan menagih lagi setelah dia siap.
Ralp dan aku baru berkenalan sejak seminggu lalu. Dia teman tongkrongan yang sepertinya tertarik padaku bukan hanya dari wajah tapi dari pilihan kausku yang selalu memperlihatkan belahan menggantung di baliknya.
Aku bukan berniat menggoda. Aku hanya suka terlihat tak biasa dan menarik. Belahan ini juga kubeli murah dengan harga 35.000, tidak termasuk jaket seharga dua ratus ribu yang terkesan crop top dan tangan yang kepanjangan.
Menurut mereka aku sangat menarik. Penilaian itu bukan penilaian sembarangan karena penampilanku hasil dari membaca beberapa situs fasion dan juga perbandingan gaya anak muda yang sesuai untuk paruh baya sepertiku.
Saat ini aku baru saja meneruskan dua paragraf, nyaris tiga paragraf saat Ralp kembali memelukku dan memijat apa yang menonjol di dada.
“Kau harus bekerja besok. Sisakan tenagamu, sayang. Matahari sudah akan muncul sejam lagi, dan kau belum tidur.” Aku menciumnya sekali. Menyenangkan bisa berada di antara otot-ototnya, namuan jika aku melakukan hal ini tiap hari, aku bisa kehilangan ratusan liter cairan tubuh karenanya.
“Siapa yang peduli?” Dia masih memelintir dan memijat, kali ini dengan mulutnya.
“Aku peduli. Kau harus bekerja keras untuk patungan uang listrik di kontrakanku.” Aku sedikit bercanda. Bukan tipeku untuk meminta-minta pada pria, apa lagi jika dia tak kukenal.
Setelah banyak pertentangan dan asupan jilatan yang membuatku migrain, Ralp akhirnya menyerah dan memutuskan mandi. Dia tak bisa tidur dan lebih memilih untuk menyegarkan diri dan membuka sosial media sebagai hiburannya, atau mandi seperti sekarang.
“Ralp? Kau mau kopi?” Aku mengetuk pintu kamar mandi, dan Ralp menjerit menjawab di baliknya. “Kau mau makanan juga?”
Kepala Ralp keluar dari balik pintu dan ia tersenyum manis, “Aku mau memakanmu,” ujarnya dengan kerlingan nakal yang membuatku gila.
“Omong kosong! Cepat mandi! Nanti kopimu dingin.”
Aku tersenyum dengan semua madu dari pria gagah itu. Rasanya terlalu omong kosong jika aku mengeluh soal stamina padanya.
Namun satu hal membuat semuanya berbeda. Saat itu aku tengah menggoreng telur mata sapi dan membaginya jadi dua setelah dimasukkan dalam dua rapis roti. Gawai Ralp berdering sangat kencang hingga membuatku terganggu dan ingin mematikannya lekas-lekas.
Tapi bukan itu masalahnya.
Ada sebuah kantung plastik berisi cairan aneh dan keterangan yang aku tahu tak lazim ada di tas seorang pria biasa. Kantung itu berisi darah, dan bahkan petugas palang merah tak akan meletakkan kantung darah sembarang dalam tasnya. Dan Ralp bukan petugas palang merah.
Rasanya ingin bertanya, tapi aku ragu dan lekas memasukkan kembali kantung darah itu ke dalam tas setelah sebuah suara siulan mendekatiku.
“Lapar?” Ralp menggeleng. “Aku cukup berenergi dengan bibirmu. Mau mengulang apa yang terjadi seperti sebelum aku mandi?”
Seharusnya aku tergoda. Bahkan bibir Ralp sama panasnya dengan suara erangan yang ia keluarkan. Tapi tidak. Aku merinding dan ketakutan. Cepat-cepat kulepaskan pelukan pria perkasa itu dan mencari obrolan lain yang bisa menetralkan rasa takutku.
“Kau mau mandi?” tanyanya setelah menyuap sandwich yang kubuat. Dan dia benar. Berada satu ruang dengan pria aneh tak baik untukku, dan beralasan untuk mandi sepertinya bagus.
Aku melirik pada pisau yang ada di depanku dan mengantunginya. Sekedar berjaga jika ada hal yang lebih aneh dari seseorang yang membawa sekantung darah.
Lalu sebuah tangan menahan pisau yang sudah setengahnya masuk ke saku.
“Untuk apa membawa pisau?” tanya Ralp dengan mata dingin. Tangan yang menggenggamku juga dingin yang membuatku berpikir jika pria itu bukanlah manusia.
“Aku hanya ….”
