Share

Kepala Babi

“Percayalah, Kris, pria itu terlalu menggoda tapi juga aneh di waktu yang sama. Aku terus saja tak bisa tidur tenang setelah tahu dia mengantungi darah di tasnya.”

“Tapi kau masih menidurinya.” Kristi tampak tertarik. Dan saking tertariknya, di depannya sudah berjajar beberapa keripik dan juga soda. “Kau ini penganut BDSM atau apa? Kau tak ngeri jika saja dia membunuhmu?”

Aku menjerit. “Ngeri. Sangat ngeri. Tapi setiap dia menyentuhku, aku lupa betapa ngerinya aku pada saat itu.”

“Kau sakit."

Aku terdiam dan mengurut keningku. “menurutmu, apa aku perlu ke psikolog? Sepertinya aku butuh masukan yang serius.”

“Kesehatan mental itu penting. Coba saja berobat.” Temanku itu tiba-tiba mengangkat alis dan mengecek gawainya. “Aku harus pergi. Ada kuliah sore hari ini, dan akan sangat tak sopan jika aku telat.”

“Bagaimana dengan aku? Bagaimana jika pria itu datang lagi dan mengusikku?”

Kulihat Kristi memutar bola matanya. “Aku bisa apa? Aku hanya seorang wanita. Berada bersamamu juga tak membuatnya lumpuh. Aku bahkan tak pernah berhasil menangkap seekor tikus.” Lalu dia menghilang dan meninggalkanku yang kemudian memakan sisa dari keripik dan soda.

Tiba-tiba pintuku diketuk. Aku merasakan rasa yang membuatku merinding saat ketukan itu kembali terdengar. Rasanya seperti ruhku menolak untuk membuka pintu, tapi kedaginganku penasaran setengah mati.

“Aku tahu kau di sana,” ujar suara yang membuatku merinding.

Ralp tahu betul kapan harus membuatku gelisah, disentuhnya ataupun tidak.

“Aku tak ada di rumah,” jeritku yang berharap agar dia lekas pergi.

Lalu suara tawa. “Kau tak mengijinkan aku masuk?” tanyanya yang tentu saja jawabannya iya. “Apa kau tak lelah hari ini?” Aku cukup lelah memikirkan ketakutanku sekarang. “Apa kau tak mau dipijat? Kau tahu jariku cukup jenjang untuk menjangkaumu dan membuatmu gelisah.” Ya Tuhan. “Kau mau aku membuatmu melengking nikmat? Apa kau tak rindu adikku?”

Cukup. Semuanya terdengar menakutkan dan juga menggoda. Dan saat aku sadar, aku sudah melihat Ralp di hadapanku dan menatapku sayu. Tak hanya itu. Tubuh Ralp berbau amis dan dia bermandikan darah.

“Apa yang …?”

Ralp memelukku saat aku mundur. “Tak apa. Ini bukan darahku.”

“Apa?” aku justru makin takut.

“Ini darah babi. Aku berburu babi dan mendapatkan kepalanya.” Dia menunjukkan sebuah kepala berbulu dengan moncong yang khas dan membuatku ngeri.

“Siapa yang berburu babi di jaman ini? Dan aku tak bisa memasak daging apapun yang berdarah di seluruh tubuhnya.”

Aku jujur, tapi Ralp malah memandangku seakan aku bersikap manis padanya.

“Aku yang akan memasaknya. Kau belum makan, kan?”

“Sudah.”

“Makan apa?”

“Keripik dan soda.” Dan itu membuatnya tersenyum lagi. Berbeda dengan kehadirannya dulu, Ralp kini membuatku khawatir dan takut. Banyak sekali cerita psikopat yang kubuat, dan sifat serta penampakannya mirip sekali dengan Ralp saat ini. “Kau tak mau mandi dulu?” Aku bisa bersiap untuk menelepon polisi saat dia mandi.

“Bagaimana kalau kau mandikan aku?” Aku meneguk ludah. Pikiranku kacau, terlebih saat dia meraih tanganku dan meletakkanku di balik celananya. “Dia juga sangat kotor dan senang muntah.”

Apapun itu bisikan Ralp sampai ke telingaku. Dia menjilat, dan memutar lidahnya menjadi gelinjang yang membuatku rela jika harus mati saja.

Ralp membawa tubuhku untuk ikut bersamanya. Ia melepas semua yang kami kenakan dan membawa cairan sabun sembari memijatku yang sudah licin.

