"Apa maksudmu menunjukkan gambar itu?" tanya Hardian. "Kau memang lupa atau sedang berpura-pura," sindir Airel. "Bagaimana mungkin kau tidak ingat sama sekali dengan tempat itu."Tempat yang dimaksudkan Airel adalah gambar sebuah panti asuhan yang sedang ditampilkan oleh proyektor. Panti asuhan itu pernah berdiri lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Sayangnya, tempat penampungan yatim piatu tersebut terpaksa ditutup sepuluh tahun belakangan ini dikarenakan kurangnya donatur. Berdasarkan hasil penelusuran yang didapatkan Ethereal, mereka yakin panti asuhan tersebut merupakan tempat yang pernah membesarkan Hardian. "Aku tidak paham maksudmu," elaknya lagi. "Kau yakin tidak paham?" pancing Airel. Hardian menyengir. "Usaha yang cukup bagus untuk mendesakku, tetapi aku tetap tidak mengerti arah pembicaraanmu.""Jadi, kau tidak mau mengaku?" desak Airel lagi. "Pengakuan seperti apa yang kau mau? Jangan terlalu membuang waktu dengan gambar semacam itu."Airel sadar Hardian sedang beru
Airel mengadu pandangan Hardian tanpa gentar sedikit pun. Meskipun lelaki itu mulai terselimuti amarah, Airel berusaha tetap tenang agar bisa mengontrol keadaan. Ia pun menegakkan tubuhnya dengan duduk setengah menyandar, kemudian berkata, "Mungkin kau akan merasa puas setelah menyingkirkan mereka, tapi tidakkah kau sadar akibat dari yang telah kau lakukan? Ayah angkatmu hampir saja mendekam di penjara atas tindakan yang tidak pernah dilakukannya. Lalu apa bedanya kau dengan orang-orang yang pernah jahat padamu?" tutur Airel. Kata-kata Airel seketika membuat ingatan Hardian kembali pada masa kecilnya. Sejak kecil ia memang sudah terlihat berbeda dengan anak seusianya. Ia lebih tertarik dengan hal yang dilakukan oleh orang dewasa, bahkan sangat senang mempelajari sesuatu yang rumit. Tak heran jika ia tergolong sebagai anak yang cerdas di lingkungannya. Kurniawan—ayah angkat Hardian—bukanlah tipe orang tua yang akrab dengan anak-anaknya, tetapi ia tidak juga membenci mereka. Alasan i
Ingin rasanya Hardian mengelak dari tuduhan Airel, tetapi ia tidak punya alasan untuk membantah. Membunuh Yofi memang bukan kemauannya. Itu adalah permintaan dari Juno. Seharusnya ia menargetkan Sukma terlebih dahulu. Namun, Juno memaksanya untuk merubah target dan ia pun harus melakukan hal tersebut. Saat itu Juno mengatakan bahwa Yofi akan mempersulit pergerakan mereka. Selain itu karakteristik yang dimiliki Yofi juga memiliki kemiripan dengan tulisan Hardian yang ada di buku merah—ahli menyamar dan penggemar Lupin—sehingga itu tidak akan terlihat berbeda dari rencana awal. Oleh karena itu, selain dari tekanan yang diberikan Juno, Hardian pun terpaksa setuju. Jika memang perkataan Juno benar, maka ia tidak ingin Yofi menjadi penghalang dalam eksekusi rencananya. "Kenapa kau bisa berkata demikian?" selidik Hardian sekaligus mencari celah untuk mengelak. "Karena aku tahu kau tidak bergerak sendirian.""Apa buktinya?" tantangnya lagi. "Kau bicara seperti itu seakan aku tidak mempers
Langkah-langkah ketakutan itu terus menyusuri jalanan yang remang. Tetap berlari adalah pilihan terakhir yang dapat mereka lakukan. Semakin lama dan semakin jauh jalan yang disusuri, tiga pasang kaki itu mulai lemah dan melambat. Wanita paruh baya yang memimpin lari itu semakin ketakutan. Ia takut terjadi sesuatu pada kedua anak kecil yang dipimpinnya. Napas kedua anaknya sudah terengah-engah. Mereka dipaksa berlari tanpa tahu batasnya oleh sang ibu. "Bu, aku capek. Kenapa harus berlari malam-malam begini?" "Kita tak mungkin berhenti, Nak. Bertahanlah!" "Bu, aku juga lelah," seru anak yang satunya lagi. "Sabar, Nak. Ibu—" DORRR. Belum selesai ia melanjutkan ucapannya, letupan pistol kentara berbunyi. Sebuah biji besi panas telah mendarat di punggung wanita itu sehingga membuat derap langkahnya terhenti. "IBUUU!" teriak kedua anak kembar itu saat melihat ibunya roboh. Wanita itu berusaha berbicara pada p
