Di sebuah gazebo di pinggir pantai, Melati dan Bagus duduk melihat deburan ombak yang begitu tenang. Keduanya menatap jauh ke arah lautan, berperang dengan pemikiran masing-masing.
"Apakah tidak ada cara untuk menyembuhkan penyakit Bu Sri? Keluar negeri contohnya," ucap Melati memecah keheningan."Sudah, tapi ibu nggak mau." Bagus masih melihat ombak tepi pantai."Alasannya?" Melati menatap Bagus."Ibu nggak mau buang-buang waktu, toh penyakit itu sudah lama dan sangat minim untuk sembuh," jawab Bagus dengan menggeleng kepalanya pelan."Kami sudah beberapa kali meyakinkan Ibu untuk mau berobat. Tapi dia tetap bersikukuh pada pendiriannya, malah yang aku dengar dia sudah menyiapkan ibu tiri untuk kami," ucap Bagus tersenyum kecut.Mendengar itu seketika kerongkongan Melati terasa kering. Dia segera meraih cangkir yang berisi wedang uwuh di sampingnya.Tangannya gemetar dan tidak bisa memegang cangkir dengan benar, sehingMawar merebahkan tubuhnya di atas kasur. Matanya masih menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Kejadian yang baru saja terjadi menyita semua tenaga dan perasaannya.Bisa-bisanya sang Kakak tinggal dengan orang mesum seperti atasannya itu. Dia tidak bisa membayangkan jadi sang Kakak, akan jadi apa nanti?Sudah satu bulan Mawar menjadi asisten pribadi Agung. Tapi tidak sedikitpun dia mendengar kabar tentang sang Kakak. Dia juga mencari info tentang pernikahan kedua Pak Anjas, namun hasilnya tetap nihil."Mbak Melati, kamu dimana sih? Aku capek banget!" Buliran air mata kembali membasahi pipi putih bersih Mawar."Aku nggak boleh menyerah, aku harus bertemu Mbak Melati dan membawanya kabur." mawar bangkit dan mengusap lembut wajahnya yang mulai berantakan....Udara pagi begitu segar dan memanjakan mata. Langit berwarna jingga, udara begitu sejuk walau sedikit dingin. Sri memakai jaket tebal dan duduk di balkon menatap jauh lautan yang begitu tanang.Dia mengeluarkan sebuah kertas d
"Apa yang kau lakukan!?" Anjas segera mendorong tubuh Dimas hingga terjatuh ke lantai. Sementara itu salah satu karyawan wanita yang terbaring di lantai segera bangkit dan merapikan pakaiannya. Rambutnya berantakan dengan beberapa bagian baju yang sobek.Dari arah belakang terdengar suara seseorang sedang berlari mendekat. Dina, sang adik yang datang dengan napas tersengal."Mas Dimas nggak papa?" tanya Dina dengan wajah khawatir."Nggak papa!? Lihat apa yang dia perbuat!" Amarah Anjas meletup sudah.Bisa-bisanya di kantornya ada tindak asusila dan pelakunya adalah putranya sendiri. Mau di taruk dimana muka Anjas jika sampai berita ini menyebar luas?"Ini jebakan! Dia yang mau menjebak Mas Dimas Pak!" ucap Dina dengan suara terisak.Dimas segera bangkit, ujung jarinya membersihkan cairan merah di ujung bibirnya. Rasa perih ini tidak sebanding rasa malunya."Wanita ini suka sama Mas Dimas, Pak! Aku yakin ini jeb
