Share

Kamu Ingin Aku Pergi?

“Apalagi? Aku sudah katakan bahwa aku tidak mencintaimu lagi. Sudah tidak ada perasaan apa pun lagi padamu.”

“Kenapa harus mengatakan begitu?”

“Kamu ingin pulang bukan? Ya sudah, kapan kamu akan pulang? Aku akan antarkan. Mau sekarang, ayo!”

“Bukan itu yang aku mau, Karan. Tidak ada seorang wanita yang ingin menghancurkan pernikahannya sendiri. Sudah cukup bagiku orang tuaku gagal dalam pernikahan, aku tidak berharap itu terjadi juga padaku.”

“Kamu tahu, lalu kenapa kamu meminta pulang? Sudahlah, sekarang terserah kamu. Aku sudah sangat kecewa padamu, kalau sudah kecewa ya sudah.”

Reina terdiam, bukan hanya Karan yang kecewa padanya. Reina juga sangat kecewa kepada Karan yang tidak pernah berusaha untuk memahami semua perkataannya. Bukan memperjuangkan pernikahan, atau berpikir tentang pernikahan mereka. Karan justru mengambil garis besar hubungan mereka, sebuah pilihan yang akan menyakiti keduanya dan anak-anak mereka.

Namun, sepertinya Karan tidak peduli dengan hal tersebut. Dia hanya berpikir tentang perasaannya saat itu saja, tidak berpikir apa yang akan terjadi ke depannya. Mata hatinya sudah benar-benar tertutup untuk sebuah maaf.

Segala upaya dilakukan oleh Reina tidak ada harganya bagi Karan. Hati Karan sudah mati untuk Reina, atau mungkin hanya emosi semata yang kelak akan disesalinya seumur hidup. Sebuah hubungan yang pernah mereka jalani, perjuangan keduanya untuk sampai ke pernikahan seakan hilang begitu saja.

“Aku minta maaf atas apa yang terjadi, tapi bukan perpisahan yang aku harapkan dari pernikahan kita. Aku ingin kita perbaiki pernikahan ini, kita perbaiki bersama-sama. Kita punya anak-anak yang membutuhkan keutuhan orang tuanya.”

“Tidak ada yang perlu diperbaiki, sudah cukup saja sampai di sini. Mereka anak-anakku, tidak perlu lagi kamu memikirkannya. Mereka bukan anak-anakmu, aku masih bisa mengurusi semua pekerjaan rumah dan juga mengurusi anak-anak seorang diri,” sembur Karan dengan nada tingginya.

“Bukan begini caranya, masalah kita ini masih bisa diselesaikan.”

“Tidak ada lagi yang perlu kita selesaikan, jika adanya anak-anak membuatmu terganggu menulis. Ya, sudah silakan saja. Sejak awal aku sudah katakan bahwa aku akan membebanimu, kamu justru menyanggupinya dan dengan alasan anak juga kamu mau menikah denganku. Kalau sekarang itu memberatmu, lebih baik kita akhiri saja. Aku tidak ingin membuatmu menangis setiap hari, itu akan menyakitkanmu dan menjadi dosa bagiku. Daripada kita saling melukai, lebih baik kita berpisah saja.”

“Karan, tolong jangan lakukan ini. Kasih aku kesempatan untuk memperbaiki segalanya, kita bisa memperbaiki ini. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapimu, tolong bertahan untuk pernikahan kita.”

Sesakit itu Reina melepaskan Karan dari hidupnya. Lelaki yang sebelumnya tidak dia cintai, tapi kini terasa sangat berat untuk dilepaskan begitu saja. Pernikahan yang baru berjalan empat puluh hari itu terasa berat untuk diakhiri sesingkat ini. Reina berusaha bicara agar pernikahannya bisa diselamatkan, tapi Karan tetap dengan egonya.

Mereka saling tatap, kedua mata itu bertemu dan semuanya masih tetap sama bagi Reina. Meskipun Karan begitu marah dan bicara dengan emosi, tapi dia tahu bahwa apa yang diucapkan itu tidak benar-benar keluar dari hatinya.  Reina masih berharap Karan menarik kembali ucapannya dan mempertahankan pernikahan mereka.

“Kalau begitu, kasih aku waktu tiga puluh hari saja untuk bertahan di rumah ini. Aku ingin tiga puluh itu melakukan segala hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri serta seorang ibu untuk anak dan suamiku. Jangan seperti ini, kamu mencuci baju sendiri, makanan yang aku masak tidak kamu makan. Aku ingin melakukan bakti untuk yang terakhir kalinya.”

“Kamu mau bertahan selamanya pun tidak masalah, cuma kita akan tetap begini. Kamu tidak perlu melakukan segalanya, kita seperti biasa saja aku yang masak dan aku bisa mencuci pakaianku sendiri. Aku tinggal makan apa yang ada di rumah ini, tidak perlu kusuruh makan.”

