Si Kembar pikir pameran fotografi tahun ini akan terlihat mewah, tapi mungkin mereka akan sedikit kaget. Bagaimana tidak, setibanya di gedung Kartini—tempat diadakannya pameran—, netra mereka di sambut dengan kerumunan manusia. Ramainya di luar prediksi mereka.
"Ramai sekali. Kurasa kita salah tempat. Kita bukan pergi ke tempat konser, kan?" ledek Airel.
Airen tertawa, "Tentu saja tidak. Jangan mencoba untuk melucu." Ia mengeluarkan kameranya dan memulai mencari objek yang bisa difoto.
"Ya, awalnya kukira ini menjadi acara yang elegan seperti tahun sebelumnya. Dulu tak seramai ini," timpal Airen lagi.
"Kurasa ini hal yang wajar. Semua yang menyenangi fotografi pasti mau melihat secara langsung seorang legenda fotografer dunia."
"Eh, maksudmu?" Airen heran.
"Adwin Hugo ada di acara ini."
"Candaanmu garing. Mana mungkin fotografer asal Afrika itu datang ke sini. Aku tidak mendapatkan info tentang itu."
"Kau bisa memastikannya dengan masuk ke dalam."
"Jangan meledekku!"
Airel tersenyum melihat adiknya, "Aku baca beritanya dua hari yang lalu dan bagaimana mungkin kau tidak tahu soal itu."
"Kau serius?"
Kenapa harus aku yang lebih tahu tentang ini, bukankah ini acara yang ditunggunya? pikir Airel.
"Tanyai saja orang-orang yang berkerumun itu."
Airen dengan polosnya menanyai salah satu orang yang berkerumun. Jawaban orang itu senada dengan Airel. Mata Airen membulat sempurna, ada rasa tak percaya di benaknya. Ia berteriak histeris sambil meloncat-loncat kegirangan. Wajahnya berbinar. Ia memang mengidolakan Adwin Hugo sejak lama. Baginya Hugo adalah fotografer yang sangat mengesankan. Menurutnya setiap karya Hugo seperti bercerita. Bukan sekedar gambar ikonik, melainkan menyimpan unsur magis di dalamnya.
"Aku harus menemuinya," ucap Airen semangat.
"Baiklah, aku akan menunggu di luar saja."
Airen bergegas menuju kerumunan dan ingin masuk ke dalam gedung. Saat berbalik badan dan hendak berlari, tiba-tiba seseorang menabraknya dari samping dan membuatnya terjatuh.
"Hey ...." Teriak Airen pada orang yang menabraknya. Orang itu tak menoleh sedikitpun dan terus saja berjalan cepat.
Airel yang melihat Airen jatuh, langsung datang menghampiri dan membantunya berdiri. Ia memungut kamera yang lecet sebab juga ikut terjatuh. Selain itu ada yang menarik perhatiannya. Sebuah buku seukuran telapak tangan berada di dekat kamera Airen.
Kurasa buku ini milik orang itu. Airel mengedar pandangannya. Ia masih ingat orang itu menggunakan hoodie hijau lumut dengan celana jeans hitam panjang. Penglihatannya pun menemukan orang itu. Hanya saja orang itu sudah cukup jauh. Ia hanya mampu melihat punggungnya yang mulai menghilang dan menyelinap di keramaian.
"Dasar kurang ajar." gerutu Airen dan terus mengomel. Ia begitu geram dengan sikap orang yang menabraknya. Bukannya meminta maaf atau membantunya berdiri, orang itu malah pergi terburu-buru.
"Dia seorang pria?" selidik Airel.
"Kurasa begitu, senggolannya juga kuat. Sayangnya aku tak bisa melihat wajahnya. Ia memakai masker."
Airel terpaksa setuju dengan pendapat adiknya. Melihat gaya jalan orang yang menabrak tadi memang sangat maskulin.
"Apa kau tetap masuk?"
"Tentu saja. Pertanyaan aneh," jawabnya Airen ketus.
Airen pun kembali berupaya masuk ke dalam gedung. Fokus Airel kini sudah berpindah ke buku yang ia temukan. Ia masih merasa ada yang janggal.
Lelaki itu tak memakai tas. Dan tangannya masuk ke dalam saku hoodie-nya. Jika buku ini tak sengaja jatuh, harusnya ia sadar buku itu telah lepas dari tangan atau sakunya. Kalau buku ini bukan miliknya, kenapa aku tak melihatnya dari tadi? Buku apa ini? Judulnya juga aneh. Airel bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Airel berjalan-jalan di sekitar area pameran. Berharap bisa menemukan pria itu. Setengah jam pencariannya berakhir nihil. Akhirnya ia memutuskan untuk duduk di bangku tepat di bawah sebuah pohon rindang. Ia mengeluarkan buku yang ia jumpai tadi dari tasnya.
Buku itu berwarna merah darah dan agak usang, tapi tidak mengeluarkan aroma buku lama. Hanya ingin membuat kesan buku tua, pikir Airel. Ia langsung membuka buku itu. Kertasnya kusam. Pada halaman pertama tertera kalimat bijak dari William Shakespeare.
Dunia adalah sebuah panggung. Seluruh pria dan wanita adalah pemerannya.
Airel membuka halaman selanjutnya.
Kenapa kau harus memainkan bahkan mengganti peranku?
Akulah pemeran terhebat dalam pertunjukan. Jika aku muncul, maka peranmu akan lenyap.
Airel mengernyitkan dahinya. Buku apa ini?. Yang pasti buku ini ditulis bukan untuk penulisnya sendiri. Ia melanjutkan ke halaman tiga.
NIKMATILAH PERTUNJUKANKU!
Airel tersentak. Terdapat bercak-bercak darah yang sudah mengering di halaman itu. Beberapa coretan dan gambar tak jelas juga tegores di sana. Rasa penasarannya menjadi-jadi. Ia pun mencari jawaban dengan membalik lembar itu lagi.
Ia terpuruk dalam gelap, kesendirian dan ketakutan.
Ia menikmati luka yang terkarya di tubuhnya.
Ia tak punya kuasa dan upaya.
Ia hanya punya air mata.
Gadis yang malang.
Aku datang padanya menawarkan kebebasan.
Berperan bersama dalam pertunjukan.
Tapi ia tetaplah gadis malang.
Memilih nestapa dan tetap bungkam.
Airel menutup bukunya. Ia masih tak mengerti maksud buku itu. Ia meyakini ada hal yang ingin disampaikan oleh penulisnya, tapi ia belum menemukannya.
Bunyi ponsel membuyarkan pikirannya. Ia merogoh tas dan terlihat panggilan masuk dengan nomor tak dikenal di ponselnya. Sesaat kemudian telepon diangkat dan Airel memilih untuk membisu hingga terdengar suara lembut, "Halo?"
Ia mengenali suara itu. Suara yang akrab di telinganya.
"Paman?" sapa Airel untuk meyakinkan.
"Paman mengkhawatirkan kalian. Paman mendapat kabar tempat pameran membeludak hari ini."
"Iya. Memang sangat ramai. Kenapa Paman menggunakan nomor asing?"
"Ini nomor Inspektur Yoga. Kamu boleh menyimpannya. Paman meminjam ponselnya, ponsel Paman kehabisan baterai. Jagalah diri kalian dan tetap berhati-hati!"
"Baiklah." Airel mengakhiri panggilan.
Ia mengerti maksud Alfie untuk menghindari keramaian termasuk menghindari media. Airel sadar tujuan Alfie bukan untuk mengisolasi mereka, melainkan untuk memikirkan keselamatan. Alfie hanya tak ingin mereka bernasib sama dengan sang ibu.
Airel menyeruput cokelat panas yang telah dipesannya. Matanya melihat ke arah balik jendela yang terbias air hujan. Sedangkan Airen tampak senyum-senyum sendiri melihat foto-foto yang ada di kameranya. Ia begitu senang dapat mengabadikan gambar idolanya secara langsung. "Sudah setengah jam kita di sini. Apa kita harus tetap menunggunya?" tanya Airen memecah keheningan. Airel menyesap cokelatnya lagi, "Permintaan Paman adalah perintah." "Tapi—" "Tenang saja, aku tak masalah." Airel langsung memotong omongan adiknya. "Ya ... aku tau kebiasaan anehmu itu. Hanya saja dari tadi kerjaanmu menunggu dan terus menunggu. Apa kau tidak bosan?" "Bosan. Barusan saja terjadi. Bertahun-tahun aku mendengar pertanyaan sama dari orang yang sama." Airen paham sedang disindir kakaknya. "Lalu berapa lama lagi kita harus menunggu?" "Jika kau ingin pulang duluan, aku tak masalah jika harus menemuinya sendiri." "Dan kau tahu kan, aku t
"Apa sudah ada kabar dari Mira?" tanya Alfie saat Airel menyuguhkan cokelat hangat dan beberapa potong roti untuknya dan Airen.Airel menggeleng. "Kurasa hari ini dia akan mengabariku.""Hampir dua hari gadis ceroboh itu menghilang," gumam Airen. "Emm... Setidaknya membuatku lebih baik. Aku sedikit terganggu dengan orang yang terlalu mengikuti perasaannya."Senyum Airel merekah. Rona merah di pipi kentara di kulitnya yang terang. Ia merasa lucu setiap Airen berusaha menampakkan ketidaksukaannya terhadap kasus yang mereka hadapi. "Kurasa kau juga akan melakukan hal yang sama, jika kau kehilangan figurku. Mungkin lebih histeris."Airen mencebikkan bibir tipisnya. "Terserahlah," jawabnya malas.Drrrttt....Sebuah pesan singkat baru saja diterima Airel di ponselnya. Ia langsung membukanya."Sebuas pesan dari Mira," ucap Airel singkat."Apa isinya?" selidik Alfie."Kemarin sore dia ke rumah
Waktu telah menunjukkan pukul 11.30 WIB. Pandangan Airen langsung tertuju ke pintu sebuah ruangan yang di atasnya bertuliskan laboratorium fisika. Beberapa orang mulai keluar dari ruangan itu. Mereka mengenakan pakaian luar yang seragam berwarna putih. Tampaknya orang yang dicari Airen belum juga keluar.Hampir sepuluh menit Airen menunggu. Akhirnya sosok yang ditunggu pun keluar dari ruangan itu. Perempuan berparas menarik dengan bibir tipis berwarna merah jambu. Perempuan yang ia pernah lihat sebelumnya di halte tepat di seberang kafe Digulis. Ya, sosok itu adalah Anggi.Anggi berjalan dengan langkah lambat. Tatapan matanya kosong. Ia berjalan seperti tanpa tujuan."Anggi," sapa Airen yang mengekorinya dari belakang.Anggi sepertinya tak mendengar atau hanya sekedar menuli.Airen pun menepuk pelan pundak Anggi untuk mencari atensi. Usahanya tak percuma. Anggi membalikkan badannya. Alangkah terkejutnya Anggi melihat Airen di depannya. Matanya terb
Sebuah mobil sedan keluaran tahun 2020 dengan kelir cokelat berbelok ke pelataran sebuah rumah besar. Bangunan itu mengaplikasikan arsitektur melayu yang begitu kental. Sebagian besar bangunan tersusun dari kayu yang tertata rapi dan penuh nuansa etnik. Beberapa pohon besar juga sengaja ditanam di sekitar rumah untuk menambahkan kesan asri.Airel telah memarkirkan mobilnya tepat di bawah naungan salah satu pohon yang besar. Ia keluar dari kereta besinya itu diikuti oleh Airen dan Mira. Seperti biasa, mata Airel pasti menyisir daerah sekitarnya. Entah apa yang ia cari. Setiap berada di tempat yang pertama kali ia kunjungi, sikapnya begitu mengerikan. Ia berjalan perlahan dengan pandangan yang tajam, muka tanpa ekspresi dan kedua tangan yang saling menggenggam.Airen yang sudah terbiasa dengan sikap kakaknya memilih untuk mencari kesibukan sendiri. Ia mengeluarkan kamera dari tasnya dan mencari objek yang bisa difoto. Ia sangat gemar hunting foto di pagi hari. A
