"Apa sudah ada kabar dari Mira?" tanya Alfie saat Airel menyuguhkan cokelat hangat dan beberapa potong roti untuknya dan Airen.
Airel menggeleng. "Kurasa hari ini dia akan mengabariku."
"Hampir dua hari gadis ceroboh itu menghilang," gumam Airen. "Emm... Setidaknya membuatku lebih baik. Aku sedikit terganggu dengan orang yang terlalu mengikuti perasaannya."
Senyum Airel merekah. Rona merah di pipi kentara di kulitnya yang terang. Ia merasa lucu setiap Airen berusaha menampakkan ketidaksukaannya terhadap kasus yang mereka hadapi. "Kurasa kau juga akan melakukan hal yang sama, jika kau kehilangan figurku. Mungkin lebih histeris."
Airen mencebikkan bibir tipisnya. "Terserahlah," jawabnya malas.
Drrrttt....
Sebuah pesan singkat baru saja diterima Airel di ponselnya. Ia langsung membukanya.
"Sebuas pesan dari Mira," ucap Airel singkat.
"Apa isinya?" selidik Alfie.
"Kemarin sore dia ke rumah Anggi bersama saudaranya, Maher."
"Bergerak sendiri lagi. Dasar ceroboh!" gerutu Airen.
"Apa Paman juga mengenal Maher?" selidik Airel.
"Dia adalah saudara tiri Mira. Satu ibu tapi berbeda ayah."
"Ada fakta baru yang ia dapat kemarin. Ia tak sengaja melihat Anggi di dapur saat ia mau ke toilet. Ia melihat Anggi mengobati luka di tangannya."
“Pantas saja ia kesakitan saat si ceroboh itu mengenggam erat lengannya. Ternyata karena luka itu,” timpal Airen.
"Apa Mira menyebutkan luka seperti apa yang ia lihat?" sela Alfie.
"Seperti luka sayatan. Ada dua luka sayatan melintang yang sejajar di lengan kanan bagian dalam. Selain itu, lengan atas bagian luar juga terdapat beberapa luka seperti bekas sulutan rokok.”
Alfie menatap tajam si kembar, "Paman rasa ini bukan masalah persahabatan biasa, tetapi sudah termasuk kasus yang serius. Jika harus membutuhkan bantuan pihak kepolisian, hubungi Inspektur Yoga. Dia akan siap membantu."
"Tunggu... Apa itu artinya Paman menyerahkan sepenuhnya kepada kami?" tanya Airen.
Alfie memelintir kumisnya yang tak seberapa. "Paman terlalu sepuh untuk mengurus hal seperti ini."
Airen menghela napas panjang dan memasang wajah pasrah.
"Aku akan menghubungi Mira." Jemari Airel menari di layar gawainya. Ia mencoba untuk melepon Mira. Ia mendengar suara gema nada telepon dari kejauhan. Seseorang di sana menerima panggilan itu, "Halo, Mir?"
"Ya, Rel. Ada apa?" jawab Mira dari seberang telepon.
"Apa kau bisa mengatur pertemuan kami dengan saudaramu?"
"Sebentar...." Suaranya seperti orang yang sedang mengingat, "akan kuusahakan kalian bertemu dengannya. Lalu bagaimana denganku?"
"Tentu saja kau juga ikut."
"Baiklah, akan kuatur pertemuan untuk empat orang."
"Oke, terima kasih. Aku dan Airen juga akan mengatur skenario penyelidikan ini."
Mira menyetujuinya dan mengakhiri panggilan.
"Untuk apa membuat skenario kalau si ceroboh itu akan bertindak sendiri lagi nantinya," protes Airen.
"Kalau begitu, skenario kita harus fleksibel dengan orang yang ceroboh."
"Kau menyebalkan."
Airel hanya tersenyum.
***
Mira melirik jam tangannya yang menunjukkan tepat pukul dua siang. "Sebentar lagi kakakku akan tiba."
"Ada yang ingin kutanyakan padamu," ujar Airel lugas.
"Apa itu?"
"Kenapa kau ke rumah Anggi?"
