Kabut di reruntuhan mulai mengendap. Anggota Ordo yang tadi terlempar kini tak sadar di tanah, jubah mereka tercabik, sihir mereka membisu. Pilar cahaya dari langit telah runtuh. Hanya satu yang masih berdiri: sang Tetua bermata tertutup. Tapi wajahnya kini bukan wajah dewa yang menjatuhkan hukuman. Ia... takut. Alura berdiri dalam lingkaran sihir yang kini berubah warna menjadi kelabu pekat, bergaris perak. Matanya masih dua warna, tapi pandangannya lebih tenang, bahkan lembut. Luka kecil di pelipisnya mengering dengan cepat. Pecahan Gerbang masih berdenyut di telapak tangannya bukan sebagai alat, tapi sebagai bagian dari tubuhnya sendiri. Rafael berdiri di dekatnya, wajahnya campur aduk antara kekaguman dan kekhawatiran. Arga menatap dalam-dalam, seolah mencoba menyesuaikan logikanya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Rian... tertunduk. Seakan menyesal terlalu banyak tahu, tapi terlalu lambat bertindak. Alura melangkah ke arah Tetua. Suaranya tak meninggi, tapi setiap kat
Pecahan Gerbang Keenam di tangan Alura bergetar, makin kuat tiap detik. Denyutnya tak lagi lembut, ia kini memukul-mukul udara seperti genderang perang yang hanya bisa didengar oleh jiwa-jiwa tertentu. Di sekeliling altar reruntuhan itu, cahaya mulai menggambar lingkaran yang merambat ke dinding, seperti arus listrik menyusuri urat batu yang telah lama tidur. Arga mundur beberapa langkah, tatapannya tajam. “Apa kau yakin akan membangunkannya?” “Aku tak membangunkan apa pun,” jawab Alura pelan. “Aku hanya... berhenti berpura-pura tidak mendengarnya.” Pecahan itu, meski kecil, kini seolah menarik udara. Kabut di dalam ruangan bawah tanah itu berputar. Rian yang tubuhnya masih limbung meraih lengan Rafael, berbisik, “Kalian harus menghentikannya. Kalau tidak…” Tapi Rafael tak bergerak. Matanya hanya terpaku pada Alura. Rian mengatupkan rahangnya. “Rafael. Dengarkan aku. Ini bukan hanya tentang kekuatan. Ini tentang ingatan yang dikunci oleh darah. Dia akan...” Namun kalimat itu tak
Langkah mereka menuruni tangga batu tua dipenuhi keheningan. Bukan sekadar sunyi… tapi seperti suara dari dunia luar perlahan-lahan terputus, tergantikan oleh bisikan yang tidak datang dari telinga, melainkan dari dalam dada. Tangga itu sempit, dindingnya lembap dan berlumut, dipahat dari batu hitam yang terasa terlalu tua untuk diberi nama. Alura melangkah paling depan. Cahaya dari telapak tangannya pancaran lembut hitam dan putih yang kini menyatu menjadi satu-satunya penerang. Rafael mengikutinya dari dekat, pedang di tangan, tak mengatakan apa pun sejak mereka masuk. Matanya awas, tapi sorotnya lebih dari sekadar siaga, ada kekhawatiran yang tak ia ucapkan. Di belakang mereka, Arga menutup barisan, satu tangan menelusuri dinding, seolah mencoba membaca sejarah yang disembunyikan di dalam retaknya. Tangga itu seolah tak berujung. Tapi akhirnya, lorong membuka ke sebuah ruang yang lebih luas. Mereka tiba di sebuah ruangan bawah tanah berbentuk bundar. Di tengahnya berdiri sebua
Udara di Pegunungan Thalyr dingin, menggigit, dan terlalu sunyi. Kabut menggantung di sela-sela batuan curam, seolah gunung itu menahan napasnya sendiri. Cahaya sore menembus tipis melalui celah awan, menyinari reruntuhan kuil tua di lereng timur. Alura berdiri di bibir tebing, jubahnya berkibar ditiup angin. Napasnya berembun, dan untuk pertama kalinya sejak keluar dari menara, ia merasa tubuhnya benar-benar letih. Bukan karena luka. Tapi karena beban yang kini tidak bisa lagi ia lepaskan. Rafael muncul dari balik reruntuhan yang hancur sebagian, membawa kantung air dan selembar kain usang. “Yang ini cukup bersih untuk alas tidur. Tidak nyaman, tapi cukup kering.” Ia menaruhnya di atas batu besar yang sedikit terlindung angin. Arga duduk agak jauh, di bawah lengkungan batu yang dulunya gerbang utama kuil. Ia diam, seperti menyatu dengan bayangan. “Kau masih gemetar,” kata Rafael, memandangi tangan Alura yang belum benar-benar diam. “Tubuhku belum terbiasa dengan kekuatan ini,”
Langit tidak seharusnya memiliki mata. Tidak di dunia ini. Tapi kenyataan di atas kepala mereka telah berubah, sebuah celah terbuka di antara awan, merekah seperti luka yang menganga, dan dari dalamnya... sepasang kelopak raksasa terkuak perlahan, memperlihatkan satu bola mata yang mengamati mereka dari kejauhan. Tidak berkedip. Tidak bergerak. Tapi setiap orang yang melihatnya, merasa dilihat hingga ke kedalaman tulang dan jiwa. Arga mundur satu langkah. Untuk pertama kalinya sejak keluar dari reruntuhan, napasnya tercekat. Rafael merasakan hawa asing menusuk pori-porinya. Udara menjadi lebih berat. Suara nyanyian tadi belum berhenti, masih bergetar seperti desiran mantra kuno, tapi bukan berasal dari mulut manusia. Alura menatap ke atas, mata peraknya berkilat dalam bayangan. "Itu... bukan Pemanggil biasa." Sazhar berdiri paling belakang. Sorot matanya tajam. "Itu bukan makhluk. Itu adalah sisa... dari mereka." "Mereka?" tanya Rafael, dengan nada tak sabar. "Siapa mereka?" Sa
Kilatan hitam dan putih yang meledak dari tubuh Alura perlahan memudar, menyisakan debu bercahaya yang turun seperti serpihan salju di dalam menara. Lorong-lorong cermin telah hilang. Ruang yang tadi seperti batas antara dunia nyata dan batin kini kembali menjadi dinding batu hitam yang diam, tapi udara di dalamnya terasa... berubah. Alura berlutut di tengah pusaran sisa energi. Rambutnya terurai, sebagian berwarna perak di ujung-ujungnya. Matanya masih menyala samar, tapi tubuhnya bergetar, seolah kekuatan yang barusan muncul belum sepenuhnya menyatu. Rafael berlari ke arahnya, meski langkahnya masih terpincang. Tubuhnya babak belur, sisi kirinya berlumuran darah akibat benturan keras ke dinding. “Alura,” bisiknya, tangannya menggapai. Alura menoleh perlahan. Tatapannya kosong sesaat, lalu perlahan-lahan mulai kembali fokus. Ia mengenali Rafael, dan bibirnya bergerak kecil, tanpa suara. Sejenak, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Tapi bukan keheningan damai. Arga berdiri