Share

- 5 -

Waktu telah menunjukkan pukul 11.30 WIB. Pandangan Airen langsung tertuju ke pintu sebuah ruangan yang di atasnya bertuliskan laboratorium fisika. Beberapa orang mulai keluar dari ruangan itu. Mereka mengenakan pakaian luar yang seragam berwarna putih. Tampaknya orang yang dicari Airen belum juga keluar.

Hampir sepuluh menit Airen menunggu. Akhirnya sosok yang ditunggu pun keluar dari ruangan itu. Perempuan berparas menarik dengan bibir tipis berwarna merah jambu. Perempuan yang ia pernah lihat sebelumnya di halte tepat di seberang kafe Digulis. Ya, sosok itu adalah Anggi.

Anggi berjalan dengan langkah lambat. Tatapan matanya kosong. Ia berjalan seperti tanpa tujuan.

"Anggi," sapa Airen yang mengekorinya dari belakang.

Anggi sepertinya tak mendengar atau hanya sekedar menuli.

Airen pun menepuk pelan pundak Anggi untuk mencari atensi. Usahanya tak percuma. Anggi membalikkan badannya. Alangkah terkejutnya Anggi melihat Airen di depannya. Matanya terbelalak sempurna dan membuatnya sulit berkata-kata.

"Ka... Kau," ucap Anggi terbata-bata sambil membuat jarak dengan Airen.

Airen menghadapkan kedua telapak tangannya ke Anggi, seperti berhati-hati mendekati buruan.

"Aku hanya perlu sedikit bicara denganmu," ujar Airen menyampaikan tujuannya.

Bukannya menuruti kemauan Airen, Anggi malah perlahan menjauh lalu mengambil langkah seribu.

"Gi, tunggu!" perintah Airen hanya menjadi sia-sia.

Airen pun berniat mengejar Anggi yang sudah mulai jauh. Saat hendak mengabulkan niatnya, langkahnya terhenti. Ada yang menarik perhatiannya. Seseorang lewat begitu saja di belakang Anggi. Orang itu mengenakan setelan yang sama dengan orang yang pernah menabraknya di pameran.

Seketika pikiran Airen bercabang. Sejujurnya ia masih kesal dengan orang itu dan ingin melabraknya. Namun ia juga harus memastikan sesuatu di diri Anggi. Ia memejamkan matanya sejenak dan menarik napas dalam-dalam lalu mengembusnya perlahan.

Matanya terbuka dan ia berucap lirih, "baiklah. Aku akan mengutamakan siapa yang membutuhkanku."

Airen memutuskan untuk mengejar Anggi. Meski sosok yang dicari kini tak lagi di jangkauannya. Asanya tetap tak sirna. Ia memutar otak untuk mecari kemungkinan kemana Anggi akan lari.

Di lain sisi, Anggi yang berusaha menjauh kini mengantarkannya pada tempat parkiran kampus. Ia melihat sudah tak ada Airen di belakangnya. Napasnya terengah-engah. Ia memutuskan duduk sebentar di bangku kayu untuk menstabilkan pernapasannya.

Belum semenit, jantung Anggi harus berpacu lagi. Orang yang dihindarinya telah ada di depan mata.

"Kau tidak bisa mengelak lagi, Gi." Airen telah menggenggam lengan kiri Anggi.

Anggi terkejut kembali, "Apa sebenarnya maumu?"

"Aku hanya ingin membantumu. Bisakah kau menceritakan apa yang terjadi padamu?"

"Aku baik-baik saja."

"Bohong!"

Airen meraih lengan kanan Anggi, lalu ia coba menyingsingkan lengan baju Anggi yang panjang. Anggi tentu saja tak membiarkannya. Adu tarik-tarikan lengan baju tak terelakkan. Namun usaha Airen tak sia-sia, ia mampu menyingsing lengan baju Anggi hingga ke siku. Hingga terlihat jelas beberapa luka sayatan di lengannya.

"Ini yang kau bilang tidak apa-apa?" tanya Airen dengan nada agak tinggi.

"Bukan urusanmu. Siapa kau bagiku?"

"Apa kita harus memikirkan terlebih dahulu. Siapa dia bagi kita saat kita mau menolong orang lain?"

Anggi terdiam. Ia menarik tangannya lalu beranjak pergi.

Airen tak menahannya lagi. Ia sudah memastikan apa yang ia mau. Muncul beberapa pertanyaan di kepalanya saat matanya masih melihat punggung Anggi yang terus menjauh.

Kenapa luka sayatannya ada empat buah? Bukankah Mira bilang lukanya cuma dua? Dua luka yang lain memang terlihat masih baru. Apa itu berarti ...? Tanya Airen pada dirinya sendiri.

Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel lalu coba menghubungi Airel.

"Halo, Rel. Aku sudah memastikannya."

"Kau tidak bersikap kasar padanya, kan?" tanya Airel dari seberang telepon.

"Sedikit."

"Sudah kuduga. Kau pasti juga tidak sabaran," ledek Airel.

"Tapi aku menemukan sedikit hal yang menarik."

"Apa itu?"

"Akan kujelaskan nanti." Airen langsung menutup panggilannya.

