Share

- 4 -

"Apa sudah ada kabar dari Mira?" tanya Alfie saat Airel menyuguhkan cokelat hangat dan beberapa potong roti untuknya dan Airen.

Airel menggeleng. "Kurasa hari ini dia akan mengabariku."

"Hampir dua hari gadis ceroboh itu menghilang," gumam Airen. "Emm... Setidaknya membuatku lebih baik. Aku sedikit terganggu dengan orang yang terlalu mengikuti perasaannya."

Senyum Airel merekah. Rona merah di pipi kentara di kulitnya yang terang. Ia merasa lucu setiap Airen berusaha menampakkan ketidaksukaannya terhadap kasus yang mereka hadapi. "Kurasa kau juga akan melakukan hal yang sama, jika kau kehilangan figurku. Mungkin lebih histeris."

Airen mencebikkan bibir tipisnya. "Terserahlah," jawabnya malas. 

Drrrttt....

Sebuah pesan singkat baru saja diterima Airel di ponselnya. Ia langsung membukanya. 

"Sebuas pesan dari Mira," ucap Airel singkat. 

"Apa isinya?" selidik Alfie.

"Kemarin sore dia ke rumah Anggi bersama saudaranya, Maher."

"Bergerak sendiri lagi. Dasar ceroboh!" gerutu Airen. 

"Apa Paman juga mengenal Maher?" selidik Airel.

"Dia adalah saudara tiri Mira. Satu ibu tapi berbeda ayah."

"Ada fakta baru yang ia dapat kemarin. Ia tak sengaja melihat Anggi di dapur saat ia mau ke toilet. Ia melihat Anggi mengobati luka di tangannya."

“Pantas saja ia kesakitan saat si ceroboh itu mengenggam erat lengannya. Ternyata karena luka itu,” timpal Airen.

"Apa Mira menyebutkan luka seperti apa yang ia lihat?" sela Alfie.

"Seperti luka sayatan. Ada dua luka sayatan melintang yang sejajar di lengan kanan bagian dalam. Selain itu, lengan atas bagian luar juga terdapat beberapa luka seperti bekas sulutan rokok.”

Alfie menatap tajam si kembar, "Paman rasa ini bukan masalah persahabatan biasa, tetapi sudah termasuk kasus yang serius. Jika harus membutuhkan bantuan pihak kepolisian, hubungi Inspektur Yoga. Dia akan siap membantu."

"Tunggu... Apa itu artinya Paman menyerahkan sepenuhnya kepada kami?" tanya Airen.

Alfie memelintir kumisnya yang tak seberapa. "Paman terlalu sepuh untuk mengurus hal seperti ini."

Airen menghela napas panjang dan memasang wajah pasrah.

"Aku akan menghubungi Mira." Jemari Airel menari di layar gawainya. Ia mencoba untuk melepon Mira. Ia mendengar suara gema nada telepon dari kejauhan. Seseorang di sana menerima panggilan itu, "Halo, Mir?"

"Ya, Rel. Ada apa?" jawab Mira dari seberang telepon. 

"Apa kau bisa mengatur pertemuan kami dengan saudaramu?"

"Sebentar...." Suaranya seperti orang yang sedang mengingat, "akan kuusahakan kalian bertemu dengannya. Lalu bagaimana denganku?"

"Tentu saja kau juga ikut."

"Baiklah, akan kuatur pertemuan untuk empat orang."

"Oke, terima kasih. Aku dan Airen juga akan mengatur skenario penyelidikan ini."

Mira menyetujuinya dan mengakhiri panggilan. 

"Untuk apa membuat skenario kalau si ceroboh itu akan bertindak sendiri lagi nantinya," protes Airen. 

"Kalau begitu, skenario kita harus fleksibel dengan orang yang ceroboh."

"Kau menyebalkan."

Airel hanya tersenyum. 

***

Mira melirik jam tangannya yang menunjukkan tepat pukul dua siang. "Sebentar lagi kakakku akan tiba."

"Ada yang ingin kutanyakan padamu," ujar Airel lugas. 

"Apa itu?"

"Kenapa kau ke rumah Anggi?"

"Aku datang bukan untuk bertemu dengannya. Aku hanya menemani Kak Maher. Kak Edi dan Kak Maher membuat proyek kerja bareng. Mereka memenangkan tender pembangun rumah sakit minggu lalu."

"Siapa Edi?" tanya Airen yang sedari tadi hanya diam. 

"Saudaranya Anggi," jawab Mira. "Kak Edi dan Kak Maher adalah teman sekelas sejak SMA. Mereka juga kuliah bareng di jurusan yang sama. Mereka tetap akur hingga sekarang. Berbanding terbalik denganku."

"Kenapa kau harus menemani Maher?"

Mira menyandarkan punggungnya di kursi. Ia menceritakan kejadian beberapa tahun lalu yang dialami keluarganya. Saat itu Maher dan ibunya mengalami kecelakaan lalu lintas, sehingga mereka harus kehilangan ibu untuk selamanya. 

Maher menjadi trauma. Ia selalu menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kematian ibunya. Ia tak berani lagi untuk mengendarai mobil atau sepeda motor selama bertahun-tahun. Sekalipun hanya ditumpangi saja. Ia tetap tak mau.

"Kapan dia mulai terbiasa lagi dengan kendaraan bermotor?" Selidik Airel.

"Baru beberapa bulan terakhir. Itu pun hanya sekedar menumpang. Ia tetap belum mau mengendarai kendaraan."

"Menurutmu... Apa Anggi menyadari kedatangan kalian?" Sela Airen.