"Aku datang bukan untuk bertemu dengannya. Aku hanya menemani Kak Maher. Kak Edi dan Kak Maher membuat proyek kerja bareng. Mereka memenangkan tender pembangun rumah sakit minggu lalu."
"Siapa Edi?" tanya Airen yang sedari tadi hanya diam.
"Saudaranya Anggi," jawab Mira. "Kak Edi dan Kak Maher adalah teman sekelas sejak SMA. Mereka juga kuliah bareng di jurusan yang sama. Mereka tetap akur hingga sekarang. Berbanding terbalik denganku."
"Kenapa kau harus menemani Maher?"
Mira menyandarkan punggungnya di kursi. Ia menceritakan kejadian beberapa tahun lalu yang dialami keluarganya. Saat itu Maher dan ibunya mengalami kecelakaan lalu lintas, sehingga mereka harus kehilangan ibu untuk selamanya.
Maher menjadi trauma. Ia selalu menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kematian ibunya. Ia tak berani lagi untuk mengendarai mobil atau sepeda motor selama bertahun-tahun. Sekalipun hanya ditumpangi saja. Ia tetap tak mau.
"Kapan dia mulai terbiasa lagi dengan kendaraan bermotor?" Selidik Airel.
"Baru beberapa bulan terakhir. Itu pun hanya sekedar menumpang. Ia tetap belum mau mengendarai kendaraan."
"Menurutmu... Apa Anggi menyadari kedatangan kalian?" Sela Airen.
"Entahlah. Aku rasa tidak. Kak Edi bilang Anggi selalu mengurung dirinya di kamar."
Orang yang mereka tunggu pun datang. Seorang pria bertubuh atletis telah berdiri di dekat mereka. Pria itu mengenakan kemeja terbuka dengan kaos di dalamnya. Ia langsung menarik kursi dan duduk. Ia menyelipkan sebatang rokok di mulut lalu membakarnya.
Airen berdehem menujukkan ketidaknyamanannya. Mira mengerti kalau si kembar tidak menyukai perokok. Ia memberi tanda kepada Maher untuk menyudahi rokoknya.
"Oh, maaf. Aku telah membuat kalian tidak nyaman." Maher mematikan rokoknya yang baru saja menyala.
"Aku sebenarnya tidak ada masalah dengan para perokok. Selagi mereka bisa menempatkan di mana mereka harus merokok," jelas Airen.
"Apa Kak Edi juga merokok? Seingatku kemarin, dia tak ada merokok sama sekali," tanya Mira ke Maher.
"Dulunya iya. Kami sama-sama perokok berat. Sebenarnya aku pengin berhenti merokok seperti Edi. Usahaku selalu gagal." Maher tertawa kecil, "aku tak sehebat dia yang bisa bertahan tanpa rokok.”
"Lalu hal apa yang Kak Maher lebih hebat darinya?" Goda Mira.
"Setidaknya aku tidak memeiliki kebiasaan mabuk dan berjudi sepertinya," Maher tertawa lagi. "Eh, Apa kalian mengenal Edi?" Tanya Maher kepada si kembar.
"Belum secara langsung. Hanya sekedar tau saja," jawab Airel.
"Kami temannya Anggi bukan Edi," timpal Airel yang mengarang-ngarang.
"Mira bilang kalian membutuhkan bantuanku. Apa yang bisa kubantu?" Ucap Maher sambil meneguk minuman kaleng yang ia bawa tadi.
Airel memasang wajah datar dan berkata, "apa kau pernah dekat atau bahkan menyukai Anggi?”
Maher tersedak dan membuat minumannya sedikit tumpah. “Pertanyaan macam apa itu? Kenapa kau berpikir demikian?”
Airel menopang dagunya dengan tangan kanan yang bertumpu di siku. "Apa pertanyaanku salah?"
"Bukan begitu, itu terlalu pribadi menurutku," jawab Maher gugup.
"Oke, tidak masalah jika kau enggan menjawab." Airel membetulkan posisi duduknya. "Maaf, Mir. Sepertinya kita harus mencari petunjuk yang lain."
