Share

Melepaskanmu

Reina segera menghapus air matanya, dia memeluk Farhan dengan erat. Air matanya tidak mampu terbendung lagi, dia tidak sanggup membayangkan bahwa ini akan menjadi perjumpaan yang terakhir kali. Kebersamaan ini akan sirna dalam beberapa waktu lagi, dia akan kehilangan keluarga kecilnya.

Reina telah menghancurkan pernikahan impiannya sendiri. Pernikahan yang dia harapkan sekali seumur hidup, lelaki yang dipilihnya dari banyaknya lelaki datang menawarkan hubungan dengannya. Namun, kini lelaki itu pula yang berhasil merenggut harapan dan juga kepercayaannya kepada seorang lelaki.

Setelah hatinya dipatahkan oleh Karan, tidak tahu lagi kepada lelaki mana Reina akan percaya. Hatinya telah dipatahkan oleh sosok lelaki yang seharusnya menjadi cinta pertama anak perempuannya. Akan tetapi, Reina justru mendapat sebuah ketidakadilan darinya dan kini, dia juga dikecewakan oleh lelaki pilihannya.

Siapa lagi lelaki yang harus kupercaya setelah ini? Hatiku hancur kehilangan ayahku, kini hatiku kembali dihancurkan oleh sebuah kenyataan dan harapan baruku. Bagaimana aku bertahan lagi setelah ini?” batin Reina sesak mengingat semua yang terjadi.

Reina menyeka air matanya, dia tidak ingin melihat anaknya menyaksikan kehancuran sang ibunda. Farhan tidak tahu apa yang terjadi kepada kedua orang tuanya, meski dijelaskan pun dia tidak akan mengerti. Anak ini masih terlalu kecil untuk memahami segalanya.

“Nak, maafkan Bunda. Maafkan Bunda tidak bisa menemani kamu lagi di sini.”

“Bunda mau ke mana?”

“Bunda harus pulang, Nak. Tempat Bunda bukan di sini lagi, maafkan Bunda tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk kamu.”

Sekali lagi, Reina mendekap anak sulungnya. Cintanya Reina untuk anak-anak sangat besar, meski keduanya tidak terlahir dari rahimnya. Farhan hanya bingung, dia tidak mengerti dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang menangis dalam pelukkannya itu, entah sedang menangisi tentang apa.

Karan memanggil Farhan, dia sepertinya tidak ingin membiarkan Reina bersama anaknya. Hatinya hancur, tapi Reina tidak dapat berbuat apa pun. Setidaknya, Reina ingin menghabiskan banyak waktu untuk terakhir kalinya. Bagaimana pun juga, Farhan memang bukanlah anaknya.

Reina kembali menatap isi kamar, tempat yang biasa ia jadikan pelarian saat bertengkar dengan Karan. Tempat yang biasa ia gunakan untuk mengadukan masalahnya kepada Tuhan. Tempat ini juga yang biasa dia gunakan untuk menghabiskan malam bersama Karan.

“Nanti malam, kita akan dijemput,” ucap Karan seketika.

Reina hanya mengangguk seraya berkata, “ya,” jawabnya singkat.

Kata apalagi yang bisa Reina ucapkan selain itu, sebab dia tidak memiliki banyak pilihan. Karan sudah mengambil keputusan, bahwa dirinya tetap ingin berpisah dengan Reina tanpa ada toleransi lagi. Meski Reina berusaha mempertahankannya, tetap saja kunci utama dari perjalanan pernikahan ini adalah Karan.

Reina hanya duduk di ruang tengah usai membereskan pakaian dan semua barangnya. Tidak percaya bahwa dirinya dengan Karan akan berpisah dalam waktu secepat ini. Inginnya dia bertahan, tapi tidak mungkin bagi Reina untuk bertahan bersama lelaki yang tidak mau berusaha memperbaiki hubungan.

Jika tetap dilanjutkan pun, itu hanya akan membuat keadaan pernikahan semakin rumit. Mungkin orang hanya melihat sebuah keutuhan dalam pernikahan yang dia dengan Karan jalani, tetapi diantara keduanya tidak ada keharmonisan dan hanya akan menimbulkan banyak luka. Hubungan yang dipertahankan pun akan saling menyakiti satu sama lain.

“Bunda, kata ayah kita akan pulang ke rumah nenek.”

Reina mengangguk, “iya, Nak. Kita akan pulang, lebih tepatnya Bunda yang akan pulang selamanya. Bunda tidak bisa di sini lagi.”

