Share

- 2 -

Si Kembar pikir pameran fotografi tahun ini akan terlihat mewah, tapi mungkin mereka akan sedikit kaget. Bagaimana tidak, setibanya di gedung Kartini—tempat diadakannya pameran—, netra mereka di sambut dengan kerumunan manusia. Ramainya di luar prediksi mereka.

"Ramai sekali. Kurasa kita salah tempat. Kita bukan pergi ke tempat konser, kan?" ledek Airel.

Airen tertawa, "Tentu saja tidak. Jangan mencoba untuk melucu." Ia mengeluarkan kameranya dan memulai mencari objek yang bisa difoto.

"Ya, awalnya kukira ini menjadi acara yang elegan seperti tahun sebelumnya. Dulu tak seramai ini," timpal Airen lagi.

"Kurasa ini hal yang wajar. Semua yang menyenangi fotografi pasti mau melihat secara langsung seorang legenda fotografer dunia."

"Eh, maksudmu?" Airen heran.

"Adwin Hugo ada di acara ini."

"Candaanmu garing. Mana mungkin fotografer asal Afrika itu datang ke sini. Aku tidak mendapatkan info tentang itu."

"Kau bisa memastikannya dengan masuk ke dalam."

"Jangan meledekku!"

Airel tersenyum melihat adiknya, "Aku baca beritanya dua hari yang lalu dan bagaimana mungkin kau tidak tahu soal itu."

"Kau serius?"

Kenapa harus aku yang lebih tahu tentang ini, bukankah ini acara yang ditunggunya? pikir Airel.

"Tanyai saja orang-orang yang berkerumun itu."

Airen dengan polosnya menanyai salah satu orang yang berkerumun. Jawaban orang itu senada dengan Airel. Mata Airen membulat sempurna, ada rasa tak percaya di benaknya. Ia berteriak histeris sambil meloncat-loncat kegirangan. Wajahnya berbinar. Ia memang mengidolakan Adwin Hugo sejak lama. Baginya Hugo adalah fotografer yang sangat mengesankan. Menurutnya setiap karya Hugo seperti bercerita. Bukan sekedar gambar ikonik, melainkan menyimpan unsur magis di dalamnya.

"Aku harus menemuinya," ucap Airen semangat.

"Baiklah, aku akan menunggu di luar saja."

Airen bergegas menuju kerumunan dan ingin masuk ke dalam gedung. Saat berbalik badan dan hendak berlari, tiba-tiba seseorang menabraknya dari samping dan membuatnya terjatuh.

"Hey ...." Teriak Airen pada orang yang menabraknya. Orang itu tak menoleh sedikitpun dan terus saja berjalan cepat.

Airel yang melihat Airen jatuh, langsung datang menghampiri dan membantunya berdiri. Ia memungut kamera yang lecet sebab juga ikut terjatuh. Selain itu ada yang menarik perhatiannya. Sebuah buku seukuran telapak tangan berada di dekat kamera Airen.

Kurasa buku ini milik orang itu. Airel mengedar pandangannya. Ia masih ingat orang itu menggunakan hoodie hijau lumut dengan celana jeans hitam panjang. Penglihatannya pun menemukan orang itu. Hanya saja orang itu sudah cukup jauh. Ia hanya mampu melihat punggungnya yang mulai menghilang dan menyelinap di keramaian.

"Dasar kurang ajar." gerutu Airen dan terus mengomel. Ia begitu geram dengan sikap orang yang menabraknya. Bukannya meminta maaf atau membantunya berdiri, orang itu malah pergi terburu-buru.

"Dia seorang pria?" selidik Airel.

"Kurasa begitu, senggolannya juga kuat. Sayangnya aku tak bisa melihat wajahnya. Ia memakai masker."

Airel terpaksa setuju dengan pendapat adiknya. Melihat gaya jalan orang yang menabrak tadi memang sangat maskulin.

