Melati harus pasrah akan keputusan kedua orang tuanya untuk menjadikan dirinya istri salah satu orang terkaya di kota. Kedua orangtuanya, memiliki hutang yang cukup besar. Dengan berat hati dia menerima semuanya, toh selama ini dirinya hanya di anggap pembantu di rumah tersebut. Sejak pernikahan kedua Ayahnya, dia tidak pernah memiliki kehidupan yang layak. Namun, siapa sangka dia malah menjadi istri kedua. Pernikahan kedua yang telah di siapkan oleh istri pertama calon suaminya. Anjasmoro, pria yang memiliki umur 20 tahun lebih tua darinya. Dia akan menjadi istri keduanya. Akan tetapi takdir begitu rumit saat Melati tinggal lebih lama di rumah Anjasmoro. Status Melati masih di sembunyikan dan inilah awal kehancuran keluarga Anjasmoro. Salah satu putranya mencintai Melati, lalu menolak keras pernikahan Ayahnya. Mungkinkah pernikahan itu akak tetap terjadi?
Lihat lebih banyak"Mau atau tidak, kau harus mau menikah dengan Pak Anjasmoro!" suara monoton itu masih terngiang di telinga Melati.
Melati duduk di ranjangnya. Buliran bening terus mengalir di pelupuk matanya. Dia tidak percaya hidupnya akan hancur secepat ini. Setelah penikahan kedua Papanya, dia pikir wanita yang selama ini di anggap baik ternyata malah menjadi mimpi buruknya, Tante Mira. Wanita yang baru saja satu tahun masuk kedalam kehidupannya dan berhasil merusak semua mimpinya. "Sudah terima saja saran dari Papa, Pak Anjasmoro itu orang kaya. Kamu akan hidup bahagia di sana," ucap Mira mengelus pucuk kepala Melati. Mulut Melati hanya mengatup rapat mendengar ucapan Wanita dengan muka dua di depannya. Terima, bagaimana bisa dia menerima pria yang akan menjadi suaminya dengan jarak umur cukup jauh? 20 tahun lebih tua. Pria yang lebih pantas dia panggil Papa, malah akan menjadi suaminya. Bisakah dia menjalani sebuah pernikahan seperti ini? "Maa, aku pegen sendiri." Melati memalingkan wajahnya. Hatinya terlalu pedih saat melihat Mira. Mira bangkit dari ranjang dan melangkah keluar. Wanita itu duduk di sofa ruang tamu. Pak Joko, Papa Melati sedang asik membaca koran di temani oleh secangkir kopi hitam yang di hiasi asap tipis. Wajahnya begitu tenang. Tidak sedikitpun kesedihan saat melihat putrinya hancur. malah semua beban di pundaknya ringan seketika. Hutang yang menumpuk membuatnya kelabakan satu tahun belakangan ini. Namun orang kaya datang dan merubah semuanya. Hutangnya udah lunas dengan mengorbankan satu putrinya. "Papa tega banget, Pak Anjasmoro itu lebih pantas jadi Papaku. Bukan suami Kak Melati." perotes Mawar yang baru saja tiba. Mawar, Adik yang sangat menyayangi Melati. Sangat jauh di banding saudara tiri lainnya. Walaupun Mawar hadir dari rahim Mira, dia tidak pernah setuju dengan sikap Mamanya yang selalu menyiksa Melati. "Mama juga, pasti Mama kan yang punya ide gila ini!?" Jari telunjuk Mawar mengarah ke Mira yang asik memainkan ponselnya. Mira menaruh benda pipih di meja dan menatap tajam putri yang amat dia bangakan. Kulitnya yang putih bersih, otak cerdas dan paras cantik menawan. Penampilannya jauh lebih gemerlap dari Melati. "Kamu taukan bagaimana kondisi keuangan keluarga kita. Kalau nggak karena Pak Anjasmoro kamu nggak akan bisa lanjut kuliah," ucap Mira enteng. "Melati sudah waktunya menikah. Mana ada pria yang mau menikahinya selain Pak Anjasmoro. Lagian dia juga kaya, masa depan Melati pasti terjamin," timpal Pak Joko. "Dengan pria umur lima puluh