Airel menyeruput cokelat panas yang telah dipesannya. Matanya melihat ke arah balik jendela yang terbias air hujan. Sedangkan Airen tampak senyum-senyum sendiri melihat foto-foto yang ada di kameranya. Ia begitu senang dapat mengabadikan gambar idolanya secara langsung.
"Sudah setengah jam kita di sini. Apa kita harus tetap menunggunya?" tanya Airen memecah keheningan.
Airel menyesap cokelatnya lagi, "Permintaan Paman adalah perintah."
"Tapi—"
"Tenang saja, aku tak masalah." Airel langsung memotong omongan adiknya.
"Ya ... aku tau kebiasaan anehmu itu. Hanya saja dari tadi kerjaanmu menunggu dan terus menunggu. Apa kau tidak bosan?"
"Bosan. Barusan saja terjadi. Bertahun-tahun aku mendengar pertanyaan sama dari orang yang sama."
Airen paham sedang disindir kakaknya. "Lalu berapa lama lagi kita harus menunggu?"
"Jika kau ingin pulang duluan, aku tak masalah jika harus menemuinya sendiri."
"Dan kau tahu kan, aku tak mungkin meninggalkanmu."
Airel mengarahkan pandangannya ke Airen dan meyakinkan bahwa orang yang mereka tunggu akan segera datang. Tak lama kemudian seorang gadis berkuncir masuk ke dalam kafe dengan terburu-buru. Gadis itu menghampiri si kembar sembari mengusap-usap lengan bajunya yang memang sedikit basah.
"Tak salah lagi, kalian pasti si Kembar yang Pak Alfie maksud. Maaf telah membuat kalian menunggu."
Airen mengamati seisi ruangan. Memang tidak ada orang lain lagi selain mereka yang kembar. Lagi pula pengunjung kafe juga agak sepi karena hujan yang deras.
"Silahkan duduk!" ucap Airel.
Gadis itu memperkenalkan dirinya sebagai Angelica Mira. Ia mengaku sebagai putri dari temannya Alfie.
"Boleh kan aku memotretmu?" tanpa menunggu jawaban, Airen langsung menekan klik di kameranya.
"Airen. Itu tak sopan," sergah Airel. "Mira, aku minta maaf atas sikap adikku."
"Oh, tidak apa-apa," balas Mira dengan senyum terpaksa.
"Apa yang bisa kami bantu?"
Mira membenarkan posisi duduknya. "Aku ingin kalian membantuku untuk menyelidiki sahabatku. Aku yakin ada sesuatu yang terjadi padanya. Akhir-akhir ini perubahan sikapnya begitu drastis."
Airen berdiri dari duduknya, kedua tangannya ia letakkan di meja, ia lalu memangkas jaraknya dengan Mira. Mira merasa risih dan berusaha menjauhkan tubuhnya dari muka Airen.
"Kau pikir kami adalah private investigator? Dan akan memata-matai temanmu itu. Lalu menyelidiki aktifitasnya," Airen tertawa seram dan membuat Mira bergidik.
Mira menjadi gugup. "A-aku pikir kalian biasa melakukannya."
Airel menarik baju Airen dan memaksanya duduk. "Tentu saja kami akan melakukannya," jawab Airel tegas.
"Eh?" Airen menoleh ke arah kembarannya. Ia sangat tidak setuju dengan keputusan sepihak oleh kakaknya.
"Bukankah begitu, Ren?"
Mendadak tubuh Airen melemas dan memutar malas bola matanya, "Hem ... Oke."
"Kalau begitu lanjutkan ceritanya," ujar Airel.
"Aku memiliki teman bernama Anggi. Kami sudah kenal sejak SMP. Semenjak itu, kami adalah teman dekat. Sampai sekarang pun aku tetap merasa dia adalah sahabatku, meski sikapnya berubah."
Mira mengatur napasnya untuk menetralkan emosinya yang mulai tak stabil. "Aku yakin dia dalam masalah, tapi kenapa ia tak mau bercerita kepadaku?"
"Apa sebelumnya dia selalu bercerita jika ada masalah?"
"Ya, tidak semua. Hanya beberapa kali saja. Aku menghargai privasinya jika ia memang tak mau berbagi tentang masalahnya. Tapi setidaknya ia tak perlu menjauhiku."
"Kapan terakhir kali kalian saling bicara?"
"Sekitar dua minggu yang lalu."
"Apakah sahabatmu itu berambut lurus dan panjang?" selidik Airel.
