Ruangan gelap gulita, Oliver segera menyalakan lampu, dan membaringkan tubuh Nicole di atas ranjang secara perlahan. Detik selanjutnya, di kala baru saja Oliver ingin pergi—Nicole menarik tangan Oliver.“Kau mirip sekali dengan pria berengsek yang aku benci seumur hidupku,” racau Nicole dengan mata sayu. Alkohol telah benar-benar menguasainya, sampai wanita itu tak sadar telah berada di hotel oleh Oliver. Pun Nicole sama sekali tak menyadari akan apa yang dia katakan pada.Oliver tidak memiliki pilihan lain. Pria itu terpaksa membawa Nicole ke hotel. Dia tak mungkin membiarkan keluarga Tristan tahu, tentang Nicole yang mabuk berat. Jalan satu-satunya dia membawa wanita it uke hotel, menjauh dari banyak orang.Mendengar perkataan Nicole, membuat Oliver menolehkan kepalanya menatap dalam dan lekat Nicole. Pipi wanita itu merona merah, lalu berkata lagi, “Kau tahu? Hanya alkohol yang menjadi temanku di dunia ini, semua orang lainnya hanya bisa melukaiku.”Oliver terdiam mendengar ucapan
Nicole mengerjapkan matanya beberapa kali kala sinar matahari menyentuh wajahnya. Perlahan, Nicole memijat kepalanya saat rasa pusing di kepalanya begitu terasa. Beberapa kali, wanita itu memejamkan mata sebentar, akibat rasa pusing di kepalanya semakin menjadi.“Ssssh, kepalaku pusing sekali.” Nicole meringis dengan mata yang masih terpejam. Wanita itu terus memijat kepalanya sendiri, demi mengurangi rasa sakit di kepalanya.Tak selang lama, ketika rasa pusing Nicole mulai menghilang, dia membuka mata serta mengendarkan pandangan ke sekitar ruangan di mana dirinya berada. Namun seketika raut wajah Nicole berubah melihat dirinya berada di sebuah kamar hotel asing.“Aku di mana?” Nicole panik dengan wajah yang memucat. Detik itu juga, Nicole menundukkan kepalanya, melihat tubuhnya telah terbalut oleh bathrobe. Jantung Nicole berdebar tak karuan. Wajahnya kian memucat dan nampak sangat takut.“Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan?” Nicole menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ingata
Oliver menatap dress berwarna kuning gading dengan model tali spaghetti membalut tubuh mungil Nicole. Warna yang sangat kontras di tubuh putih wanita itu. Tak menampik, tatapan Oliver begitu menatap Nicole dalam dan tersirat kagum serta memuja penampian wanita itu. Rupanya asistennya cukup pandai dalam memilih dress yang palihg tepat untuk Nicole.Tak hanya Nicole yang sudah mengganti pakaian, Oliver juga sudah mengganti pakaiannya. Pria itu tak memakai pakaian formal kantor. Hanya jeans dan kaus berwarna hitam yang membalut tubuh kekarnya. Pun penampilan pria itu nampak segar dan maskulin—serta begitu tampan. Harus digaris bawahi, memang Nicole selalu menatap Oliver penuh dendam, tapi Nicole tak memungkiri pria berengsek itu memiliki paras yang sangat tampan.“Aku akan pulang menggunakan taksi. Kau tidak usah mengantarku pulang.” Nicole melangkah keluar dari kamar hotel, melewati Oliver begitu saja, tanpa banyak berkata.Oliver bergeming di tempatnya, menatap punggung Nicole. Senyuma
Oliver meletakan kunci mobilnya, dan ponselnya ke atas meja. Pria itu duduk di sofa kamarnya, seraya menyandarkan punggung. Beberapa detik, Oliver memejamkan mata singkat. Hingga detik ini, Oliver masih tak mengira akan kekonyolan Nicole yang mabuk di tengah-tengah pesta ulang tahun Shania.Selain itu, hal yang menguji kesabaran Oliver adalah Nicole begitu keras kepala. Bahkan tadi Nicole nyaris tertabrak mobil, akibat sifat keras kepalanya. Jika saja, Oliver tak bergerak cepat, maka pasti Nicole akan tertabrak. Satu hari bersama dengan wanita itu, sukses membuat Oliver melatih kesabarannya.Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Oliver mengalihkan pandangannya, pada ponsel yang ada di atas meja. Pria tampan itu mengambil ponselnya, dan menatap ke layar tertera nomor Vincent di sana. Awalnya, dia ingin mengabaikan panggilan telepon dari sang asisten, namun dia takut kalau asistennya membahas tentang hal penting. Mengingat banyak kasus yang belakangan ini tengah dirinya tangani sendir