tahun!? Papa sama Mama sudah gila!" Mawar menghentak kakinya dan melangkah menuju kamar Melati. Mawar membuka pintu dan memeluk Kakaknya yang masih terisak. Dulu mereka saling di banding-bandingkan. Tapi Melai tidak pernah ada rasa iri sedikitpun. Terutama saat Mawar kuliah di universitas terbaik, sedangkn Melati hanya berhenti setelah lulus bangku SMA. Melati tetap baik hati pada Mawar. bahkan sering kali mereka belajar bersama saat Mawar libur kuliah dan pulang ke rumah. "Ayo kita kabur Kak, kita harus pergi dari sini," ucap Mawar melepas pelukannya dan mengambil koper dari atas lemari. Melati hanya diam. Dia masih duduk bersandar di ranjang. Sedangkan Mawar mengeluarkan baju dari lemari dan menaruhnya ke dalam koper. "Aku nggak rela Kakak nikah sama kakek-kakek itu. Masa depan Kakak masih panjang, bukankah Kakak mau jadi dokter kan? Ingat cita-cita Kakak," ucap Mawar sambil sibuk membereskan baju. Melati mengerti bagaimana perasaan Mawar saat ini. Dia juga memikirkan hal yang sama saat pertama kali dirinya mendengarkabar perjodohan. Namun apa boleh buat, tidak ada jalan lain selain pernikahan ini. "Sudah Dek, Kakak ikhlas kok. Kan udah ada kamu yang ngelanjutin cita-cita Kakak," ucap Melati meraih tangan Mawar. Menghentikan aktifitasnya mengemasi barang. "Sampai kapan Kakak terus seperti ini? Kakak juga berhak bahagia dan menentukan pilihan. Tidak pasrah seperti ini," bentak Mawar. "Aku masuk fakultas kedokteran cuma gara-gara Kakak, aku bisa masuk jurusan lain kalau nggak mikirin Kakak. Sekarang Kakak mau pengorbananku sia-sia?" lanjut mawar menagkup wajah Melati. Jauh dari lubuk hati terdalam. Mawar sangat ingin mendalami hobinya dan masuk ruang desain. Tapi dia tdak tega melihat Melati yang selalu mengubur mimpi karena ulah kedua orangtuanya. Mereka selalu mengutamakan Mawar. padahal Melati lebih kopenten dalam pendidikan. Hal ini membuat Mawar sering tak enak hati. "Kau bisa keluar dan ganti jurusan. Asal jangan putus sekolah. Kau harus menajadi orang sukses agar keluarga kita tidak selamaya terpuruk seperti ini." Melati melepaskan tangan Mawar di wajahnya. "Nggak, ngak boleh seperti ini! KIta harus pergi. Aku bisa cari jalan keluarnya. Aku juga nggak masalah harus putus kuliah. Aku bisa daftar lagi setelah tabunganku cukup. Ayo Kak, kita harus kabur!" "Melati siap-siap ya, supir Tuan Anjasmoro akan datang untuk menjemputmu," ucap Mira yang berdiri di depan pintu. "Apa!?" Mawar membeku saat medengar ucapan Mamanya. Air mata gadis itu mengalir semakin deras. Melati hanya mengangguk pelan. Dia memasukkan beberapa pakaian di koper dan menutup koper tersebut. wanita itu tersenyum teduh menatap Mawar yang masih membatu. "Kakak berangkat dulu, jaga dirimu dan jangan manja-manjaan lagi, oke." Melati memeluk Mawar sesaat. Mawar berdiri di ambang pintu dan membentangkan tangannya. Dia masih tidak rela melihat Kakaknya menghancurkan masa depannya sendiri. Mira menarik tangan Mawar. Mencoba menghentikan tingkah perotes putrinya. Dia tidak mengira setelah apa yang dia berikan, Mawar malah lebih membela Melati. Suara Klakson mobil terdengar. Mobil yang menjemput Melati sudah datang. Mawar semakin mempererat cengkramannya di daun pintu. Dia menutup pintu dan menguncinya. Mira mengetuk keras pintu dan sesekali mendobraknya. Wanita itu memanggil sang suami, meminta tolong agar segera membuka pintu. Uang sudah di depan mata. Dia tidak mau