Bagaimana dia bisa tahu? Aku bahkan belum menunjukkan foto Anggi. Gumam Mira dalam hati. "Iya."
"Kulit putih, rambut berponi dan tingginya kurasa sama denganmu. Apa itu ciri-cirinya?"
Mira heran, "Bagaimana kau bisa tahu? Kau bukan cenayang, kan?"
Airel tersenyum. "Kalau memang ciri-cirinya demikian. Itu artinya Anggi sedang membuntutimu."
"Hah? Mana mungkin. Dimana dia?"
Airel menunjuk seorang gadis yang sedang duduk di halte tepat di seberang kafe. Mata Mira membulat sempurna saat melihat gadis itu. Memang Anggi.
"Akan kuhampiri."
"Hey, Jangan gegabah kau!" tegas Airen.
"Maaf, aku harus meminta penjelasannya." Mira mengacuhkan omongan Airen. Ia langsung beranjak keluar dari kafe dan menerobos hujan.
"Bodoh sekali dia. Bergerak tanpa aba-aba. Orang seperti ini yang mau kita tolong?" tanya Airen.
"Sudahlah. Ayo, kita ikuti dia!" Airel memaksa Airen untuk mengekori Mira.
Airel menyelipkan selembar uang di bawah cangkir cokelatnya. Ia memberi tanda kepada pelayan bahwa mereka sudah membayar. Mereka pun bergegas menyusul Mira. Anggi menyadari akan kedatangan Mira langsung mengambil langkah untuk kabur.
“Anggi, tunggu!” teriak Mira yang melihat Anggi hendak kabur. Anggi hanya menuli.
Ada apa sebenarnya? Kenapa kau selalu menghindariku? benak Mira.
Guyuran hujan tak melunturkan niat Mira. Ia malah mempercepat derap langkahnya. Akhirnya ia mampu menyusul Anggi. Tanpa menunggu lagi, ia langsung menggenggam keras lengan kanan Anggi.
“Aww,” teriak Anggi dan menghentikan langkahnya. “Lepaskan, Mir!”
Mira kaget dan langsung melepaskan lengan Anggi. Anggi pun refleks menarik lengannya dan mendekapkannya di dada seraya menahan rasa sakit.
“Lenganmu kenapa, Gi? Dan kenapa kau akhir-akhir ini menghindariku?” desak Mira.
“Ah, bukan urusanmu,” jawab Anggi ketus.
"Lalu kenapa kau membuntutiku?"
"Aku hanya kebetulan lewat."
"Usaha yang bagus untuk berbohong."
"Aku sudah jujur." Anggi berdalih.
“Aku rasa kita sudah berteman cukup lama. Kalau ada yang salah denganku kau tinggal bilang, kan? Bukan bertingkah seperti ini, Gi. Kau membuatku bingung.”
“Aku minta jangan ganggu aku lagi, Mir!”
“Ganggu?”
“Sudahlah, kau takkan pernah paham.”
"Mana mungkin aku akan paham, jika kau tak memberikan penjelasan."
"Kau memang tak perlu memahaminya."
“Tapi, Gi.”
“Cukup, Mir!” bentak Anggi. “Selama ini kau terlalu banyak membantuku dan masalah ini biarkan aku yang menyelesaikannya. Jadi, jangan mencampuri urusanku lagi!”
Mira heran melihat sikap Anggi. Temannya yang pendiam dan lembut itu kini berani membentaknya. Hal yang tak pernah ia lihat dari Anggi selama mereka berteman. Rasa penasaran Mira berkecamuk di kepalanya.
Anggi pun meninggalkan Mira yang kini diam mematung, namun setelah beberapa langkah Anggi berhenti.
“Dan satu lagi, jangan pernah coba selidiki aku! Apalagi kau melibatkan dua perempuan itu,” pinta Anggi kemudian langsung meninggalkan Mira.
Si kembar pun datang. Mereka hanya mendapati Mira menangis di tegah hujan.
"Kenapa kau melakukan ini?" tanya Airel. "Andai kau tak bertindak sendirian, jarakmu dengan Anggi tak akan menjadi semakin renggang."
Mira tertunduk lesu. "Maafkan kecerobohanku!"
"Menyusahkan saja," celetuk Airen.