“Kau melihatnya?” Ralp tak membiarkan aku menjawab.
“Melihat apa?”
“Darah di tasku.”
Ludah kuteguk. Mataku berpaling dan tanganku yang menggenggam pisau tak bisa bergerak dari genggaman tangan Ralp.
“Tidak,” jawabku.
Ralp mencari arah mataku dan dia melihat ketakutan di situ. “Kau gemetar.” Dia benar, dan aku merasa nyawaku sebentar lagi melayang. Lalu sebuah seringai, nafas bau mentol, dan kecupan yang liar menyerangku. Aku masih menggigil, tapi lidah Ralp sudah berada di telingaku dan membuat diri ini merasa sangat bodoh dan bergairah. “Tak apa kalau kau takut. Aku tak akan melakukan apapun untukmu. Yah, mungkin satu ronde bersama di ranjang bisa jadi pilihan bagus untukmu.”
Ralp berusaha bermain, dan aku berusaha tak gila karena kali ini rasanya aku dipaksa.
Tangan Ralp mengambil pisau yang semula kugengam. Dia menarik tangan itu ke pundaknya dan menyerangku dengan lumatan kasar dan berbahaya.
“Aw!” Bibirku terluka, dan Ralp menghisapnya dengan bringas. Sejenak aku ketakutan, karena saat kecupan itu usai, warna matanya berubah merah dan taringnya meruncing.
“Ups,” matanya memendangku dengan gairah tak biasa. “Aku terlanjur menghisap darahmu.”
Aku tak tahu apa maksudnya. Yang kutahu pinggulnya sudah naik turun, bergoyang, dan menggodaku untuk melenguh dan jadi tak berdaya.
Persetan jika dia orang aneh. Bahkan jika dia pembunuh, aku masih merasa sangat beruntung karena ronde yang kami lakukan di ranjang basah ini berlangsung berkali-kali sampai aku kehabisan nafas dan pingsan.
"Tepat seminggu." Wajah Editorku cerah setelah ia selesai membaca naskah yang kukirim. "Apa kau memakai semacam jasa ghost writer?"Aku tahu dia bercanda dan aku tahu hati kecilku sedikit tersinggung. "Maksudnya?""Aku tak punya maksud apa-apa, hanya saja tiga ratus halaman dalam seminggu bukanlah hal yang normal. Atau kau pakai semacam doping." Ya Tuhan, dia terus menggodaku."Ya. Aku banyak minum kopi Toraja. Paling tidak lima gelas sehari dan tanpa gula."Wanita cantik di seberang layar mengangguk. "Aku akan lapor ke atasanku, untung saja kau menepati janjimu, karena aku lelah beradu otot mempertahankan sesuatu yang aku sendiri tak tahu pasti hasilnya."Aku tak bisa menahan tawa melihat komentar editor sial itu. Aku tahu dia tak serius dan jika pun serius, hal tersebut cukup normal bagiku. Tiga ratus halaman dalam seminggu? Aku benar-benar seperti orang gila yang tidur sebentar pun masih bermimpi tentang plot. Sial."Eh, ada o
Hari ini Wendi memutuskan untuk memasak sebagai perayaan atas putusnya Ralp dari pacarnya. Gadis ini terlalu kekanakan dan bahagia luar biasa saat mendengar keputusan yang Wendi anggap besar."Kapan kau pulang? Apa kau suka ayam kecap?" Dia mengetik pesan chat untuk Ralp tanpa tahu kalau pria itu tak bisa lepas dari kekasihnya dengan mudah.Seharusnya Wendi paham jika pria itu tak akan dengan mudah jauh dari wanitanya, dan seharusnya Wendi curiga akan kepergian Ralp yang tak jua muncul seharian."Grusak!"Wendi terusik oleh suara berisik di dekatnya. Telinganya memberi pesan ke otak bahwa ada pergerakan tak wajar yang berselimut aura gelap di dekatnya.Wanita itu tak punya apa-apa untuk dijadikan alat mempertahankan diri, jadi dia melompat dengan sangat tinggi, dan menerjang sebuah bayangan yang berada paling dekat dengannya.Seorang pria berkelit dari serangan Wendi. Dilihat dari bagaimana dia bisa menepis serangan wanita itu, bisa dipastikan jika dia bukan ma