***

Seorang pria berkulit sawo matang telah duduk tepat di hadapan Airel. Lelaki itu asyik melihatnya. Belum ada keluar sepatah kata pun dari mulut lelaki itu. Bukannya merasa canggung. Airel malah menopang dagunya di meja dan menantang tatapan pria itu. Pria itu adalah Edi. Airel telah membuat janji dengannya untuk bertemu di restoran Golden Tulip.

Airel sadar akan tatapan itu. Bukan tatapan orang yang baru kenal tetapi tatapan seorang lelaki yang penuh hasrat pada seorang perempuan. Airel berpura-pura biasa saja di depan lelaki perlente itu.

"Apa kau bisa membantuku?" ucap Airel memulai pembicaraan.

"Tentu saja. Mana mungkin aku bisa menolak permintaan perempuan cantik sepertimu."

"Tak perlu memujiku."

"Aku hanya menyampaikan fakta. Tak lebih."

"Seperti yang kubilang sebelum ke sini. Aku sedang mencari tau apa yang sebenarnya terjadi pada Anggi."

"Sepertinya ini hal yang serius bagimu."

"Tentu saja. Dia adalah temanku."

"Menarik sekali. Cantik dan perhatian," ujar Edi sambil menggigit kecil bibirnya.

"Aku tidak tau bagaimana bentuk perhatianmu padanya. Aku juga tidak akan menggurui soal itu. Aku hanya ingin tau, apakah kalian tidak akrab?"

Edi mengernyitkan dahinya. "Harus kuakui, iya. Kami hanya dekat sewajarnya."

"Apa itu artinya kau datang kemari bukan karena pedulimu kepada Anggi? Tetapi hanya penasaran dengan apa yang akan aku tanyakan mengenainya."

"Sejujurnya iya. Alasan lain aku hanya berpikir untuk mengetahui apa yang tidak aku ketahui tentang adikku sendiri dari perspektif orang lain. Kenapa kau begitu menyudutkanku?" Edi balik bertanya.

Bukannya menampakkan raut wajah bersalah, senyum Airel malah mengembang. "Oh, maaf. Jika kau merasa demikian, aku minta maaf."

"Lalu apa yang bisa kubantu?"

"Aku sedang menyelidiki Anggi. Apa kau tau perihal luka di lengan Anggi?"

Edi kaget. "Luka?" tanyanya heran.

Airel menggangguk pelan.

"Aku tidak pernah tau ia punya luka, luka seperti apa yang kau maksud?"

"Luka yang dibuat sengaja oleh seseorang di lengannya."

"Kau tak menuduhku melakukannya, kan?"

Airel tertawa pelan. "Aku hanya sekedar bertanya. Kau adalah orang yang paling banyak kesempatan bertemu dengannya. Aku cuma memastikan luka itu apakah kau juga mengetahuinya."

"Aku tidak tau tentang luka itu. Akan ku pastikan nanti."

"Seperti apa hubungan kalian?"

Edi menghela napas. "Dia adalah satu-satunya keluargaku saat ini. Kami sudah tidak memiliki orang tua. Segala keperluannya terutama finansial, aku yang mengurusnya."

"Apa dia tidak pernah bercerita apa pun tentangnya padamu?"

"Aku tidak tau masalah apa yang sedang dihadapinya. Aku melihatnya biasa saja di rumah."

Airel mengubah posisi duduknya menjadi tegak. Ia menyibakkan rambutnya ke belakang dan saling menyilangkan jemari-jemarinya. Lalu menumpunya di atas meja. Ia masih lekat memandangi Edi.

"Apakah kau pernah bermasalah dengan Maher?"

Edi mengernyitkan dahi lagi untuk kedua kalinya. "Seingatku tidak pernah. Kami sangat dekat. Aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri. Kau mungkin pernah dengar ungkapan tentang sahabat itu bisa melebihi keluarga. Aku terpaksa setuju dengan ungkapan itu. Karena aku mengalami itu dan menemuinya di diri Maher."

Airel tak merasakan kebohongan di ucapan Edi barusan. Ia seperti merasakan persahabatan yang begitu erat antara Edi dan Maher. Ia lalu merapatkan tubuhnya ke meja.

"Bagaimana jika Maher mengkhianatimu?" Tanya Airel lirih.

Edi tak langsung menjawab. Kerongkongannya seperti tersekat oleh sesuatu. Ia perlahan menelan ludahnya.

"Kenapa kau mengatakan demikian? Maher tak mungkin mengkhianatiku," jawab Edi sedikit gugup.

"Jangan gugup seperti itu! Kita hanya berbicara tentang probabilitas."

"Aku tetap yakin Maher tidak akan mengkhianatiku."

Senyuman Airel tercipta di bibir tipisnya. "Baiklah. Aku rasa informasi yang kau berikan sudah cukup."

Edi tampak bingung dan merasa belum memberikan bantuan apa pun. Tetapi bagi Airel sudah cukup. Gadis itu mengucapkan terima kasih dan menuliskan sebuah pesan singkat di kertas. Raut wajah Edi terlihat gusar melihat isi kertas itu setelah Airel meninggalkannya. Berhati-hatilah!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status