"Apa sudah ada kabar dari Mira?" tanya Alfie saat Airel menyuguhkan cokelat hangat dan beberapa potong roti untuknya dan Airen.Airel menggeleng. "Kurasa hari ini dia akan mengabariku.""Hampir dua hari gadis ceroboh itu menghilang," gumam Airen. "Emm... Setidaknya membuatku lebih baik. Aku sedikit terganggu dengan orang yang terlalu mengikuti perasaannya."Senyum Airel merekah. Rona merah di pipi kentara di kulitnya yang terang. Ia merasa lucu setiap Airen berusaha menampakkan ketidaksukaannya terhadap kasus yang mereka hadapi. "Kurasa kau juga akan melakukan hal yang sama, jika kau kehilangan figurku. Mungkin lebih histeris."Airen mencebikkan bibir tipisnya. "Terserahlah," jawabnya malas.Drrrttt....Sebuah pesan singkat baru saja diterima Airel di ponselnya. Ia langsung membukanya."Sebuas pesan dari Mira," ucap Airel singkat."Apa isinya?" selidik Alfie."Kemarin sore dia ke rumah
Waktu telah menunjukkan pukul 11.30 WIB. Pandangan Airen langsung tertuju ke pintu sebuah ruangan yang di atasnya bertuliskan laboratorium fisika. Beberapa orang mulai keluar dari ruangan itu. Mereka mengenakan pakaian luar yang seragam berwarna putih. Tampaknya orang yang dicari Airen belum juga keluar.Hampir sepuluh menit Airen menunggu. Akhirnya sosok yang ditunggu pun keluar dari ruangan itu. Perempuan berparas menarik dengan bibir tipis berwarna merah jambu. Perempuan yang ia pernah lihat sebelumnya di halte tepat di seberang kafe Digulis. Ya, sosok itu adalah Anggi.Anggi berjalan dengan langkah lambat. Tatapan matanya kosong. Ia berjalan seperti tanpa tujuan."Anggi," sapa Airen yang mengekorinya dari belakang.Anggi sepertinya tak mendengar atau hanya sekedar menuli.Airen pun menepuk pelan pundak Anggi untuk mencari atensi. Usahanya tak percuma. Anggi membalikkan badannya. Alangkah terkejutnya Anggi melihat Airen di depannya. Matanya terb
Sebuah mobil sedan keluaran tahun 2020 dengan kelir cokelat berbelok ke pelataran sebuah rumah besar. Bangunan itu mengaplikasikan arsitektur melayu yang begitu kental. Sebagian besar bangunan tersusun dari kayu yang tertata rapi dan penuh nuansa etnik. Beberapa pohon besar juga sengaja ditanam di sekitar rumah untuk menambahkan kesan asri.Airel telah memarkirkan mobilnya tepat di bawah naungan salah satu pohon yang besar. Ia keluar dari kereta besinya itu diikuti oleh Airen dan Mira. Seperti biasa, mata Airel pasti menyisir daerah sekitarnya. Entah apa yang ia cari. Setiap berada di tempat yang pertama kali ia kunjungi, sikapnya begitu mengerikan. Ia berjalan perlahan dengan pandangan yang tajam, muka tanpa ekspresi dan kedua tangan yang saling menggenggam.Airen yang sudah terbiasa dengan sikap kakaknya memilih untuk mencari kesibukan sendiri. Ia mengeluarkan kamera dari tasnya dan mencari objek yang bisa difoto. Ia sangat gemar hunting foto di pagi hari. A
Si Kembar melangkahkan kaki masuk ke kamar Anggi. Mira yang terlihat masih gugup memberanikan diri masuk mengekori mereka. Tampak kamar yang berantakan untuk ukuran seorang perempuan. Bantal dan guling berserakan di lantai, seprai tempat tidur juga acak-acakan.Ada yang menarik perhatian Airel. Matanya melihat selembar bed cover berwarna putih. Pada bagian tengahnya terdapat bercak bekas cairan yang sudah mengering dan agak pudar kekuningan. Ia memegang sisi lain kain itu untuk memastikan pandangannya lebih dekat. Kini arah netranya beralih ke Airen.“Sepertinya ini bekas sperma,” ucap Airel.Airen mengangguk pelan seperti paham maksud kakaknya. Sedangkan Mira yang mendengar kalimat itu tak bisa menyembunyikan wajah tak percayanya.Airen melangkah ke sisi lain kamar sambil memotret, berharap objek jepretannya bisa dijadikan sebagai petunjuk. Ia menemukan sebuah silet di lantai. Bagian sisi silet itu ada darah yang mengering. Tak
