Udara di reruntuhan itu masih dipenuhi serpihan cahaya samar, seperti debu bintang yang melayang perlahan ke tanah. Namun, di balik keindahan semu itu, tubuh-tubuh yang tersisa di sana hanya menyisakan luka, darah, dan napas berat yang hampir putus. Alura tergeletak di atas batu retak. Setiap helaan napasnya seperti pisau yang menusuk dada. Ia ingin bangkit, tapi otot-ototnya menolak. Baru ketika suara lirih di sampingnya terdengar, matanya memaksa terbuka. “Alura…” Suara itu parau, goyah, tapi jelas. Arga. Ia menoleh perlahan, dan di sana Arga berlutut dengan tubuh yang masih gemetar. Darah menodai pakaiannya, wajahnya pucat, tapi matanya… matanya berbeda. Tak lagi merah menyala penuh kegelapan. Ada putih samar yang menyeimbanginya, cahaya yang terasa hangat sekaligus rapuh. Alura menangis tanpa suara. Ia berusaha meraih tangannya, dan Arga segera menautkannya dengan genggaman lemah. Jari-jari mereka saling mengunci, seperti akar yang takut tercerabut dari tanah. “Kau kembali…”
Alura hampir tidak merasakan kakinya sendiri. Tubuhnya seperti hanya tersisa tulang rapuh yang dipaksa berdiri oleh tekad. Tangannya gemetar, penuh luka bakar hitam akibat energi kegelapan. Namun matanya tetap menatap Arga yang kini separuh bebas, tubuhnya jatuh ke pelukan Alura. Rafael masih berlutut di kejauhan. Darah mengalir deras dari mulut dan luka-lukanya, tapi ia masih menancapkan pedang ke tanah, menahan gelombang kegelapan yang terus menghantam. Bayangan itu mengamuk, tubuhnya mengembang menutupi seluruh langit-langit ruangan seperti kabut hidup. Arga mengangkat wajahnya perlahan. Matanya kini benar-benar terbuka, merah bercahaya namun bercampur dengan putih samar warna yang asing, namun hangat. Tatapannya tertuju pada rantai terakhir yang menjerat dadanya. “Ini… rantai utama,” suaranya parau, namun mantap. “Yang mengikat jiwaku sepenuhnya.” Alura mengguncang kepalanya, air matanya jatuh. “Aku bisa memutuskannya. Aku sudah hampir berhasil. Aku tidak akan berhenti sekaran
Jeritan makhluk bayangan itu menggema, mengguncang seluruh ruangan. Suara itu begitu dalam, seperti ribuan suara bersatu dalam satu teriakan. Dinding organik di sekeliling mereka bergetar, seakan tempat ini sendiri ikut marah. Rafael mencengkeram pedangnya lebih erat. Tubuhnya terhempas mundur beberapa langkah, tapi ia segera kembali berdiri. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Meski wajahnya tetap dingin, Alura tahu suaminya sedang menahan beban luar biasa. “Alura!” teriaknya, menahan tangan makhluk itu dengan pedangnya. “Jangan berhenti! Hancurkan rantainya!” Alura hampir tidak bisa berdiri. Lututnya bergetar, tubuhnya melemah, darah mengalir deras dari pergelangan tangannya. Tapi matanya tetap terpaku pada rantai yang membelenggu Arga. Retakan kecil sudah menjalar di sepanjang sambungan, cahaya merah menyala samar di dalamnya. Sedikit lagi… pikirnya. Sedikit lagi, dan aku bisa menariknya keluar. Ia menekan telapak tangannya yang berlumuran darah ke rantai itu lagi. Api merah
Langit hutan itu seakan kehilangan warnanya. Tidak ada bintang, tidak ada bulan, hanya kegelapan pekat yang menelan segalanya. Alura berdiri di ujung tanah retak yang kini terbuka lebih lebar, seperti rahang besar siap menelan siapa pun yang berani mendekat. Di dalam celah itu, bukan sekadar tanah yang kosong. Ada cahaya hitam berputar pelan, seperti pusaran air yang terbuat dari bayangan. Dari bawahnya terdengar suara lirih, bukan suara manusia, bukan juga suara alam. Itu suara rantai yang beradu, menggema jauh, membuat bulu kuduk Alura berdiri. Alura menggenggam dadanya, napasnya tersengal. Denyut dalam darahnya semakin kuat, hampir tak tertahankan. Seolah-olah setiap tarikan napas adalah panggilan dari bawah, memintanya turun. “Dia ada di sana,” bisiknya. Rafael berdiri di sampingnya, mata tajamnya menatap ke dalam pusaran itu. “Kalau kita masuk, tidak ada jalan kembali yang pasti.” “Aku tahu.” Suara Alura bergetar, tapi tekadnya jelas. “Tapi aku tidak peduli. Kalau Arga ada d
Udara di hutan semakin berat. Langkah Alura terseret, tapi matanya menatap jauh ke depan, seolah ada sesuatu yang hanya bisa ia lihat. Nafasnya pendek-pendek, namun ritmenya seakan menyatu dengan sesuatu di dalam tubuhnya denting halus, denyut samar yang bukan miliknya sendiri. Rafael berjalan di sampingnya, pedang masih dalam genggaman, sorot matanya menyapu setiap celah pohon. Diamnya semakin pekat, tapi Alura tahu ia sedang mengamati lebih dari sekadar bayangan di sekitar. “Apa yang kau rasakan?” suara Rafael rendah, hampir tertelan desau angin. Alura menelan ludah. Jemarinya meraba dadanya, tepat di atas jantung. “Seperti… ada denyut lain di dalam darahku. Tidak sepenuhnya milikku. Tapi… aku tahu itu Arga.” Rafael berhenti sejenak, tatapannya mengeras. “Ikatan itu semakin kuat.” Alura mengangguk pelan. “Aku bisa merasakan arah yang harus kutuju. Tapi setiap kali aku mengikutinya, tubuhku semakin berat. Seolah ada sesuatu yang menarikku ke bawah.” “Kegelapan segel.” Rafael me
Langkah-langkah mereka menyusuri hutan itu terasa seperti ribuan jarak. Ranting-ranting patah di bawah sepatu, tanah lembap menempel di setiap langkah, dan udara malam semakin dingin menusuk tulang. Meski tubuhnya hampir roboh, Alura menolak untuk berhenti. Luka di perutnya sudah ia tekan dengan kain yang basah darah, namun rasa perih itu tidak mampu mengalahkan suara yang terus berputar di kepalanya. “Jangan datang…” Suara Arga. Lirih, serak, seperti terhimpit oleh sesuatu yang lebih kuat. Tapi justru itu yang membuat Alura semakin tak bisa berhenti. Setiap kata itu seperti rantai yang menariknya ke depan, bukan menjauhkannya. Rafael berjalan setengah langkah di depannya, pedang di pinggangnya bergetar tipis, pertanda ada sesuatu di sekitar. Tatapannya lurus, tubuhnya tegang. Ia tahu malam ini tidak akan membiarkan mereka lewat dengan mudah. “Alura.” Suara Rafael dingin, tapi cukup rendah agar hanya ia yang mendengarnya. “Ada sesuatu yang mengikuti kita sejak tadi.” Alura menga