“Tidak Bunda, kita akan pulang ke rumah ini lagi bersama. Aku nyaman di sini Bunda, ada Bunda, ayah, adik dan aku.”

“Suatu hari nanti kamu akan mengerti, Bunda tidak bisa di sini. Lebih tepatnya, ayah yang tidak menginginkan Bunda di sini lagi. Bunda sayang padamu dan adik, tapi ayah sudah tidak sayang Bunda lagi.”

“Tidak Bunda, ayah harus sayang dengan Bunda. Ayah tidak boleh marah pada Bunda.”

Sekali lagi, Reina hanya berusaha menahan tangisannya. Satu sisi hatinya dia sangat mencintai anak-anaknya, tapi di sisi lain dia tidak bisa menerima sikap ayahnya. Meskipun rasa cintanya kepada Karan sangat besar, bahkan dia tidak bisa mencintai dirinya sendiri melebihi cintanya kepada sang suami. Namun, semua itu tidak bisa menjadi alasan Reina untuk bertahan.

Bagaimanapun juga, Reina harus menyelamatkan psikologisnya. Mentalnya telah hancur, banyak air mata dan rasa sakit yang Karan sebabkan atas sikapnya. Bukan tindakan kekerasan, tapi bentakan dan sikap arogansi Karan membuat Reina tidak sanggup memberikan toleransi lagi.

Dia bisa saja bertahan untuk Karan dan anak-anak, tapi mentalnya akan hancur. Reina harus belajar untuk pergi meninggalkan sesuatu hal kecil yang akan menggerogoti jiwanya. Baginya, cinta kepada Karan mengajarkan dia tingkat tertinggi dalam mencintai, yaitu melepaskannya. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dipaksa untuk melepaskan padahal masih begitu diinginkan.

“Maafkan Bunda, Nak. Mungkin, kamu memerlukan bunda lain yang lebih baik dari Bunda-mu ini.”

“Tidak, aku tidak mau. Aku mau Bunda, aku tidak mau memiliki Bunda baru.”

“Nak, dengarkan! Apa pun yang terjadi setelah ini, percayalah bahwa Bunda akan selalu mencintaimu dan menyayangimu.”

“Kalau Bunda tidak ada, dengan siapa aku belajar?”

“Ada ayah yang akan menemanimu.”

“Tidak mau, ayah suka marah-marah.”

“Nak, ayah tidak marah. Apa pun yang ayah lakukan demi kebaikan kamu, ayah sangat mencintaimu. Ingat kata-kata Bunda! Kamu harus patuh kepada ayah, jangan banyak membantah. Doa Bunda akan selalu menemanimu, meski Bunda tidak lagi di sini.”

Reina berusaha kuat demi anaknya, dia tidak dapat menjelaskan betapa hancur hatinya harus melepaskan hubungan pernikahan ini. Meninggalkan anak-anaknya, meninggalkan lelaki yang sudah mulai dicintainya. Cinta yang tumbuh dalam pernikahan itu sudah mulai merekah, tapi Reina harus dipukul oleh kenyataan yang memaksanya pergi.

Perpisahan memanglah bukan sebuah solusi dalam menyelesaikan masalah. Akan tetapi, Reina sadar bahwa teori pernikahan yang dia pelajari selama ini tidak mudah untuk dipraktekkan begitu saja. Bagaimana dia dapat menjalankan semuanya, jika dia berhadapan dengan lelaki yang tidak dapat memahami ucapannya.

Tidak, bukan Karan tidak memahaminya. Akan tetapi, hati Karan baru saja hancur dipukul oleh kenyataan bahwa istrinya pergi meninggalkannya dirinya dengan anak-anak diusia pernikahan menginjak tujuh tahun. Reina tidak sedang berhadapan dengan lelaki biasa, tetapi dia berhadapan dengan lelaki yang sedang sakit jiwanya. Bukan tidak waras ataupun gila, tapi Karan belum sepenuhnya merelakan kepergian sang istri dan meninggalkan dua anak yang masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu.

“Aku yang salah, seharusnya aku menyembuhkan lukanya bukan memaksanya untuk mencintaiku dan menerimaku. Tetapi semua telah terlambat untuk kupahami, Karan sudah sangat kecewa dan aku tidak bisa merubah keadaan. Rela ataupun tidak, kulepaskan dia demi kebahagiaannya, jika bersamaku tidak membuatnya bahagia. Maafkan aku,” lirih Reina dalam hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status