Airen mengakhiri pembicaraannya dengan Nuella. Dahinya sedikit berkerut sembari memasukkan ponsel pintarnya ke dalam tas. "Apa kita perlu menemuinya?" tanya Airen kepada Airel. Airel menyibakkan rambut dan matanya lekat menatap Airen. "Kurasa tidak. Dia hanya sebatas informan pelengkap untuk menyinergikan analisis kita. Aku yakin dia sama sekali tak terlibat dalam kasus ini. Lalu, informasi apa yang kau dapat dari Nuella?" Airen seperti menghindari tatapan saudara kembarnya. Kini wajahnya beralih ke arah lain dengan pandangan yang kosong. Ia melepaskan napas beratnya dan mulai bercerita. "Dulu Anggi adalah gadis yang ceria dan pintar. Beberapa bulan terakhir perubahan sikapnya begitu drastis. Ia tak lagi mau bergaul dengan siapa pun." Airen terdiam sejenak seperti ada hal lain yang mucul di pikirannya. Ia lalu melanjutkan lagi ceritanya. "Kata Nuella, dia tak lagi melihat ketertarikan Anggi saat kuliah. Anggi sering dimarahi dosen karena tidak fokus dalam kelas. Sela
Airel menghidupkan mobil dan menyalakan mesinnya. Ia harus segera menemui Inspektur Yoga dan menyelesaikan kasus Anggi secepat mungkin. Namun saat Airen masuk ke dalam mobil, ia mengisyaratkan untuk tidak langsung pergi. Airen meletakkan buku merah ke pangkuan Airel. "Coba kau lihat halaman selanjutnya, kemudian hubungkan dengan cerita Mbok Ina dan Mira. Bagaimana pendapatmu?" Airen melontar tanya pada kembarannya. Airel pun membuka buku tersebut dengan raut sedikit heran. Matanya lekat menatap kata per kata dari isi halaman itu. Gadis yang apik dalam memainkan perannya sebagai manusia bodoh. Bodoh karena memendam rasa dan tak berani mengakuinya. Bodoh karena menutup mata dari peduli orang lain padanya. Berusaha mengaku kokoh dan berpijak pada kaki sendiri. Padahal ia hanya mengalah dengan keadaan tanpa pernah berusaha. Benar-benar BODOH!! Aku ben
"Sebaiknya kita menunggu hasil penyelidikan TKP terlebih dahulu. Aku sebenarnya tidak tertarik untuk berdeduksi dengan bukti yang belum terkonfirmasi," ujar Airel. Inspektur Yoga tersenyum simpul. "Kurasa bukan jadi masalah jika sekedar beranalisa. Kalian juga bukan bagian dari penyidik resmi, tapi hanya pembuka kasus ini. Jawaban kalian tidak langsung jadi sebuah keputusan." Airen menatap sinis ke Inspektur Yoga. Rasa tersinggung terukir di wajahnya. "Apakah itu pernyataan untuk menguji?" tanya Airen dengan menaikkan salah satu ujung bibirnya. Inspektur Yoga tertawa pelan dan berdiri dari duduknya. Ia mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan meletakkannya di meja. "Ini beberapa gambar yang ditangkap oleh juru foto penyidik. Aku meminta salinannya untuk kalian." Airen membuka amplop dan mengeluarkan isinya. Ia melihat setumpuk foto barang bukti dan bagian-bagian TKP yang telah diabadikan. Senyuman sinis lagi-lagi lancang tercipta di bibirnya. Ia menyodo
Inspektur Yoga heran melihat foto yang ada di kamera Airen. "Apa maksudmu dengan sebuah foto keluarga?""Jangan bilang pelakunya adalah Kak Edi?" cecar Mira lagi."Tepat, memang dialah pelakunya," jawab Airen tegas.Mata Mira terbelalak sempurna. "Apa? Jadi Kak Edi yang ...." Wajahnya menjadi lesu. Lehernya pun seperti tersekat dan tak bisa mengeluarkan kata-kata. Ia masih tak percaya Edi tega melakukan pelecehan itu.Airel berdiri sambil saling melipatkan kedua tangannya di dada. "Ya, dia yang melakukannya. Hanya dia yang memiliki peluang besar berbuat demikian. Jika prediksiku tidak keliru, maka sperma itu adalah miliknya. Sidik jarinya juga akan bertebaran di kamar Anggi."Inspektur Yoga setengah mengacungkan telunjuk—bukan untuk menunjuk tapi seperti berpikir—dan menggerakkannya pelan sambil menyipitkan mata. "Kenapa kalian bisa memastikan Edi adalah pelaku pelecehan itu? Bukankah orang lain juga memiliki peluang yang sama untuk mel