Kenapa aku begitu bodoh dan menurut? Dia bukan pria tampan satu-satunya di hidupku. Aku bisa memutuskan untuk tak lagi mengenalnya dengan satu kalimat. Tapi godaan Ralp terlalu besar. Aku seperti dihipnotis dan menuruti nafsu pria bugar itu.

“Ah!” Ralp mengisiku dan membuatku merasa  melayang.

“Kau mau kupercepat?” tanyanya, dan aku tak bisa menjawab. Bergumam mungkin, tapi menjawab denga kalimat jelas itu sulit. “Kalau kau tak bicara, aku akan berhenti.”

“Emh,” Aku mengatur nafas saat tempo di pinggulku melambat. “Aku mau ….”

“Mau apa?” Ralp seperti mempermainkanku.

“Aku mau lebih cepat.”

“Seperti ini?” Dia menghentak hingga membuatku penuh.

“Lagi.”

Dan kami menggila. Sabun kami bahkan belum terbilas, namun setiap pergerakan membawa kami sampai ke ranjang yang sekali lagi basah oleh dosa.

Tak bisakah aku menghindar? Rasanya terlalu tak biasa dan Ralp tahu bahwa aku suka menjerit dalam kecupan.

Kami terbang bersama, dan pria di atasku tahu bahwa dia tak akan bisa berhenti sampai bisa beberapa kali keluar.

Aku lelah, dan matahari menyadarkanku bahwa Ralp meninggalkanku yang pingsan dan bahagia.

Saat aku bangkit, satu-satunya yang kulakukan adalah mengacak rambutku. Pria itu bahkan menyediakan kepala babi panggang di meja makan setelah membuatku galau. Apakah aku khawatir akan diriku? Jawabannya, ya. Tapi Ralp merubah khawatir itu jadi tepukan dipinggul semalaman. Aku bahkan susah mengingat namanya saat kami beradu, tapi Ralp tahu, tak penting bagiku yang bisa terus bergerak untuk tahu siapa namanya.

Kulihat jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Ada bekas biru di dadaku dan juga sekitar paha. Pria itu liar dan tahu bagaimana aku kebingungan untuk bisa lepas darinya.

Lalu pintu diketuk. Aku menarik nafas dan bersiap menghardik agar Ralp pergi kalau itu dia, tapi Kristi muncul secara mendadak dan bersiul takjub.

“Bau dan kekacauan apa ini? Euh! Kau bertingkah gila rupanya.”

“Kau darimana saja?” tanyaku yang sudah mengenakan kimono merah muda.

“Dari kuliah.”

“Semalaman? Dosenmu gila, ya?”

Kristi tertawa. “Kau tak akan percaya jika kuceritakan?”

Aku menyipit dan menyelidiki isi kepala Kristi. “Apa kau berkencan hingga lupa jalan pulang?”

Kristi tertawa. “Kau cukup tahu rupanya.”

“Siapa?”

“Apanya?” Kristi berusaha menghindar dengan berpindah ke meja makan.

“Siapa teman kencanmu.”

“Tak akan kuberitahu.”

Aku kembali menyipit dan menelisik. “Pasti Robert.”

“Bagaimana kau bisa …?”

Lalu aku tertawa keras. Mudah saja menebak siapa yang dekat dengannya. Robert selalu ada di cerita Kristi dan dia tak mungkin bisa berbohong di depanku. Maksudku dengan wajah polos itu? dia mungkin hanya bisa menipu dirinya sendiri.

“Apa dia hebat?”

“Apanya?” Kristi kikuk dan mencabik selembar kulit babi kering.

“Di ranjang. Apa dia mulai dengan meludahimu dulu?”

“Iuh!” Kristi melemparku dengan tisu. “Dia lebih baik dari yang kukira.”

Aku menjerit. “Aku mendengar sesuatu yang fantastis. Kau melakukan berapa ronde malam ini?”

Kristi kembali kikuk. “Aku mau makan, dan cepat bereskan bau aneh di kamar ini! Ya Tuhan, basah apa itu di kasur?” Dia mengelak dengan halus.

Aku sendiri menarik nafas dan melihat apa yang Kristi tunjuk. Bisa-bisanya aku bercinta dengan bekas yang sangat kentara. Apakah aku mabuk malam tadi? Sial!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status