“Kak, katakan saja!” pinta Mira sembari melihat Maher dengan wajah memelas.
Maher terlihat tak tega. Ia menghela napas panjang.
"Sejujurnya aku memang pernah menyukainya," Maher meneguk minuman kalengnya lagi. "Kurasa semua lelaki juga akan tertarik dengannya. Secara sifat, Anggi adalah gadis yang ceria dan sopan. Ia juga sangat cantik dan tubuhnya juga bagus."
"Apa kau pernah mengutarakannya?" tanya Airen.
"Tidak. Aku seperti tidak punya keberanian mengutarakannya. Bahkan aku bertemu langsung dengannya hanya saat bersama Mira."
"Kurasa kau masih menyukainya," ucap Airel menyudutkan.
"Aku tak menafikannya. Salah satu alasanku sering ke rumah Edi, memang hanya untuk melihat Anggi."
"Itu artinya Edi juga ada di rumah ya," gumam Airen seperti ingin menarik kesimpulan.
"Pada dasarnya mereka berdua adalah saudara yang betah di rumah. Hanya saja ada sedikit perbedaan antara Edi dan Anggi."
"Perbedaan? Maksudmu?" Selidik Airen.
"Edi masih suka berkumpul dengan teman-temannya. Jika dia ingin pesta mabuk atau judi maka dia akan mengundang mereka ke rumahnya. Beda dengan Anggi yang tidak pernah mengajak siapa pun. Termasuk Mira kurasa.”
Mira mengangguk setuju.
"Agak sedikit aneh. Mengaku teman dekat tapi tidak pernah diundang temannya ke rumah," sindir Airen.
Maher melihat jam di lengan kirinya. "Maaf, aku harus pergi sekarang."
"Kenapa harus terburu-buru?" Tanya Mira heran. "Kakak juga sudah berjanji mau membantuku."
"Kakak minta maaf. Ada janji dadakan dengan klien. Kakak harus menggantikan Edi." Maher menuliskan sesuatu di kertas dan memberikannya kepada Airel. "Ini nomorku. Hubungi aku jika kalian masih membutuhkan bantuan."
Airel mengambil kertas itu.
Maher pun beranjak dari kursinya dan berjalan ke luar kafe. "Aku melupakan sesuatu." Langkahnya terhenti dan ia menolehkan wajahnya, "siapa nama kalian?"
Airel tersenyum, "Aku Airel dan dia adikku, Airen."
Maher menaikkan sebelah alisnya. Sejujurnya ia bingung untuk membedakan keduanya. Mereka sangat identik. Ia pun berlalu dengan ekspresi bingung.
"Maafkan aku! Aku tak tau dia ada janji dadakan," sesal Mira.
"Tidak masalah. Keterangan yang ia berikan juga sudah cukup," ujar Airen.
"Lalu apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" Tanya Mira.
"Menemui Edi," jawab si kembar kompak.