Di sebuah gazebo di pinggir pantai, Melati dan Bagus duduk melihat deburan ombak yang begitu tenang. Keduanya menatap jauh ke arah lautan, berperang dengan pemikiran masing-masing."Apakah tidak ada cara untuk menyembuhkan penyakit Bu Sri? Keluar negeri contohnya," ucap Melati memecah keheningan. "Sudah, tapi ibu nggak mau." Bagus masih melihat ombak tepi pantai."Alasannya?" Melati menatap Bagus."Ibu nggak mau buang-buang waktu, toh penyakit itu sudah lama dan sangat minim untuk sembuh," jawab Bagus dengan menggeleng kepalanya pelan."Kami sudah beberapa kali meyakinkan Ibu untuk mau berobat. Tapi dia tetap bersikukuh pada pendiriannya, malah yang aku dengar dia sudah menyiapkan ibu tiri untuk kami," ucap Bagus tersenyum kecut.Mendengar itu seketika kerongkongan Melati terasa kering. Dia segera meraih cangkir yang berisi wedang uwuh di sampingnya.Tangannya gemetar dan tidak bisa memegang cangkir dengan benar, sehing
Malam tiba. Bu Asih sudah siap dengan makan malamnya. Anggota keluarga Anjas sudah siap makan malam dan duduk di kursi masing-masing. Di saat seperti ini jantung Melati selalu berdebar, menerka apa yang akan terjadi nanti.Bu Sri sering sekali memberi kejutan saat acara makan bersama. Entah itu makan malam, ataupun sarapan. Jika di suruh memilih, Melati ingin di kamar saja."Jangan canggung, kamu kan sudah ikut kita lama." Bu Sri melempar senyum teduh ke Melati agar wanita itu tidak canggung"Maaf Bu, tempatnya masih asing." Melati tersenyum kikuk."Nanti kita jalan-jalan. Kamu pasti suka sama tempat ini," ucap Bu Sri penuh semangat."Bagus, ajak Melati jalan-jalan!" sahut Pak Anjas dengan suara datar."Inggih pak," jawab bagus penuh semangat.Tau apa yang di rencanakan sang istri, Anjas memutuskan untuk melangkah lebih awal. DIa tidak mau Sri memegang kendali lagi dengan hubungan tak wajar ini.Sri menoleh ke a
Bu Asih, istri Pak Tarno mengantar Melati menuju kamarnya. Bangunan ini adalah bangunan kuno seperti peninggalan Belanda. Tembok putih bersih terawat, beberapa lukisan Noni Belanda, dan beberapa furniture antik. Langkah Bu Asih berhenti di depan sebuah kamar. "Ini kamar Non, kalau butuh apa-apa bisa panggil saya lewat bel yang berada di dekat ranjang," ucap Bu Asih penuh hormat."Saya pembantunya Bu Sri, jangan panggil Saya Non Bu. Panggil Melati saja," ucap Melati sungkan."Mboten nopo-nopo Non. Jangan takut tinggal disini ya Non, nuansanya memang sedikit seram, tapi saya jamin rumah ini bersih kok." Bu Asih tersenyum teduh."Mboten kok Bu, rumah ini nyaman. Saya nggak takut," jawab Melati sedikit ragu.Melati melangkah memasuki kamar. Melihat dekorasi kamar, sepertinya Bu Sri memang suka dengan Style Belanda. Ranjang di kamar ini terdapat kelambu yang menggantung indah dan sprei yang memiliki renda. Semua ini mengingatkannya tentang fi
Pagi itu Sri sudah siap dengan dua kopernya. Hari ini adalah hari yang paling dia tunggu. Semakin Anjas menolak rencananya, maka semakin kukuh pendiriannya untuk menyiapkan pernikahan kedua suaminya.Suara pintu di ketuk. "Masuk!" ucap Sri dengan suara lembut.Melati masuk, Sri dapat melihat ada keraguan di wajah wanita polos tersebut. Melati masuk dan duduk di samping Sri."Bu, Saya tidak tau apa yang ibu lihat dari saya. Ada banyak sekali pertanyaan di kepala saya mengenai pernikahan ini. Akan tetapi yang jelas, ini tidak di benarkan Bu. Pak Anjas sangat mencintai Bu Sri dan Saya tidak bisa hadir dengan tiba-tiba memecah semuanya. Saya mohon ibu pertimbangkan lagi, saya yakin Bu Sri pasti bisa sembuh," ucap Melati dengan bibir bergetar menahan tangis."Aku punya penilaian sendiri dan penilaianku tidak pernah meleset. Aku tau jarak umur kalian begitu jauh. Tapi aku yakin kalau kalian berdua bisa menerima satu sama lain kelak, aku melihat diriku dalam dirimu." Sri membelai lembut ramb