"Gunakan lidahmu." Mata Wendi menatap tajam tubuh pria yang duduk berlutut di depannya. Pria itu diberi penutup mata dan borgol dengan niatan jika apa yang dia dan penyewanya mainkan akan jadi sebuah hal yang seru. "Kau tidak mendengarkan? Kubilang jilat aku." Kaki Wendi memijak wajah sang pria dan membiarkan lidah si pria membersihkan setiap sela di jarinya.Wanita itu berharap sebotol minuman yang ia teguk dapat menyamarkan rasa kalutnya, bahkan kalau perlu, ia ingin permainan liar yang dia lakukan bisa jadi obat atas sakit hatinya pada Ralp.Ia masih tak mengerti mengapa rekan vampirnya itu tunduk separuh itu pada kekasihnya? Apa pesona wanita itu hingga Ralp membelanya mati-matian?Wendi sangat kesal, dan kakinya yang basah menendang objek prianya sampai terjatuh."Apakah semua pria itu bodoh? Apa mereka tak bisa melihat onggokan daging lain yang sangat berharga sepertiku?" Wendi maju dan duduk di tubuh pria yang pasrah saja dikerjai. Tangan wanita itu membuka pe
Saat seseorang tengah dalam tekanan maut, dia akan melakukan apapun untuk bertahan hidup walau tenaganya tak lebih besar dari selembar bulu.Aku sendiri tengah meronta dengan tubuh telanjang dan tangan seorang wanita di leherku. Dia punya kekuatan yang tidak seperti wanita dan aku mulai batuk batuk karena rasa sakit dan gatal di tenggorokanku.Saat wanita menyeramkan itu kembali bertanya, gagang shower di genggamanku jadi senjata ampuh yang kugunakan untuk kujejalkan ke mulut lawan. Dia cukup terkejut terlebih ketika aku berhasil mendorongnya jatuh dan menindihnya dengan kaki di leher."Apa salahku? Kenapa kau menyerangku seperti ini? Kau gila atau apa?"Aku merasa suaraku seperti peluit yang nyaring, dan keadaan unggulku sebelumnya berubah lagi saat si wanita aneh lawanku berguling dan menduduki tubuhku.Sumpah, aku tak pernah menemui manusia segila dirinya yang menyerangku tanpa kutahu apa alasannya. Dia mulai menamparku dan mengulang pertanyaan yang sama. "Apa
"Kau tak mau memakan itu?" Wendi menunjuk setumpuk kentang goreng di pangkuan Ralp. "Kau mendengarkan?"Ralp mengerjap sejenak sebelum akhirnya menarik nafas berat. "Sepertinya aku melakukan kesalahan.""Tunggu!" Wendi meneguk Sodanya sebelum melanjutkan kalimat. "Apa kau terjebak sebuah masalah seperti menghamili anak gadis preman pasar lama, atau kau terlibat pinjol?""Aku serius.""Terlibat pinjol juga hal yang serius."Ralp tertawa. Bisa-bisanya dia berbicara pada seorang wanita dengan sifat anak sepuluh tahun. "Sudahlah. Lupakan saja."Melihat Ralp yang gusar dan terus menerus murung membuat Wendi semakin penasaran. "Baik, coba mulai ceritakan lagi masalahmu. Kali ini aku akan mendengarkan lebih serius." Ralp mengerutkan keningnya seperti jika ia tak bisa percaya pada Wendi seratus persen. "Hei, kalau kubilang aku serius, maka aku serius. Ada apa dengan ekspresi itu?""Oke, oke." Ralp membelai rambutnya yang kaku karena wax. "Aku membocorkan rah
Tangan Ralp bergerak berbeda dari kesan sensual yang biasa. Dia merengkuh diriku dan meloncat dengan sangat tinggi ketika puluhan vampir mulai menyergap kami. Sepanjang hidupku, mungkin baru kali ini adrenalinku mengalir lebih deras. Aku bahkan tak mampu menjerit dan merengkuh Ralp agar ia mendekapku lebih kuat.Mobil kami masih di tempatnya, ia dibuka dengan gerakan tangan yang terburu-buru dan tubuhku seperti dihentak saat memasukinya."Pergilah. Injak gas sekencang mungkin dan jangan cari pertolongan, itu percuma." Ralp menengok dengan gusar pada sekelompok vampir yang kian mendekat. "Aku akan menyusul mu. Jadi pergi saja dari sini." Aku megap-megap. Kenapa aku harus menurutinya, padahal rasa khawatir di dadaku lebih besar? "Pergi!" Jeritan Ralp membuatku menggerutu sebelum menginjak gas. Satu yang kutangkap dari spionku, gerombolan zombie itu beterbangan setelah kudengar suara dentuman keras.Tak bisa kutahan air mata yang jatuh dan gemetar di seluruh tubuh. Rasanya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글