Waktu telah menunjukkan pukul 11.30 WIB. Pandangan Airen langsung tertuju ke pintu sebuah ruangan yang di atasnya bertuliskan laboratorium fisika. Beberapa orang mulai keluar dari ruangan itu. Mereka mengenakan pakaian luar yang seragam berwarna putih. Tampaknya orang yang dicari Airen belum juga keluar.Hampir sepuluh menit Airen menunggu. Akhirnya sosok yang ditunggu pun keluar dari ruangan itu. Perempuan berparas menarik dengan bibir tipis berwarna merah jambu. Perempuan yang ia pernah lihat sebelumnya di halte tepat di seberang kafe Digulis. Ya, sosok itu adalah Anggi.Anggi berjalan dengan langkah lambat. Tatapan matanya kosong. Ia berjalan seperti tanpa tujuan."Anggi," sapa Airen yang mengekorinya dari belakang.Anggi sepertinya tak mendengar atau hanya sekedar menuli.Airen pun menepuk pelan pundak Anggi untuk mencari atensi. Usahanya tak percuma. Anggi membalikkan badannya. Alangkah terkejutnya Anggi melihat Airen di depannya. Matanya terb
Sebuah mobil sedan keluaran tahun 2020 dengan kelir cokelat berbelok ke pelataran sebuah rumah besar. Bangunan itu mengaplikasikan arsitektur melayu yang begitu kental. Sebagian besar bangunan tersusun dari kayu yang tertata rapi dan penuh nuansa etnik. Beberapa pohon besar juga sengaja ditanam di sekitar rumah untuk menambahkan kesan asri.Airel telah memarkirkan mobilnya tepat di bawah naungan salah satu pohon yang besar. Ia keluar dari kereta besinya itu diikuti oleh Airen dan Mira. Seperti biasa, mata Airel pasti menyisir daerah sekitarnya. Entah apa yang ia cari. Setiap berada di tempat yang pertama kali ia kunjungi, sikapnya begitu mengerikan. Ia berjalan perlahan dengan pandangan yang tajam, muka tanpa ekspresi dan kedua tangan yang saling menggenggam.Airen yang sudah terbiasa dengan sikap kakaknya memilih untuk mencari kesibukan sendiri. Ia mengeluarkan kamera dari tasnya dan mencari objek yang bisa difoto. Ia sangat gemar hunting foto di pagi hari. A
Si Kembar melangkahkan kaki masuk ke kamar Anggi. Mira yang terlihat masih gugup memberanikan diri masuk mengekori mereka. Tampak kamar yang berantakan untuk ukuran seorang perempuan. Bantal dan guling berserakan di lantai, seprai tempat tidur juga acak-acakan.Ada yang menarik perhatian Airel. Matanya melihat selembar bed cover berwarna putih. Pada bagian tengahnya terdapat bercak bekas cairan yang sudah mengering dan agak pudar kekuningan. Ia memegang sisi lain kain itu untuk memastikan pandangannya lebih dekat. Kini arah netranya beralih ke Airen.“Sepertinya ini bekas sperma,” ucap Airel.Airen mengangguk pelan seperti paham maksud kakaknya. Sedangkan Mira yang mendengar kalimat itu tak bisa menyembunyikan wajah tak percayanya.Airen melangkah ke sisi lain kamar sambil memotret, berharap objek jepretannya bisa dijadikan sebagai petunjuk. Ia menemukan sebuah silet di lantai. Bagian sisi silet itu ada darah yang mengering. Tak
Airen mengakhiri pembicaraannya dengan Nuella. Dahinya sedikit berkerut sembari memasukkan ponsel pintarnya ke dalam tas. "Apa kita perlu menemuinya?" tanya Airen kepada Airel. Airel menyibakkan rambut dan matanya lekat menatap Airen. "Kurasa tidak. Dia hanya sebatas informan pelengkap untuk menyinergikan analisis kita. Aku yakin dia sama sekali tak terlibat dalam kasus ini. Lalu, informasi apa yang kau dapat dari Nuella?" Airen seperti menghindari tatapan saudara kembarnya. Kini wajahnya beralih ke arah lain dengan pandangan yang kosong. Ia melepaskan napas beratnya dan mulai bercerita. "Dulu Anggi adalah gadis yang ceria dan pintar. Beberapa bulan terakhir perubahan sikapnya begitu drastis. Ia tak lagi mau bergaul dengan siapa pun." Airen terdiam sejenak seperti ada hal lain yang mucul di pikirannya. Ia lalu melanjutkan lagi ceritanya. "Kata Nuella, dia tak lagi melihat ketertarikan Anggi saat kuliah. Anggi sering dimarahi dosen karena tidak fokus dalam kelas. Sela
