Inspektur Yoga merebahkan punggung di kursi kerjanya. Lelah matanya tak bisa ia tutupi. Beberapa waktu terakhir ia memang terpaksa harus lembur. Bahkan di atas meja kerjanya masih ada setumpuk berkas yang harus ia periksa. Baru saja matanya hendak terlelap, terpaksa harus tersadar karena mendengar suara ketukan pintu. Seorang pria berseragam pun masuk setelah diberi izin olehnya.
"Lapor, Pak!" Pria itu menberi hormat. "Saya baru saja mendapat kabar telah ditemukan mayat seorang laki-laki tanpa identitas di kawasan Taman Akcaya. Sementara ini mayat diduga adalah korban pembunuhan, Pak."
Wajah Yoga berubah muram. Apalagi ini? kata Yoga dalam hati. "Pembunuhan?" tanya Yoga memastikan. "Bagaimana kalian bisa menyimpulkan secepat itu? Bahkan saya belum melihat keadaannya."
"Berdasarkan keterangan pelapor, keadaan korban sangat mengenaskan, Pak. Kecil kemungkinan ini adalah kasus kecelakaan apalagi bunuh diri."
Apakah separah itu? batinnya lag
Inspektur Yoga meminta pelayan rumahnya menyediakan minuman setelah membukakan pintu untuk Alfie dan Si Kembar. Mereka berjalan menghampiri Bripka Adi dan Aipda Hendri di ruang tamu yang telah datang lebih dulu."Siapa mereka?" bisik Bripka Adi pada Aipda Hendri.Aipda Hendri hanya mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya."Maaf, Pak Alfie! Saya harus meminta kalian datang langsung ke rumah saya. Di luar sana hujan turun lagi. Jadi saya rasa lebih baik kita membicarakannya di sini saja," ujar Yoga merasa sedikit bersalah.Alfie tersenyum semringah. "Itu bukan sebuah kesalahan, Yoga," balas Alfie seraya menepuk pelan pundak Yoga. "Aku yang harusnya meminta maaf karena akan merepotkanmu."Inspektur Yoga tertawa renyah mendengar pernyataan Alfie. Ia pun langsung mengenalkan Alfie dan Si Kembar kepada Bripka Adi dan Aipda Hendri. Mereka pun saling bersalaman dan menyebutkan nama satu sama lain."Bripka Adi, Aipda Hendri. Inilah Airen dan Aire
Seisi ruangan luas itu pekat akan aroma disinfektan2. Lima meja bedah beserta peralatan lengkap ada di ruangan itu. Di sisi lain dinding ruangan yang bercat putih itu, terdapat pintu-pintu yang mengarah ke ruangan lain. Terdapat nama di setiap pintu, salah satunya Cold Storage.Itu kali pertama Airel masuk ke ruangan bedah. Jauh dari bayangannya, ternyata ruangan operasi forensik tidak seseram kedengarannya. Seperti biasa, ia selalu mengamati keadaan sekitar seperti mempelajari apa yang mampu ditangkap oleh matanya."Tolong letakkan jenazahnya di sini!" ujar seorang pria berperawakan tajam yang berdiri di dekat salah satu meja bedah.Seorang pria berkulit terang dan dibantu Bripka Adi menuruti perintahnya. Mereka meletakkan kantong berwarna oranye di atas meja bedah yang telah ditentukan."Hey, apa kau hanya akan berdiam di situ saja?" tanya pria berperawakan tajam itu pada Airel.Airel menoleh ke pria itu dan menaikkan
"Sepertinya kau begitu menguasai mengenai anatomi tubuh manusia. Walaupun masih muda, tapi kau terlihat sangat ahli dalam hal itu Bagaimana kau mempelajarinya?" tanya Bripka Adi sembari melepas baju operasi yang masih dikenakannya."Aku hanya belajar dari membaca dan menonton saja."Bripka Adi mengernyitkan dahi tak percaya. Ia sangat yakin mana mungkin tanpa praktik langsung, seseorang bisa menguasai sebuah ilmu dengan mudahnya. Apa mungkin Airel adalah pengecualiannya? Atau ada jawaban lain yaitu Airel sedang menutupinya saja."Langsung ke ruangan Inspektur Yoga?" tanya Airel.Bripka Adi mengangguk sebagai jawaban. Lalu mereka pun berjalan beriringan menyusuri koridor menuju ruangan Inspektur Yoga. Ruang operasi forensik sendiri memang masih satu kawasan dengan kantor kepolisian, hanya terpisah gedung namun tidak terlalu jauh."Kenapa Inspektur Yoga tidak ikut melihat secara langsung proses autopsi?" tanya Airel lagi sembari menyibak rambutnya.