“Bagaimana aku bisa makan dengan nikmat, sedangkan hubungan kita begini? Bahkan satu suap nasi saja tidak bisa masuk ke mulutku.”

“Ya, begitu juga denganku. Kamu masak, tapi aku tidak bisa memakannya.”

“Kalau begitu, kasih aku kesempatan tiga puluh hari saja sebelum aku pulang. Tapi, selama tiga puluh hari itu aku ingin kamu mengecup keningku sebelum aku tidur dan sebelum kamu berangkat kerja. Hanya tiga puluh hari saja sebelum perpisahan kita.”

“Tidak, aku tidak mau. Jangankan untuk menyentuhmu, bahkan untuk menatapmu saja aku sudah tidak mau. Saat ini saja, aku tidak mau bicara berdua denganmu.”

Seketikan Reina terdiam, air matanya mengalir sangat deras di hadapan Karan. Tak sanggup dia menerima semua keadaan ini, hatinya sangat hancur dan kini cintanya telah memaksanya pergi. Rasanya sangat sesak, di saat dia dipaksa melepaskan seseorang padahal hatinya masih tetap ingin bertahan dengan orang tersebut.

Namun, bagaimanapun juga Reina hanyalah seorang wanita. Di saat suaminya berkata bahwa dia tidak lagi diinginkan dalam hidup suaminya, saat itulah Reina tidak memiliki alasan untuk bertahan di sana. Dia seperti wanita yang hidup, tapi sudah tiada bagi suaminya.

Meskipun Karan tidak meminta Reina pergi, dia masih ingin istrinya bertahan. Hanya saja dia tidak mampu mengucapkan hal itu, Reina tidak memahami kalimat suaminya. Rasa sakit itu membuat Reina berhenti untuk meminta dan mempertahankan Karan di hidupnya.

“Kamu ingin aku pergi dari sini?”

“Bukankah kamu yang meminta untuk pergi? Ya, sudah kalau memang mau pergi. Aku akan antarkan kamu pulang.”

Sekali lagi, Reina mengajukan pertanyaan yang sama, “kamu menyuruhku untuk pergi dari ini?”

“Tidak, tapi kamu kamu yang meminta untuk pergi dariku.”

“Baik, terima kasih untuk waktu dan kesempatan yang pernah kamu berikan. Terima kasih sudah berjuang untukku hingga kita sampai pada pernikahan. Terima kasih hari itu kamu sudah datang memenuhi janjimu menikahiku, semua yang kamu berikan dan kamu usahakan untukku. Maafkan atas kekuranganku, hanya ini yang bisa aku berikan dan maaf sudah mengecewakanmu.”

Reina beranjak, dia mengambil kopernya. Lalu mengemasi semua barang-barang miliknya. Sakit, berat dan semua perasaan itu campur aduk. Hatinya berat untuk pergi meninggalkan anak-anaknya, sebuah janji yang pernah dia ucapakan kepada anak-anak harus dia ingkari. Bukan keinginkan Reina, dia berharap Karan mencegahnya untuk pergi.

Sayangnya, tidak. Karan membiarkan Reina pergi, mengemasi semua barang tanpa berusaha memintanya bertahan. Sementara Reina membereskan barangnya, Karan memandaikan anak bungsunya yang sudah terbangun. Lalu mengantarkannya ke rumah mertuanya. Reina menangis, dia berusaha mencegah suaminya pergi. Tapi Karan tidak menoleh lagi meski hanya sekadar mengizinkan Reina berpamitan kepada anak gadisnya.

Reina tidak berhenti menangis, ia tidak dapat membayangkan bagaimana harus menjelaskan ini kepada kedua orang tuanya. Hidup Reina hancur, dia menatap seisi rumah yang pernah disinggahinya. Semua akan dia tinggalkan berserta orang di dalamnya. Berat melepaskan semua itu, tangis Reina pecah seraya memeluk erat pakaian suaminya.

“Maafkan Bunda, Nak. Maafkan Bunda karena mengingkari janji untuk bertahan dengan kalian. Maafkan Bunda karena tidak bisa menjaga dan menemani kalian lagi, maafkan Bunda karena tidak bisa memenuhi janji untuk terus membersamai kalian. Bahkan, ayah kalian tidak berusaha mencegah Bunda untuk pergi,” batin Reina seraya menyeka air matanya.

Bukan lagi hancur yang dirasakan Reina, pedih dan berantakan. Tidak ada sisa rasa Karan untuknya dan tidak ada usaha Karan untuk mempertahankan lagi pernikahan mereka. Semua yang terjadi seolah tidak berarti apapun lagi. Perjuangan Karan saat pertama kali datang ke rumah Reina dan perjuangan mereka untuk sampai ke hari pernikahan seolah tidak ada gunanya lagi saat ini.

“Bunda, Bunda mau ke mana?” Suara anak sulungnya mengejutkan Reina.

BERSAMBUNG...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status