Airel menghidupkan mobil dan menyalakan mesinnya. Ia harus segera menemui Inspektur Yoga dan menyelesaikan kasus Anggi secepat mungkin. Namun saat Airen masuk ke dalam mobil, ia mengisyaratkan untuk tidak langsung pergi. Airen meletakkan buku merah ke pangkuan Airel. "Coba kau lihat halaman selanjutnya, kemudian hubungkan dengan cerita Mbok Ina dan Mira. Bagaimana pendapatmu?" Airen melontar tanya pada kembarannya. Airel pun membuka buku tersebut dengan raut sedikit heran. Matanya lekat menatap kata per kata dari isi halaman itu. Gadis yang apik dalam memainkan perannya sebagai manusia bodoh. Bodoh karena memendam rasa dan tak berani mengakuinya. Bodoh karena menutup mata dari peduli orang lain padanya. Berusaha mengaku kokoh dan berpijak pada kaki sendiri. Padahal ia hanya mengalah dengan keadaan tanpa pernah berusaha. Benar-benar BODOH!! Aku ben
"Sebaiknya kita menunggu hasil penyelidikan TKP terlebih dahulu. Aku sebenarnya tidak tertarik untuk berdeduksi dengan bukti yang belum terkonfirmasi," ujar Airel. Inspektur Yoga tersenyum simpul. "Kurasa bukan jadi masalah jika sekedar beranalisa. Kalian juga bukan bagian dari penyidik resmi, tapi hanya pembuka kasus ini. Jawaban kalian tidak langsung jadi sebuah keputusan." Airen menatap sinis ke Inspektur Yoga. Rasa tersinggung terukir di wajahnya. "Apakah itu pernyataan untuk menguji?" tanya Airen dengan menaikkan salah satu ujung bibirnya. Inspektur Yoga tertawa pelan dan berdiri dari duduknya. Ia mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan meletakkannya di meja. "Ini beberapa gambar yang ditangkap oleh juru foto penyidik. Aku meminta salinannya untuk kalian." Airen membuka amplop dan mengeluarkan isinya. Ia melihat setumpuk foto barang bukti dan bagian-bagian TKP yang telah diabadikan. Senyuman sinis lagi-lagi lancang tercipta di bibirnya. Ia menyodo
Inspektur Yoga heran melihat foto yang ada di kamera Airen. "Apa maksudmu dengan sebuah foto keluarga?""Jangan bilang pelakunya adalah Kak Edi?" cecar Mira lagi."Tepat, memang dialah pelakunya," jawab Airen tegas.Mata Mira terbelalak sempurna. "Apa? Jadi Kak Edi yang ...." Wajahnya menjadi lesu. Lehernya pun seperti tersekat dan tak bisa mengeluarkan kata-kata. Ia masih tak percaya Edi tega melakukan pelecehan itu.Airel berdiri sambil saling melipatkan kedua tangannya di dada. "Ya, dia yang melakukannya. Hanya dia yang memiliki peluang besar berbuat demikian. Jika prediksiku tidak keliru, maka sperma itu adalah miliknya. Sidik jarinya juga akan bertebaran di kamar Anggi."Inspektur Yoga setengah mengacungkan telunjuk—bukan untuk menunjuk tapi seperti berpikir—dan menggerakkannya pelan sambil menyipitkan mata. "Kenapa kalian bisa memastikan Edi adalah pelaku pelecehan itu? Bukankah orang lain juga memiliki peluang yang sama untuk mel
Mira sudah tak kuat lagi membendung air mata. Bibirnya juga ikut bergetar hebat. Ia seperti merasakan apa yang sedang Anggi alami. Susah payah ia berusaha berbicara melawan takutnya. "A-apa Anggi benar-benar diperkosa saudaranya?" tanyanya dengan suara gemetar. Airel menangkap kesedihan yang begitu mendalam dari suara Mira. "Berusahalah tenang. Kau harus menerimanya. Jika kau tak bisa mengendalikan dirimu maka bagaimana kau bisa menolong sahabatmu," ujar Airel menenangkan. "Kita harus sadar segala kejahatan bisa dilakukan oleh siapa pun, termasuk diri kita sendiri. Kita hanya manusia yang tak bisa memastikan bagaimana suatu kejadian bisa tercipta. Itulah sebuah misteri," timpal Inspektur Yoga. "Begitu juga Edi, ia hanyalah manusia biasa." "Andai bisa memilih, kurasa tak ada yang mau seperti ini. Namun kehidupan tak pernah bisa ditebak. Kita harus pahami itu," ujar Airen. Mira mengusap air mata. Ucapan tiga orang di hadapannya membuat ia berusaha tegar