Langit mulai senja, Melati dan Andi baru saja menyelesaikan tugas mereka di kampus. Melati senang, akhirnya dia bisa menggapai mimpi yang dulunya tidak mungkin dia raih. "Ini buat kamu," ucap Andi sambil menyodorkan sebuah ponsel. Melati merai ponsel itu. Matanya berkaca saat melihat benda pipih tersebut. Ingatannya kembali pada seorang yang begitu dia rindukan. Dulu dia pernah memberi benda itu untuknya. Namun engan sengaja Ibu tirinya selalu merusaknya. "Mawar ..." bisik Melati. "Kok ngelamun sih? Ayo ambil! Ini dari Pak Anjas," ucap Andi segera menaruh benda pipih itu di tangan Melati. "Ponselnya tidak mewah, tapi cukup untuk komunikasi saat kau berada di luar rumah," lanjut Andi. "Terima kasih, ini saja sudah cukup. Ternyata Pak Anjas sangat detail." "Jangankan ponsel, Pak Anjas juga akan mencarikan jodoh untuk semua anak angkatnya. Yang jelas beliau tidak akan pernah membiarkan mereka memiliki masa depan suram." Andi menjelaskan penuh semangat. Degh ... Mendengar ucapan
Anjas mempercepat langkah kakinya menuju parkiran mobil. Dengan cepat dia melaju menerobos jalanan ramai perkotaan. Tangannya mencengkram kuat setir, matanya terus menatap spion samping berulang kali. Setiap detik jantungnya seolah di pompa kian cepat. Tak lama kemudian dia sampai di rumah. Mobil sedan hitam terparkir di halaman. Tanpa berpikir panjang pria itu segera berlarian masuk dan menuju kamarnya. Sebelum membuka pintu kamar. Dia mencoba menarik napas panjang. Hatinya terus berdoa agar saat dia membuka pintu dirinya masih melhat senyum teduh yang selalu dia rindukan. Perlahan dia membuka pintu dan mencoba melawan rasa khawatirnya. Matanya berkaca saat melihat pemandangan indah seperti biasanya. "Sayang, kok sudah pulang?" sapa Sri dengan senyuman teduh di wajah pucatnya. Anjas segera berlari berhamburan memeluk sang istri. Pria tampan dengan kacamata menghiasi wajahnya hanya berdiri di samping ranjang Sri dan tersenyum haru. "Bu Sri hanya kecapekan saja, tidak ada yang
Mobil warna merah sudah terparkir di halaman. Bagus sudah siap dengan penampilan barunya. Sebisa mungkin dia menghapus wajah malunya. Kejadian itu membuatnya tidak enak hati pada Melati.Melati melangkah dengan ragu mendekati mobil. Sedetik Bagus terpaku melihat penampilan Melati. Dia terlihat cantik dengan wajah polosnya. Dress selutut dengan hiasan bunga terkesan jadul, namun begitu cocok wanita itu kenakan.Bagus segera turun dari mobil dan membuka pintu untuk Melati. Wanita itu melempar senyum kecil dan segera duduk di kursi depan. Bagus segera duduk di belakang kemudi dan melaju meninggalkan rumah megah tersebut.Suasana di mobil begitu canggung, bibir Bagus terbuka mengatup. Otaknya sibuk menyusun kata permintaan maaf. Sedangkan Melati masih menikmati pemandangan perkotaan yang sangat sibuk saat pagi hari."Kau yakin dengan jurusanmu?" tanya Bagus memecah keheningan.Melati tidak langsung menjawab. Dia melempar pandangan ragu ke Bag