Mata Nicole melebar melihat sosok pria tampan yang sudah lama sekali tak dia temui. Akibat keterkejutannya membuatnya tak sadar, masih berada di pelukan pria itu. Manik mata silver-nya tak lepas manik mata cokelat gelap pria tampan yang ada di hadapannya.Tak hanya Nicole saja yang terkejut, nampak jelas pria yang masih memeluk pinggang Nicole itu juga sangatlah terkejut. Mereka sama-sama masih belum sadar keintiman telah terjadi. Pun andaikan pria itu tak memeluk Nicole, maka sudah pasti Nicole akan tersungkur di lantai. “Nicole? Kau, Nicole?” Pria bernama Shawn itu mengeluarkan suara, memastikan sosok wanita yang ada di hadapannya adalah wanita yang selama ini dirinya kenal.Nicole membenarkan posisi berdirinya. Pun Shawn turut membantu di kala Nicole membenarkan posisi berdiri. Raut wajah wanita itu sedikit canggung. Terlebih saat Shawn melepaskan pelukannya.Nicole menatap Shawn. “Iya, aku Nicole. Kau Shawn, kan?”Shawn tersenyum. “Apa kau lupa dengan wajahku, Nicole?”“Tidak, a
“Sadie, katakan pada ayahku, aku sedang sibuk. Aku tidak bisa hadir makan malam nanti.” Nicole berujar seraya berkutat pada MacBook di hadapannya. Tampak wanita itu begitu sibuk memeriksa email masuk. Jika sudah bekerja, dia memang kerap melupakan segalanya. Bahkan jam makan pun kerap dilewati, demi pekerjaannya.Sadie menatap Nicole dengan tatapan bingung serta cemas. “Nona, tadi Tuan Mayir bilang pada saya, bahwa malam ini Anda wajib datang. Anda tidak boleh tidak datang.”Nicole menutup Macbook-nya, menatap jengkel asistennya itu. Saat ini, Nicole berada di restoran, baru saja selesai meeting dengan client-nya. Dia masih belum keluar meninggalkan restoran, karena dia tengah memeriksa pekerjaannya. Namun, alih-alih mendapatkan ketenangan, malah dihampiri sang asisten yang membawakan berita menyebalkan.“Sadie, kau bisa mencari alasan tepat menghindari ayahku,” seru Nicole jengkel. Sadie menggaruk-garuk tengkuk lehernya tak gatal. “Bagaimana cara saya mencari alasan, Nona? Tuan Mayi
Nicole turun dari mobil seraya memberikan kunci mobil pada petugas valet untuk memarkirkan mobilnya. Wanita itu segera melangkah masuk ke dalam lobby hotel dengan raut wajah yang nampak menahan rasa marah dan benci dalam dirinya.Inilah yang selalu Nicole hindari. Dia enggan untuk mendatangi rumah keluarganya, karena dia akan selalu merasakan hal yang sama. Hal di mana hatinya hancur berkeping-keping. Pengkhianatan yang pernah dialami ibunya tak pernah Nicole lupakan.Bertahun-tahun, Nicole sudah berdamai dengan kenyataan, namun tentu semua itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Rasa sakit dan penderitaan yang bertubi-tubi membuat Nicole memutuskan untuk meninggalkan London.Nicole ingin sekali segera kembali ke Swiss, namun semua terhalang karena dirinya memiliki tanggung jawab sebagai wedding organizer dipernikahan Shania dan Oliver. Andai saja dia bisa mundur, maka Nicole detik ini juga akan terbang ke Swiss.Nicole mengembuskan napas panjang. Mengatur segala emosi yang terbe
Nicole mengembuskan napas panjang kala membaca pesan singkat dari Shania. Pesan yang tertuliskan alamat wedding venue yang harus dirinya datangi. Hari ini memang Nicoel wajib menemani Shania serta Oliver melihat wedding venue lagi. Sungguh, ingin sekali Sadie yang mewakilkannya, namun tadi malam Shania menolak ditemani Sadie. Terpaksa sekarang ini Nicole harus menemani Shania dan Oliver untuk kesekian kali.Nicole berharap wedding venue kali ini sudah menjadi pilihan terakhir untuk Shania dan Oliver. Dia sudah tak sabar Shania dan Oliver segera menikah. Tentu alasannya karena Nicole ingin bisa kembali ke Swiss. Dia tidak mau berlama-lama ada di London. Kota yang menyimpaan jutaan kesesakan di hatinya. Cukup kepedihan yang dia alami. Wanita itu tak mau lagi mengingat lukanya.Suara dering ponsel berbunyi. Refleks, Nicole melihat ke layar menatap nomor Sadie yang terpampang di layar ponselnya. Detik itu juga, Nicole segera menjawab panggilan telepon dari sang asisten.“Selamat pagi, Non