ulah Mawar menghancurkan semua rencana yang sudah di atur rapi. "Lewat jendela, ayo Kak aku bantu. Kakak harus pergi sekarang." Mawar menarik tangan Melat mendekati jendela. "Tidak perlu Dek. Kakak akan bahagia di sana. Bukankah kau juga bilang, kita harus punya suami kaya raya. Kalau nggak cocok tinggal diracun sianida bukan?" Terukir tawa yang dihiasi air mata. "Di saat seperti ini Kakak masih bisa bercanda?" "Semua yang terlihat buruk, tidak selamanya buruk Sayang. Kakak yakin akan mendapatkan kebahaiaan disana. Bukankah semuanya tergantung apa yang kita pikirkan? Kau harus menghargai keputusan terakhir Kakak." Melati memeluk adiknya sesaat dan mula menarik koper keluar kamar. Melati menghapus air mata dan merapikan penampilannya. Di ruang tamu sudah ada dua orang yang menantikanya. Matanya membulat, seketka hatinya hancur ketika melihat dua orang tersebut. "Apakah dia benar calon suamiku?"Mobil mewah berwarna hitam berhenti di parkiran. Mawar turun lebih dulu sambil membawa parcel buah, di susul oleh Agung dan Dimas. Jantung Mawar berdebar kencang, dia tidak menyangka penantiannya selama ini akhirnya selesai. Berulangkali dia menghapus air mata yang terus menyelip di ujung matanya.Agung melangkah menuju salah satu kamar. Mata Mawar berbinar ketika menatap pintu yang perlahan kian dekat. Agung masuk di susul oleh Dimas. Terdengar suara Anjas yang menyapa kedua putranya.Mawar menarik napas panjang sebelum mengayunkan langkahnya memasuki ruangan itu. "Selamat siang Pak Anjas, saya Mawar sekertaris Pak Agung," ucap Mawar memperkenalkan diri, kepalanya masih tertunduk."Ya, saya sudah tau. Apakah ada meeting?" tanya Anjas melempar pandangan ke arah Agung dan Dimas. Tidak biasanya putranya itu mengajak karyawannya ke lingkungan pribadinya."Mawar ingin menjenguk Ibu, jadi aku bawa dia kesini," jawab Agung terbata."Menjenguk Ibu!?" ulang Anjas sambil menautkan alis.Sua
Melati duduk bersandar di ranjangnya. Matanya terus menatap pria yang masih terbaring lemah di hadapannya. Hatinya teriris melihat pemandangan ini, mungkin benar apa kata orang tuanya dulu. Dia hanyalah pembawa sial bagi orang di sekitarnya.Suara hentakan langkah kaki mendekat, pintu terbuka. Ada tiga orang dengan jas putih masuk ke dalam ruangan. Mereka memeriksa Bagus terlebih dahulu."Pagi mbok, bagaimana Mas Bagus?" sapa dokter dengan pin nama Andrian di jasnya. Si Mbok hanya bisa menggelengkan kepalanya. Mata senja itu mulai berkaca. Pria yang memakai jas putih dan kaca mata menghiasi wajahnya itu menepuk lembut pundak Si mbok."Nggak papa, nanti kita periksa ulang ya. Jangan sedih Mbok," ucap Andrian melempar senyum teduh.Sementara dua perawat memeriksa dan memberi obat pada Bagus, Andrian mendekati Melati yang masih duduk termenung."Bagaimana kepalanya? Masih sakit?" tanya Andrian penuh perhatian."Sudah sedikit berkurang dok, kapan saya pulang?" jawab Melati pelan."Seger
Bunyi alat detak jantung berbunyi nyaring seolah memanggil malaikat maut saat ini juga. Para tenaga medis berhamburan memasuki ruang ICU. Anjas melangkah memasuki ruangan, namun seorang perawat menghadangnya."Bapak tunggu diluar!" ucap perawat sebelum menutup pintu.Dada Anjas kian sesak melihat para tenaga medis mulai menutup kelambu dan menyalakan lampu operasi. Waktu berputar begitu lambat bagi Anjas kali ini.Belum selesai dengan kecemasannya, seorang perawat yang lain datang dari balik pintu. Dia membawa papan dada yang berisi banyak lembaran kertas putih."Bapak Anjas! Keluarga Mas Bagus dan Mbak Melati?" lanjut perawat itu menyapu pandangan ke semua orang yang berdiri di depan pintu ruang ICU.Kaki Anjas terasa lemas saat mendengar nama yang baru saja disebut. Pria itu menoleh kebelakang dan berusaha sekuat tenaga menyeret kakinya mendekati perawat tersebut."Saya Sus," "Mas Bagus dan Mbak Melati sudah di pindah ke ruangan. Mari saya antar," ucap suster tersebut memutar langk