Si Kembar melangkahkan kaki masuk ke kamar Anggi. Mira yang terlihat masih gugup memberanikan diri masuk mengekori mereka. Tampak kamar yang berantakan untuk ukuran seorang perempuan. Bantal dan guling berserakan di lantai, seprai tempat tidur juga acak-acakan.Ada yang menarik perhatian Airel. Matanya melihat selembar bed cover berwarna putih. Pada bagian tengahnya terdapat bercak bekas cairan yang sudah mengering dan agak pudar kekuningan. Ia memegang sisi lain kain itu untuk memastikan pandangannya lebih dekat. Kini arah netranya beralih ke Airen.“Sepertinya ini bekas sperma,” ucap Airel.Airen mengangguk pelan seperti paham maksud kakaknya. Sedangkan Mira yang mendengar kalimat itu tak bisa menyembunyikan wajah tak percayanya.Airen melangkah ke sisi lain kamar sambil memotret, berharap objek jepretannya bisa dijadikan sebagai petunjuk. Ia menemukan sebuah silet di lantai. Bagian sisi silet itu ada darah yang mengering. Tak
Airen mengakhiri pembicaraannya dengan Nuella. Dahinya sedikit berkerut sembari memasukkan ponsel pintarnya ke dalam tas. "Apa kita perlu menemuinya?" tanya Airen kepada Airel. Airel menyibakkan rambut dan matanya lekat menatap Airen. "Kurasa tidak. Dia hanya sebatas informan pelengkap untuk menyinergikan analisis kita. Aku yakin dia sama sekali tak terlibat dalam kasus ini. Lalu, informasi apa yang kau dapat dari Nuella?" Airen seperti menghindari tatapan saudara kembarnya. Kini wajahnya beralih ke arah lain dengan pandangan yang kosong. Ia melepaskan napas beratnya dan mulai bercerita. "Dulu Anggi adalah gadis yang ceria dan pintar. Beberapa bulan terakhir perubahan sikapnya begitu drastis. Ia tak lagi mau bergaul dengan siapa pun." Airen terdiam sejenak seperti ada hal lain yang mucul di pikirannya. Ia lalu melanjutkan lagi ceritanya. "Kata Nuella, dia tak lagi melihat ketertarikan Anggi saat kuliah. Anggi sering dimarahi dosen karena tidak fokus dalam kelas. Sela
Airel menghidupkan mobil dan menyalakan mesinnya. Ia harus segera menemui Inspektur Yoga dan menyelesaikan kasus Anggi secepat mungkin. Namun saat Airen masuk ke dalam mobil, ia mengisyaratkan untuk tidak langsung pergi. Airen meletakkan buku merah ke pangkuan Airel. "Coba kau lihat halaman selanjutnya, kemudian hubungkan dengan cerita Mbok Ina dan Mira. Bagaimana pendapatmu?" Airen melontar tanya pada kembarannya. Airel pun membuka buku tersebut dengan raut sedikit heran. Matanya lekat menatap kata per kata dari isi halaman itu. Gadis yang apik dalam memainkan perannya sebagai manusia bodoh. Bodoh karena memendam rasa dan tak berani mengakuinya. Bodoh karena menutup mata dari peduli orang lain padanya. Berusaha mengaku kokoh dan berpijak pada kaki sendiri. Padahal ia hanya mengalah dengan keadaan tanpa pernah berusaha. Benar-benar BODOH!! Aku ben
"Sebaiknya kita menunggu hasil penyelidikan TKP terlebih dahulu. Aku sebenarnya tidak tertarik untuk berdeduksi dengan bukti yang belum terkonfirmasi," ujar Airel. Inspektur Yoga tersenyum simpul. "Kurasa bukan jadi masalah jika sekedar beranalisa. Kalian juga bukan bagian dari penyidik resmi, tapi hanya pembuka kasus ini. Jawaban kalian tidak langsung jadi sebuah keputusan." Airen menatap sinis ke Inspektur Yoga. Rasa tersinggung terukir di wajahnya. "Apakah itu pernyataan untuk menguji?" tanya Airen dengan menaikkan salah satu ujung bibirnya. Inspektur Yoga tertawa pelan dan berdiri dari duduknya. Ia mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan meletakkannya di meja. "Ini beberapa gambar yang ditangkap oleh juru foto penyidik. Aku meminta salinannya untuk kalian." Airen membuka amplop dan mengeluarkan isinya. Ia melihat setumpuk foto barang bukti dan bagian-bagian TKP yang telah diabadikan. Senyuman sinis lagi-lagi lancang tercipta di bibirnya. Ia menyodo