"Apa kau tetap masuk?"

"Tentu saja. Pertanyaan aneh," jawabnya Airen ketus.

Airen pun kembali berupaya masuk ke dalam gedung. Fokus Airel kini sudah berpindah ke buku yang ia temukan. Ia masih merasa ada yang janggal.

Lelaki itu tak memakai tas. Dan tangannya masuk ke dalam saku hoodie-nya. Jika buku ini tak sengaja jatuh, harusnya ia sadar buku itu telah lepas dari tangan atau sakunya. Kalau buku ini bukan miliknya, kenapa aku tak melihatnya dari tadi? Buku apa ini? Judulnya juga aneh. Airel bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Airel berjalan-jalan di sekitar area pameran. Berharap bisa menemukan pria itu. Setengah jam pencariannya berakhir nihil. Akhirnya ia memutuskan untuk duduk di bangku tepat di bawah sebuah pohon rindang. Ia mengeluarkan buku yang ia jumpai tadi dari tasnya.

Buku itu berwarna merah darah dan agak usang, tapi tidak mengeluarkan aroma buku lama. Hanya ingin membuat kesan buku tua, pikir Airel. Ia langsung membuka buku itu. Kertasnya kusam. Pada halaman pertama tertera kalimat bijak dari William Shakespeare.

Dunia adalah sebuah panggung. Seluruh pria dan wanita adalah pemerannya.

Airel membuka halaman selanjutnya.

Kenapa kau harus memainkan bahkan mengganti peranku?

Akulah pemeran terhebat dalam pertunjukan. Jika aku muncul, maka peranmu akan lenyap.

Airel mengernyitkan dahinya. Buku apa ini?. Yang pasti buku ini ditulis bukan untuk penulisnya sendiri. Ia melanjutkan ke halaman tiga.

NIKMATILAH PERTUNJUKANKU!

Airel tersentak. Terdapat bercak-bercak darah yang sudah mengering di halaman itu. Beberapa coretan dan gambar tak jelas juga tegores di sana. Rasa penasarannya menjadi-jadi. Ia pun mencari jawaban dengan membalik lembar itu lagi.

Ia terpuruk dalam gelap, kesendirian dan ketakutan.

Ia menikmati luka yang terkarya di tubuhnya.

Ia tak punya kuasa dan upaya.

Ia hanya punya air mata.

Gadis yang malang.

Aku datang padanya menawarkan kebebasan.

Berperan bersama dalam pertunjukan.

Tapi ia tetaplah gadis malang.

Memilih nestapa dan tetap bungkam.

Airel menutup bukunya. Ia masih tak mengerti maksud buku itu. Ia meyakini ada hal yang ingin disampaikan oleh penulisnya, tapi ia belum menemukannya.

Bunyi ponsel membuyarkan pikirannya. Ia merogoh tas dan terlihat panggilan masuk dengan nomor tak dikenal di ponselnya. Sesaat kemudian telepon diangkat dan Airel memilih untuk membisu hingga terdengar suara lembut, "Halo?"

Ia mengenali suara itu. Suara yang akrab di telinganya.

"Paman?" sapa Airel untuk meyakinkan.

"Paman mengkhawatirkan kalian. Paman mendapat kabar tempat pameran membeludak hari ini."

"Iya. Memang sangat ramai. Kenapa Paman menggunakan nomor asing?"

"Ini nomor Inspektur Yoga. Kamu boleh menyimpannya. Paman meminjam ponselnya, ponsel Paman kehabisan baterai. Jagalah diri kalian dan tetap berhati-hati!"

"Baiklah." Airel mengakhiri panggilan.

Ia mengerti maksud Alfie untuk menghindari keramaian termasuk menghindari media. Airel sadar tujuan Alfie bukan untuk mengisolasi mereka, melainkan untuk memikirkan keselamatan. Alfie hanya tak ingin mereka bernasib sama dengan sang ibu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status