Dokter Faiz Anhar, dokter muda yang baru bergabung di forensik kepolisian setahun terakhir. Sekilas penampilannya tidaklah seperti seorang dokter cenderung seperti selebritas Turki. Kulit yang terang dengan jambang tipis menjadi pemikat tambahan selain hidung mancungnya yang telah tertancap. Rumornya dokter muda itu memang memiliki darah keturunan arab, namun belum ada seorang pun yang memastikannya langsung.Meskipun terkenal pendiam, kinerja Dokter Faiz tak kalah mengangkat namanya. Dia bekerja sangat teliti, cepat dan hasilnya selalu memuaskan. Tak heran Dokter Doni yang terkenal perfeksionis pun sangat percaya padanya. Bahkan Dokter Doni dengan bangga pernah berkata bahwa Dokter Faiz adalah cerminan dirinya saat muda.Pagi itu Dokter Faiz melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan Inspektur Yoga. Ternyata sudah ada lima orang yang sudah menunggu kehadirannya. Ia pun langsung memberikan berkas hasil pemeriksaan forensik kepada Inspektur Yoga.Sejujurnya Dokt
Anggi tertunduk lesu. Derai air mata mengalir deras di pipi. Sesekali ia menggigit bibirnya untuk menahan rasa sakit yang tengah dirasakan. Jemari tangan kanannya mengenggam sebuah benda dengan erat, sedangkan jari yang lain mencengkeram kuat ujung bajunya. Andai sanggup berteriak mungkin ia sudah melakukannya.Anggi dilema dengan apa yang tengah dirasakan. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa? Menerimakah atau menolaknya? Untuk sesaat menumpahkan air mata adalah pilihan terbaik.Seketika Anggi mendongakkan kepala dan mengusap air mata saat pintu kamarnya berderit. Tampak Mira masuk dengan wajah khawatir. Bagaimana tidak? Mira sangat cemas dengan keadaan Anggi yang sudah seharian mengurung diri di kamar. Sadar akan kedatangan Mira, Anggi langsung menyembunyikan dan menduduki benda yang tadi berada di genggamannya."Ada masalah apa, Gi?" tanya Mira pelan dan langsung duduk di samping Anggi.Anggi hanya menggeleng samar sebagai jawaban. Ia merasa mal
Airen berjalan mondar-mandir di depan pintu. Sorot matanya terus tertuju pada lantai. Mulutnya menggigiti jari tangan kanan, sedangkan tangan kirinya terlipat ke dada menopang siku kanan. Wajah gusarnya tak bisa ia tutupi. Sesekali ia mengecek lagi ponselnya dan melakukan panggilan, namun semuanya berakhir nihil. Ia tak mendapati sesuatu yang bisa membuatnya tenang.Jarum jam terus berputar dan menunjukkan pukul dua pagi. Airel yang duduk di ruang tamu hanya bisa memperhatikan kegelisahan adiknya. Ia tahu sikap Airen menjadi demikian karena ucapannya mengenai sketsa wajah yang telah ia lihat."Kenapa sikapmu aneh, Ren?" Airel membuka suara dan memecah keheningan. "Kemarin kau keluar ruangan Inspektur Yoga sesuka hatimu, sekarang kau begitu khawatir mengenai Paman Alfie. Apa yang sebenarnya kau pikirkan?"Airen mengangkat wajahnya dan melempar pandangan ke Airel. "Bagaimana aku tidak khawatir setelah mendengar ceritamu? Apa kau lupa dengan ekspresi paman saat men
Suasana kediaman Si Kembar tidak seperti biasanya. Pagi itu mereka harus sarapan tanpa Alfie. Biasanya mereka bertiga akan menyantap roti selai kacang dan cokelat hangat buatan Airel. Lalu membincangkan kejadian kemarin atau rencana yang akan dilakukan pada hari itu.Sesekali Airen masih mengecek ponselnya, mungkin saja ada kabar tentang Alfie. Namun terpaksa netranya lagi-lagi tidak mendapati kabar apa pun mengenai pamannya."Kita tunggu saja sampai nanti siang. Jika belum ada kabar dari paman, kita harus ambil tindakan," ujar Airel."Iya," balas Airen singkat.Airel meletakkan buku merah di meja. "Sekarang lebih baik kita pecahkan maksud dari deretan angka ini."Mata Airen tertuju pada delapan belas angka yang berderet itu. "231431512 623313936" tertera dengan jenis tulisan sancreek di sampul buku. Warnanya putih kusam namun tetap jelas terlihat pada buku yang berwarna merah darah."Apakah angka-angka ini mewakili
"Dimana Paman Alfie? Bagaimana keadaannya sekarang?" Airel melempar tanya pada Inspektur Yoga."Ia masih tertidur di kamar," jawab Inspektur Yoga dengan suara baritonnya. "Apa yang sebenarnya terjadi? Sejak kemarin setelah selesai perbincangan kita mengenai hasil forensik, sikap Pak Alfie mendadak berubah. Dan dini hari tadi sekitar pukul tiga dia datang ke rumahku dalam keadaan mabuk. Apakah kalian sedang berselisih?"Airel mengedikkan bahunya. "Tidak sama sekali," balas Airel pelan. Ia merenungkan sikap Alfie yang tak seperti biasanya. Mulai dari tidak memberi kabar hingga mabuk berat, padahal sebelumnya Alfie tidak pernah mau meminum alkohol. "Tapi aku mungkin tahu penyebabnya," sambungnya lagi."Apa itu?" tanya Inspektur Yoga penasaran."Sketsa wajah jenazah kemarin sangat mirip dengan wajah sahabat Paman Alfie. Namun aku belum memastikan langsung padanya.""Hem, pantas saja ia terlihat bersedih.""Kita tunggu saja sampai ia sadar," usul