Hampir setengah jam Airel masih saja berdiri di dekat jendela. Tatapannya terpaku ke arah balik kaca. Ia melihat seorang lelaki beruban sedang berbicara dengan seorang kurir. Obrolan yang terlihat sangat intens. "Apa kau tidak punya kegiatan lain selain memperhatikan orang lain?" tanya Airen berjalan mendekati kakaknya. Airel tak menoleh, matanya tak mau lepas dari dua orang yang ia amati. Bukannya menjawab, ia malah balik bertanya. "Mana foto yang ingin kau mintai pendapat?" Airen menyembunyikan kamera yang ia bawa ke balik punggungnya. Ia memang sering meminta pendapat Airel mengenai koleksi jepretannya. Apalagi untuk dikirimkan ke media ataupun mengikuti lomba. "Bukan itu maksudku, aku hanya merasa sedikit heran dengan kebiasaan anehmu itu." Airel melayangkan pandangannya ke Airen seraya merapikan surai panjangnya yang tergerai, "Setelah delapan belas tahun kita hidup bersama, kau masih heran?" "Hem, oke. Aku tak mau berdeba
Si Kembar pikir pameran fotografi tahun ini akan terlihat mewah, tapi mungkin mereka akan sedikit kaget. Bagaimana tidak, setibanya di gedung Kartini—tempat diadakannya pameran—, netra mereka di sambut dengan kerumunan manusia. Ramainya di luar prediksi mereka. "Ramai sekali. Kurasa kita salah tempat. Kita bukan pergi ke tempat konser, kan?" ledek Airel. Airen tertawa, "Tentu saja tidak. Jangan mencoba untuk melucu." Ia mengeluarkan kameranya dan memulai mencari objek yang bisa difoto. "Ya, awalnya kukira ini menjadi acara yang elegan seperti tahun sebelumnya. Dulu tak seramai ini," timpal Airen lagi. "Kurasa ini hal yang wajar. Semua yang menyenangi fotografi pasti mau melihat secara langsung seorang legenda fotografer dunia." "Eh, maksudmu?" Airen heran. "Adwin Hugo ada di acara ini." "Candaanmu garing. Mana mungkin fotografer asal Afrika itu datang ke sini. Aku tidak mendapatkan info tentang itu." "Kau bisa memastika
Airel menyeruput cokelat panas yang telah dipesannya. Matanya melihat ke arah balik jendela yang terbias air hujan. Sedangkan Airen tampak senyum-senyum sendiri melihat foto-foto yang ada di kameranya. Ia begitu senang dapat mengabadikan gambar idolanya secara langsung. "Sudah setengah jam kita di sini. Apa kita harus tetap menunggunya?" tanya Airen memecah keheningan. Airel menyesap cokelatnya lagi, "Permintaan Paman adalah perintah." "Tapi—" "Tenang saja, aku tak masalah." Airel langsung memotong omongan adiknya. "Ya ... aku tau kebiasaan anehmu itu. Hanya saja dari tadi kerjaanmu menunggu dan terus menunggu. Apa kau tidak bosan?" "Bosan. Barusan saja terjadi. Bertahun-tahun aku mendengar pertanyaan sama dari orang yang sama." Airen paham sedang disindir kakaknya. "Lalu berapa lama lagi kita harus menunggu?" "Jika kau ingin pulang duluan, aku tak masalah jika harus menemuinya sendiri." "Dan kau tahu kan, aku t
"Apa sudah ada kabar dari Mira?" tanya Alfie saat Airel menyuguhkan cokelat hangat dan beberapa potong roti untuknya dan Airen.Airel menggeleng. "Kurasa hari ini dia akan mengabariku.""Hampir dua hari gadis ceroboh itu menghilang," gumam Airen. "Emm... Setidaknya membuatku lebih baik. Aku sedikit terganggu dengan orang yang terlalu mengikuti perasaannya."Senyum Airel merekah. Rona merah di pipi kentara di kulitnya yang terang. Ia merasa lucu setiap Airen berusaha menampakkan ketidaksukaannya terhadap kasus yang mereka hadapi. "Kurasa kau juga akan melakukan hal yang sama, jika kau kehilangan figurku. Mungkin lebih histeris."Airen mencebikkan bibir tipisnya. "Terserahlah," jawabnya malas.Drrrttt....Sebuah pesan singkat baru saja diterima Airel di ponselnya. Ia langsung membukanya."Sebuas pesan dari Mira," ucap Airel singkat."Apa isinya?" selidik Alfie."Kemarin sore dia ke rumah