"Apa yang kau lakukan!?" Anjas segera mendorong tubuh Dimas hingga terjatuh ke lantai.
Sementara itu salah satu karyawan wanita yang terbaring di lantai segera bangkit dan merapikan pakaiannya. Rambutnya berantakan dengan beberapa bagian baju yang sobek.Dari arah belakang terdengar suara seseorang sedang berlari mendekat. Dina, sang adik yang datang dengan napas tersengal."Mas Dimas nggak papa?" tanya Dina dengan wajah khawatir."Nggak papa!? Lihat apa yang dia perbuat!" Amarah Anjas meletup sudah.Bisa-bisanya di kantornya ada tindak asusila dan pelakunya adalah putranya sendiri. Mau di taruk dimana muka Anjas jika sampai berita ini menyebar luas?"Ini jebakan! Dia yang mau menjebak Mas Dimas Pak!" ucap Dina dengan suara terisak.Dimas segera bangkit, ujung jarinya membersihkan cairan merah di ujung bibirnya. Rasa perih ini tidak sebanding rasa malunya."Wanita ini suka sama Mas Dimas, Pak! Aku yakin ini jebMobil mewah berwarna hitam berhenti di parkiran. Mawar turun lebih dulu sambil membawa parcel buah, di susul oleh Agung dan Dimas. Jantung Mawar berdebar kencang, dia tidak menyangka penantiannya selama ini akhirnya selesai. Berulangkali dia menghapus air mata yang terus menyelip di ujung matanya.Agung melangkah menuju salah satu kamar. Mata Mawar berbinar ketika menatap pintu yang perlahan kian dekat. Agung masuk di susul oleh Dimas. Terdengar suara Anjas yang menyapa kedua putranya.Mawar menarik napas panjang sebelum mengayunkan langkahnya memasuki ruangan itu. "Selamat siang Pak Anjas, saya Mawar sekertaris Pak Agung," ucap Mawar memperkenalkan diri, kepalanya masih tertunduk."Ya, saya sudah tau. Apakah ada meeting?" tanya Anjas melempar pandangan ke arah Agung dan Dimas. Tidak biasanya putranya itu mengajak karyawannya ke lingkungan pribadinya."Mawar ingin menjenguk Ibu, jadi aku bawa dia kesini," jawab Agung terbata."Menjenguk Ibu!?" ulang Anjas sambil menautkan alis.Sua
Melati duduk bersandar di ranjangnya. Matanya terus menatap pria yang masih terbaring lemah di hadapannya. Hatinya teriris melihat pemandangan ini, mungkin benar apa kata orang tuanya dulu. Dia hanyalah pembawa sial bagi orang di sekitarnya.Suara hentakan langkah kaki mendekat, pintu terbuka. Ada tiga orang dengan jas putih masuk ke dalam ruangan. Mereka memeriksa Bagus terlebih dahulu."Pagi mbok, bagaimana Mas Bagus?" sapa dokter dengan pin nama Andrian di jasnya. Si Mbok hanya bisa menggelengkan kepalanya. Mata senja itu mulai berkaca. Pria yang memakai jas putih dan kaca mata menghiasi wajahnya itu menepuk lembut pundak Si mbok."Nggak papa, nanti kita periksa ulang ya. Jangan sedih Mbok," ucap Andrian melempar senyum teduh.Sementara dua perawat memeriksa dan memberi obat pada Bagus, Andrian mendekati Melati yang masih duduk termenung."Bagaimana kepalanya? Masih sakit?" tanya Andrian penuh perhatian."Sudah sedikit berkurang dok, kapan saya pulang?" jawab Melati pelan."Seger