Mawar merebahkan tubuhnya di atas kasur. Matanya masih menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Kejadian yang baru saja terjadi menyita semua tenaga dan perasaannya.Bisa-bisanya sang Kakak tinggal dengan orang mesum seperti atasannya itu. Dia tidak bisa membayangkan jadi sang Kakak, akan jadi apa nanti?Sudah satu bulan Mawar menjadi asisten pribadi Agung. Tapi tidak sedikitpun dia mendengar kabar tentang sang Kakak. Dia juga mencari info tentang pernikahan kedua Pak Anjas, namun hasilnya tetap nihil."Mbak Melati, kamu dimana sih? Aku capek banget!" Buliran air mata kembali membasahi pipi putih bersih Mawar."Aku nggak boleh menyerah, aku harus bertemu Mbak Melati dan membawanya kabur." mawar bangkit dan mengusap lembut wajahnya yang mulai berantakan....Udara pagi begitu segar dan memanjakan mata. Langit berwarna jingga, udara begitu sejuk walau sedikit dingin. Sri memakai jaket tebal dan duduk di balkon menatap jauh lautan yang begitu tanang.Dia mengeluarkan sebuah kertas d
"Apa yang kau lakukan!?" Anjas segera mendorong tubuh Dimas hingga terjatuh ke lantai. Sementara itu salah satu karyawan wanita yang terbaring di lantai segera bangkit dan merapikan pakaiannya. Rambutnya berantakan dengan beberapa bagian baju yang sobek.Dari arah belakang terdengar suara seseorang sedang berlari mendekat. Dina, sang adik yang datang dengan napas tersengal."Mas Dimas nggak papa?" tanya Dina dengan wajah khawatir."Nggak papa!? Lihat apa yang dia perbuat!" Amarah Anjas meletup sudah.Bisa-bisanya di kantornya ada tindak asusila dan pelakunya adalah putranya sendiri. Mau di taruk dimana muka Anjas jika sampai berita ini menyebar luas?"Ini jebakan! Dia yang mau menjebak Mas Dimas Pak!" ucap Dina dengan suara terisak.Dimas segera bangkit, ujung jarinya membersihkan cairan merah di ujung bibirnya. Rasa perih ini tidak sebanding rasa malunya."Wanita ini suka sama Mas Dimas, Pak! Aku yakin ini jeb
Di sebuah gazebo di pinggir pantai, Melati dan Bagus duduk melihat deburan ombak yang begitu tenang. Keduanya menatap jauh ke arah lautan, berperang dengan pemikiran masing-masing."Apakah tidak ada cara untuk menyembuhkan penyakit Bu Sri? Keluar negeri contohnya," ucap Melati memecah keheningan. "Sudah, tapi ibu nggak mau." Bagus masih melihat ombak tepi pantai."Alasannya?" Melati menatap Bagus."Ibu nggak mau buang-buang waktu, toh penyakit itu sudah lama dan sangat minim untuk sembuh," jawab Bagus dengan menggeleng kepalanya pelan."Kami sudah beberapa kali meyakinkan Ibu untuk mau berobat. Tapi dia tetap bersikukuh pada pendiriannya, malah yang aku dengar dia sudah menyiapkan ibu tiri untuk kami," ucap Bagus tersenyum kecut.Mendengar itu seketika kerongkongan Melati terasa kering. Dia segera meraih cangkir yang berisi wedang uwuh di sampingnya.Tangannya gemetar dan tidak bisa memegang cangkir dengan benar, sehing
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen