Home / Fantasi / Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin / Bab 26. Ketika Batu Langit Jatuh

Share

Bab 26. Ketika Batu Langit Jatuh

Author: Quennnzy
last update Last Updated: 2025-07-07 00:35:07

Ketika serpihan langit menyentuh tanah, tidak ada ledakan. Tidak ada gemuruh. Tidak ada kehancuran seperti yang mereka kira.

Yang ada hanya... hening.

Hening yang memekakkan.

Tanah tempat mereka berdiri bergema pelan. Seolah bumi menahan napas, lalu menghembuskannya perlahan dalam bentuk desir angin yang membawa partikel cahaya hitam keunguan. Di tempat jatuhnya serpihan itu, terbentuk sebuah lubang kecil, tak lebih besar dari telapak tangan. Tapi dari dalamnya, udara keluar dengan suhu beku dan aroma logam yang membuat Rafael langsung menarik napas pendek.

“Ini... bukan udara dari dunia kita,” bisiknya.

Alura melangkah perlahan, matanya menatap lubang itu dengan campuran rasa ingin tahu dan gentar. Ada sesuatu di dalamnya. Bukan benda, bukan makhluk, tapi... suara. Terlalu lemah untuk dimengerti, tapi cukup kuat untuk dirasakan.

“Jangan terlalu dekat,” kata Arga tiba-tiba.

Suara pria itu terdengar lebih berat dari biasanya. Ketika Alura menoleh, ia terkejut.

Arga... gemetar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 34. Tangga Menuju yang Dilupakan

    Langkah mereka menuruni tangga batu tua dipenuhi keheningan. Bukan sekadar sunyi… tapi seperti suara dari dunia luar perlahan-lahan terputus, tergantikan oleh bisikan yang tidak datang dari telinga, melainkan dari dalam dada. Tangga itu sempit, dindingnya lembap dan berlumut, dipahat dari batu hitam yang terasa terlalu tua untuk diberi nama. Alura melangkah paling depan. Cahaya dari telapak tangannya pancaran lembut hitam dan putih yang kini menyatu menjadi satu-satunya penerang. Rafael mengikutinya dari dekat, pedang di tangan, tak mengatakan apa pun sejak mereka masuk. Matanya awas, tapi sorotnya lebih dari sekadar siaga, ada kekhawatiran yang tak ia ucapkan. Di belakang mereka, Arga menutup barisan, satu tangan menelusuri dinding, seolah mencoba membaca sejarah yang disembunyikan di dalam retaknya. Tangga itu seolah tak berujung. Tapi akhirnya, lorong membuka ke sebuah ruang yang lebih luas. Mereka tiba di sebuah ruangan bawah tanah berbentuk bundar. Di tengahnya berdiri sebua

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 33. Reruntuhan yang Menolak Lupa

    Udara di Pegunungan Thalyr dingin, menggigit, dan terlalu sunyi. Kabut menggantung di sela-sela batuan curam, seolah gunung itu menahan napasnya sendiri. Cahaya sore menembus tipis melalui celah awan, menyinari reruntuhan kuil tua di lereng timur. Alura berdiri di bibir tebing, jubahnya berkibar ditiup angin. Napasnya berembun, dan untuk pertama kalinya sejak keluar dari menara, ia merasa tubuhnya benar-benar letih. Bukan karena luka. Tapi karena beban yang kini tidak bisa lagi ia lepaskan. Rafael muncul dari balik reruntuhan yang hancur sebagian, membawa kantung air dan selembar kain usang. “Yang ini cukup bersih untuk alas tidur. Tidak nyaman, tapi cukup kering.” Ia menaruhnya di atas batu besar yang sedikit terlindung angin. Arga duduk agak jauh, di bawah lengkungan batu yang dulunya gerbang utama kuil. Ia diam, seperti menyatu dengan bayangan. “Kau masih gemetar,” kata Rafael, memandangi tangan Alura yang belum benar-benar diam. “Tubuhku belum terbiasa dengan kekuatan ini,”

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 32. Mata yang Terbuka di Langit

    Langit tidak seharusnya memiliki mata. Tidak di dunia ini. Tapi kenyataan di atas kepala mereka telah berubah, sebuah celah terbuka di antara awan, merekah seperti luka yang menganga, dan dari dalamnya... sepasang kelopak raksasa terkuak perlahan, memperlihatkan satu bola mata yang mengamati mereka dari kejauhan. Tidak berkedip. Tidak bergerak. Tapi setiap orang yang melihatnya, merasa dilihat hingga ke kedalaman tulang dan jiwa. Arga mundur satu langkah. Untuk pertama kalinya sejak keluar dari reruntuhan, napasnya tercekat. Rafael merasakan hawa asing menusuk pori-porinya. Udara menjadi lebih berat. Suara nyanyian tadi belum berhenti, masih bergetar seperti desiran mantra kuno, tapi bukan berasal dari mulut manusia. Alura menatap ke atas, mata peraknya berkilat dalam bayangan. "Itu... bukan Pemanggil biasa." Sazhar berdiri paling belakang. Sorot matanya tajam. "Itu bukan makhluk. Itu adalah sisa... dari mereka." "Mereka?" tanya Rafael, dengan nada tak sabar. "Siapa mereka?" Sa

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 31. Cahaya yang Tidak Mengenal Ampun

    Kilatan hitam dan putih yang meledak dari tubuh Alura perlahan memudar, menyisakan debu bercahaya yang turun seperti serpihan salju di dalam menara. Lorong-lorong cermin telah hilang. Ruang yang tadi seperti batas antara dunia nyata dan batin kini kembali menjadi dinding batu hitam yang diam, tapi udara di dalamnya terasa... berubah. Alura berlutut di tengah pusaran sisa energi. Rambutnya terurai, sebagian berwarna perak di ujung-ujungnya. Matanya masih menyala samar, tapi tubuhnya bergetar, seolah kekuatan yang barusan muncul belum sepenuhnya menyatu. Rafael berlari ke arahnya, meski langkahnya masih terpincang. Tubuhnya babak belur, sisi kirinya berlumuran darah akibat benturan keras ke dinding. “Alura,” bisiknya, tangannya menggapai. Alura menoleh perlahan. Tatapannya kosong sesaat, lalu perlahan-lahan mulai kembali fokus. Ia mengenali Rafael, dan bibirnya bergerak kecil, tanpa suara. Sejenak, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Tapi bukan keheningan damai. Arga berdiri

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 30. Cermin yang Tidak Mengembalikan Bayangan

    Langkah Alura menimbulkan gema lembut di lantai batu hitam menara. Tapi gemanya tidak seperti biasanya, suara itu memantul dengan jeda aneh, seakan waktu di dalam tempat ini berjalan dengan ritme yang berbeda. Dinding-dindingnya dipenuhi ukiran melingkar yang bergerak perlahan, seperti urat nadi. Setiap kali Alura mendekat, simbol-simbol itu bersinar, bukan dengan cahaya biasa, tapi dengan emosi. Ada rasa takut, marah, luka, cinta... semuanya hidup, menempel pada udara seperti embun beku. “Selamat datang di dalam kepalamu,” kata Sazhar, menyusul di belakang. Suaranya seperti gema dari arah yang tak pasti. Alura menoleh cepat. Tapi ia tak menemukan sosoknya. Hanya bayangan yang memanjang di lantai... tanpa tubuh. “Sini bukan ruang dunia,” lanjut Sazhar. “Menara ini adalah pengurai. Ia menghapus batas antara memori dan kenyataan, lalu menatanya ulang... agar kau melihat bukan hanya kebenaran, tapi juga penyangkalannya.” Langkahnya terhenti ketika dinding di depannya membuka sendiri

  • Ratu Iblis Dan Suami Berdarah Dingin   Bab 29. Menara yang Tidak Memiliki Bayangan

    Menara itu tinggi, terlalu tinggi. Seakan-akan memecah langit yang sudah retak, dan mengaitkan sesuatu yang tak seharusnya tersambung kembali. Tapi anehnya, menara itu tidak memiliki bayangan. Cahaya matahari redup jatuh dari segala arah, tapi tidak ada bayangan panjang yang mengikuti tubuhnya. Seolah ia menolak terikat oleh hukum cahaya. Seolah keberadaannya... menolak kenyataan. “Menara ini bukan dibangun,” bisik Arga. “Ini... tumbuh.” Alura mengangguk pelan. Ia bisa merasakannya denyut lembut di udara, seperti napas. Seolah menara itu makhluk yang sedang tertidur. Tapi bukan tidur damai. Rafael menggenggam gagang pedangnya lebih erat. “Kau yakin kita harus masuk?” Alura menoleh. Matanya gelap, tapi tegas. “Kalau kita menunggu lebih lama... dia akan keluar.” Langkah pertama mereka mendekati dasar menara membawa perubahan halus. Udara di sekitar mereka menjadi lebih berat, seperti berjalan di dalam air. Batu-batu tanah menggeliat perlahan, seakan memberi jalan. Dan dari dindin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status