"Entahlah. Aku rasa tidak. Kak Edi bilang Anggi selalu mengurung dirinya di kamar."

Orang yang mereka tunggu pun datang. Seorang pria bertubuh atletis telah berdiri di dekat mereka. Pria itu mengenakan kemeja terbuka dengan kaos di dalamnya. Ia langsung menarik kursi dan duduk. Ia menyelipkan sebatang rokok di mulut lalu membakarnya. 

Airen berdehem menujukkan ketidaknyamanannya. Mira mengerti kalau si kembar tidak menyukai perokok. Ia memberi tanda kepada Maher untuk menyudahi rokoknya. 

"Oh, maaf. Aku telah membuat kalian tidak nyaman." Maher mematikan rokoknya yang baru saja menyala. 

"Aku sebenarnya tidak ada masalah dengan para perokok. Selagi mereka bisa menempatkan di mana mereka harus merokok," jelas Airen. 

"Apa Kak Edi juga merokok? Seingatku kemarin, dia tak ada merokok sama sekali," tanya Mira ke Maher. 

"Dulunya iya. Kami sama-sama perokok berat. Sebenarnya aku pengin berhenti merokok seperti Edi. Usahaku selalu gagal." Maher tertawa kecil, "aku tak sehebat dia yang bisa bertahan tanpa rokok.”

"Lalu hal apa yang Kak Maher lebih hebat darinya?" Goda Mira. 

"Setidaknya aku tidak memeiliki kebiasaan mabuk dan berjudi sepertinya," Maher tertawa lagi. "Eh, Apa kalian mengenal Edi?" Tanya Maher kepada si kembar.

"Belum secara langsung. Hanya sekedar tau saja," jawab Airel.

"Kami temannya Anggi bukan Edi," timpal Airel yang mengarang-ngarang.

"Mira bilang kalian membutuhkan bantuanku. Apa yang bisa kubantu?" Ucap Maher sambil meneguk minuman kaleng yang ia bawa tadi.

Airel memasang wajah datar dan berkata, "apa kau pernah dekat atau bahkan menyukai Anggi?”

Maher tersedak dan membuat minumannya sedikit tumpah. “Pertanyaan macam apa itu? Kenapa kau berpikir demikian?”

Airel menopang dagunya dengan tangan kanan yang bertumpu di siku. "Apa pertanyaanku salah?"

"Bukan begitu, itu terlalu pribadi menurutku," jawab Maher gugup.

"Oke, tidak masalah jika kau enggan menjawab." Airel membetulkan posisi duduknya. "Maaf, Mir. Sepertinya kita harus mencari petunjuk yang lain."

“Kak, katakan saja!” pinta Mira sembari melihat Maher dengan wajah memelas. 

Maher terlihat tak tega. Ia menghela napas panjang.

"Sejujurnya aku memang pernah menyukainya," Maher meneguk minuman kalengnya lagi. "Kurasa semua lelaki juga akan tertarik dengannya. Secara sifat, Anggi adalah gadis yang ceria dan sopan. Ia juga sangat cantik dan tubuhnya juga bagus."

"Apa kau pernah mengutarakannya?" tanya Airen. 

"Tidak. Aku seperti tidak punya keberanian mengutarakannya. Bahkan aku bertemu langsung dengannya hanya saat bersama Mira."

"Kurasa kau masih menyukainya," ucap Airel menyudutkan.

"Aku tak menafikannya. Salah satu alasanku sering ke rumah Edi, memang hanya untuk melihat Anggi."

"Itu artinya Edi juga ada di rumah ya," gumam Airen seperti ingin menarik kesimpulan.

"Pada dasarnya mereka berdua adalah saudara yang betah di rumah. Hanya saja ada sedikit perbedaan antara Edi dan Anggi."

"Perbedaan? Maksudmu?" Selidik Airen.

"Edi masih suka berkumpul dengan teman-temannya. Jika dia ingin pesta mabuk atau judi maka dia akan mengundang mereka ke rumahnya. Beda dengan Anggi yang tidak pernah mengajak siapa pun. Termasuk Mira kurasa.” 

Mira mengangguk setuju. 

"Agak sedikit aneh. Mengaku teman dekat tapi tidak pernah diundang temannya ke rumah," sindir Airen.

Maher melihat jam di lengan kirinya. "Maaf, aku harus pergi sekarang."

"Kenapa harus terburu-buru?" Tanya Mira heran. "Kakak juga sudah berjanji mau membantuku."

"Kakak minta maaf. Ada janji dadakan dengan klien. Kakak harus menggantikan Edi." Maher menuliskan sesuatu di kertas dan memberikannya kepada Airel. "Ini nomorku. Hubungi aku jika kalian masih membutuhkan bantuan."

Airel mengambil kertas itu. 

Maher pun beranjak dari kursinya dan berjalan ke luar kafe. "Aku melupakan sesuatu." Langkahnya terhenti dan ia menolehkan wajahnya, "siapa nama kalian?"

Airel tersenyum, "Aku Airel dan dia adikku, Airen."

Maher menaikkan sebelah alisnya. Sejujurnya ia bingung untuk membedakan keduanya. Mereka sangat identik. Ia pun berlalu dengan ekspresi bingung. 

"Maafkan aku! Aku tak tau dia ada janji dadakan," sesal Mira. 

"Tidak masalah. Keterangan yang ia berikan juga sudah cukup," ujar Airen.

"Lalu apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" Tanya Mira.

"Menemui Edi," jawab si kembar kompak.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Agnotius Walder
seru nih, sip
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status