Bunyi alat detak jantung berbunyi nyaring seolah memanggil malaikat maut saat ini juga. Para tenaga medis berhamburan memasuki ruang ICU. Anjas melangkah memasuki ruangan, namun seorang perawat menghadangnya."Bapak tunggu diluar!" ucap perawat sebelum menutup pintu.Dada Anjas kian sesak melihat para tenaga medis mulai menutup kelambu dan menyalakan lampu operasi. Waktu berputar begitu lambat bagi Anjas kali ini.Belum selesai dengan kecemasannya, seorang perawat yang lain datang dari balik pintu. Dia membawa papan dada yang berisi banyak lembaran kertas putih."Bapak Anjas! Keluarga Mas Bagus dan Mbak Melati?" lanjut perawat itu menyapu pandangan ke semua orang yang berdiri di depan pintu ruang ICU.Kaki Anjas terasa lemas saat mendengar nama yang baru saja disebut. Pria itu menoleh kebelakang dan berusaha sekuat tenaga menyeret kakinya mendekati perawat tersebut."Saya Sus," "Mas Bagus dan Mbak Melati sudah di pindah ke ruangan. Mari saya antar," ucap suster tersebut memutar langk
Mawar merebahkan tubuhnya di atas kasur. Matanya masih menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Kejadian yang baru saja terjadi menyita semua tenaga dan perasaannya.Bisa-bisanya sang Kakak tinggal dengan orang mesum seperti atasannya itu. Dia tidak bisa membayangkan jadi sang Kakak, akan jadi apa nanti?Sudah satu bulan Mawar menjadi asisten pribadi Agung. Tapi tidak sedikitpun dia mendengar kabar tentang sang Kakak. Dia juga mencari info tentang pernikahan kedua Pak Anjas, namun hasilnya tetap nihil."Mbak Melati, kamu dimana sih? Aku capek banget!" Buliran air mata kembali membasahi pipi putih bersih Mawar."Aku nggak boleh menyerah, aku harus bertemu Mbak Melati dan membawanya kabur." mawar bangkit dan mengusap lembut wajahnya yang mulai berantakan....Udara pagi begitu segar dan memanjakan mata. Langit berwarna jingga, udara begitu sejuk walau sedikit dingin. Sri memakai jaket tebal dan duduk di balkon menatap jauh lautan yang begitu tanang.Dia mengeluarkan sebuah kertas d
"Apa yang kau lakukan!?" Anjas segera mendorong tubuh Dimas hingga terjatuh ke lantai. Sementara itu salah satu karyawan wanita yang terbaring di lantai segera bangkit dan merapikan pakaiannya. Rambutnya berantakan dengan beberapa bagian baju yang sobek.Dari arah belakang terdengar suara seseorang sedang berlari mendekat. Dina, sang adik yang datang dengan napas tersengal."Mas Dimas nggak papa?" tanya Dina dengan wajah khawatir."Nggak papa!? Lihat apa yang dia perbuat!" Amarah Anjas meletup sudah.Bisa-bisanya di kantornya ada tindak asusila dan pelakunya adalah putranya sendiri. Mau di taruk dimana muka Anjas jika sampai berita ini menyebar luas?"Ini jebakan! Dia yang mau menjebak Mas Dimas Pak!" ucap Dina dengan suara terisak.Dimas segera bangkit, ujung jarinya membersihkan cairan merah di ujung bibirnya. Rasa perih ini tidak sebanding rasa malunya."Wanita ini suka sama Mas Dimas, Pak! Aku yakin ini jeb
Di sebuah gazebo di pinggir pantai, Melati dan Bagus duduk melihat deburan ombak yang begitu tenang. Keduanya menatap jauh ke arah lautan, berperang dengan pemikiran masing-masing."Apakah tidak ada cara untuk menyembuhkan penyakit Bu Sri? Keluar negeri contohnya," ucap Melati memecah keheningan. "Sudah, tapi ibu nggak mau." Bagus masih melihat ombak tepi pantai."Alasannya?" Melati menatap Bagus."Ibu nggak mau buang-buang waktu, toh penyakit itu sudah lama dan sangat minim untuk sembuh," jawab Bagus dengan menggeleng kepalanya pelan."Kami sudah beberapa kali meyakinkan Ibu untuk mau berobat. Tapi dia tetap bersikukuh pada pendiriannya, malah yang aku dengar dia sudah menyiapkan ibu tiri untuk kami," ucap Bagus tersenyum kecut.Mendengar itu seketika kerongkongan Melati terasa kering. Dia segera meraih cangkir yang berisi wedang uwuh di sampingnya.Tangannya gemetar dan tidak bisa memegang cangkir dengan benar, sehing