Langkah Alura melambat. Bumi di bawah kakinya seperti tidak lagi padat. Batu yang seharusnya keras terasa lunak, seolah mereka sedang berjalan di atas sesuatu yang bisa berubah bentuk setiap kali diinjak. “Dengar,” bisik Alura, hampir tidak berani mengeluarkan suara lebih keras dari itu. Rafael berhenti. Kepalanya menoleh sedikit, telinganya tajam menangkap setiap getaran udara. Ada sesuatu di sekeliling mereka, bukan sekadar bisikan kali ini, melainkan semacam detak, beraturan, seperti denyut nadi. Namun, denyut itu bukan milik mereka. Alura menatap jalan di depan. Batu-batu hitam yang berjejer rapi di lantai mendadak bergetar, dan dari celah-celahnya muncul asap tipis. Asap itu bukan hanya asap, ia bergerak seperti memiliki arah, lalu menyatu membentuk garis-garis samar. “Tempat ini…” suara Alura tercekat, “…seperti hidup.” Rafael mendekat, tubuhnya setengah melindungi Alura dari sisi kiri. “Bukan hanya hidup. Tempat ini memperhatikan kita.” Alura menelan ludah. Ia bisa mera
Langkah terakhir sosok asing itu lenyap begitu saja, seakan udara sendiri menelannya. Tidak ada gema, tidak ada tanda, hanya kesunyian yang semakin menekan dada. Namun, kesan kehadirannya tidak hilang begitu cepat. Seperti luka yang masih basah, ruang itu tetap dipenuhi aroma logam dan bayangan yang merayap di dinding. Alura berdiri kaku. Tangannya gemetar, meski ia berusaha menyembunyikannya dengan menggenggam erat kain pakaiannya sendiri. “Dia… pergi?” suaranya nyaris tidak terdengar, seperti hanya ditelan oleh napasnya sendiri. Rafael menoleh cepat. Tatapannya masih tajam, seolah mencari celah, memastikan tidak ada bayangan lain yang bersembunyi. Baru setelah ia yakin, tubuhnya sedikit rileks, walau mata gelapnya masih menyimpan waspada. “Tidak ada yang benar-benar pergi di tempat ini,” jawabnya datar, tapi ada guratan muram di wajahnya. Ucapan itu membuat perut Alura terasa kosong. Tidak ada kepastian, tidak ada penutup. Hanya dunia yang terus bergerak, seakan punya pikirannya
Langkah-langkah itu masih terasa bergema di dinding lorong batu yang baru saja mereka lewati. Sosok asing yang muncul, dengan mata berkilat samar seperti bara yang belum padam, masih menatap lurus ke arah mereka, seolah ia sudah tahu siapa yang sedang dihadapinya. Alura merasakan jantungnya berdegup lebih keras dari biasanya, bukan karena takut, tapi karena ada sesuatu dalam sosok itu yang terasa… familiar. Bukan wajah, bukan suara, melainkan sesuatu yang lebih dalam, seperti gema dari masa lalu yang tidak pernah ia miliki. Rafael berdiri setengah langkah di depannya, tubuhnya kaku namun setiap otot di bahunya tegang, siap menyerang atau melindungi kapan saja. “Apa maumu?” suaranya rendah, nyaris bergumam, tapi gema dari dinding batu membuatnya terdengar seperti perintah yang tak bisa dibantah. Sosok itu tidak langsung menjawab. Senyum samar melintas di bibirnya, lalu hilang, berganti dingin yang menusuk. “Kalian… bukan bagian dari tempat ini. Dunia ini menolak kalian. Dan aku, aku
Langkah mereka terhenti. Bukan karena lelah, tapi karena udara di sekitar berubah. Sosok itu berdiri tidak jauh dari lingkaran batu bercahaya. Tubuhnya tinggi, terlalu kurus seolah dagingnya sudah lama ditinggalkan. Kain lusuh yang membalutnya bergerak pelan meski angin tidak berhembus. Dari wajah yang hampir tenggelam dalam bayangan, hanya dua mata merah menyala yang terlihat. Rafael langsung bergerak, tubuhnya menutup Alura. Tangannya meraih gagang pedang di pinggang, dan tatapannya tidak pernah lepas dari makhluk itu. “Jangan mendekat,” katanya datar. Suaranya seperti baja yang ditarik keluar dari sarung. Makhluk itu tidak bergerak. Hanya berdiri. Mata merahnya menyapu mereka berdua, seolah menilai. Ketika ia akhirnya berbicara, suaranya bukan suara biasa. Bukan suara tunggal, melainkan gema berlapis, seperti banyak lidah yang berbicara serempak. “Kalian… bukan milik dunia ini.” Alura merasakan bulu kuduknya meremang. Kata-kata itu bukan sekadar kalimat. Ada sesuatu yang men
Udara pertama yang menyambut mereka ketika menembus batas itu bukanlah udara kebebasan yang mereka bayangkan. Alura menarik napas panjang, tapi paru-parunya terasa seolah menghirup sesuatu yang asing, dingin, tipis, dan berbau besi. Bukan aroma tanah basah, bukan pula wangi pepohonan seperti yang biasa ia kenal di hutan atau lembah. “Ini...” suara Alura tercekat. Ia menoleh pada Rafael, yang berdiri di sisinya dengan wajah tegang. Rafael tidak langsung menjawab. Matanya menyapu ke sekeliling, menilai setiap detail. Di depan mereka terbentang hamparan tanah luas, tapi warna tanahnya pucat, hampir kelabu. Tak ada rerumputan, tak ada pohon, hanya retakan kering seperti kulit yang mengelupas. Langit di atas mereka berwarna abu-abu gelap, seolah matahari enggan muncul, dan kabut tipis bergulir perlahan di permukaan tanah. “Seharusnya kita sudah keluar,” bisik Rafael, tapi nada suaranya tak menunjukkan kepastian. Alura memeluk lengannya sendiri, mencoba menahan rasa dingin yang menusuk
Udara di sekitar mereka terasa semakin padat. Setiap tarikan napas seolah menelan debu tak kasat mata, membuat dada mereka berat dan langkah semakin terseret. Alura merasakan kakinya mulai kehilangan tenaga, tapi ia memaksa dirinya untuk terus berjalan. Rafael, yang berjalan setengah langkah di depan, menoleh sekilas kepadanya. Pandangannya tajam, namun juga menyimpan kekhawatiran yang jarang sekali ditunjukkannya dengan terang. “Bertahanlah sedikit lagi,” ucap Rafael lirih, nyaris hanya berbisik. Alura mengangguk pelan. Bibirnya kering, tapi ia tahu tidak ada gunanya mengeluh. Sejak awal, tempat ini memang tidak memberi ruang bagi kelemahan. Lorong yang mereka susuri terus berubah. Dinding yang tadi bertekstur batu perlahan merata seperti logam, kemudian retak-retak seperti kayu lapuk, lalu kembali lagi menjadi permukaan hitam polos. Semuanya seakan hidup, bergerak mengikuti langkah mereka. Alura sempat merasakan ngeri, seolah ada sesuatu yang sedang mempermainkan mereka dari bali