Langkah Alura menggema pelan di lorong batu yang sepi, hanya disertai desir angin yang mengusik rambutnya. Suara derap kaki Rafael tak jauh di belakang, tapi rasanya sepi itu tetap tak bisa diusir. Gerbang Kesembilan telah tertutup. Arga telah menghilang bersamanya. Sampai detik ini, ia belum bisa berkata-kata. Rafael diam saja sejak mereka menuruni undakan terakhir. Tapi diamnya bukan dingin seperti biasanya. Ada sesuatu yang retak di balik sorot matanya retakan yang tak sepenuhnya ia tunjukkan. Dan Alura tahu, luka itu bukan hanya miliknya. "Aku tak bisa dengar suaranya lagi." Alura akhirnya berkata, pelan. "Suara Arga... seperti menguap bersama cahaya gerbang itu." Rafael menatapnya sebentar. Lalu menunduk, seolah membenarkan kata-kata itu dalam hati. "Aku tidak tahu apakah ia akan kembali," lanjut Alura, kali ini suara gemetar. "Tapi kurasa… dia memang tak pernah berniat kembali sepenuhnya." Rafael mengangguk sekali. "Dia memilih. Dan kadang… pilihan itu bukan soal hidup at
Langkah Alura tertahan di ambang Gerbang Kesembilan. Angin dari dalam celah itu tidak dingin, tapi hangat seolah mengundang, memanggil... atau menjebak. Namun bukan itu yang membuatnya sulit bernapas. Bukan gemuruh suara ribuan roh yang bergema dalam kepala. Bukan cahaya ungu yang menyala dari celah-celah batu yang terbuka di sekelilingnya. Tapi... Bayangan Arga. Sosoknya tak lagi berdarah atau terluka. Tak juga terbakar oleh kekuatan kegelapan yang meledak di tubuhnya. Ia berdiri di dalam gerbang, menatap Alura dengan mata yang tak sepenuhnya manusia lagi. “Aku tidak bisa pergi,” ucapnya, suaranya nyaris hanya bisikan. “Karena sebagian dirimu masih bersamaku.” “Arga...” Napas Alura tercekat. Luka di hatinya belum mengering, tapi kini dibuka kembali oleh kehadiran sosok itu. “Aku sudah mati, Alura.” “Tapi bayanganku masih hidup… di dalammu.” Alura menggigit bibir. “Kau tidak bisa melakukan ini. Kau sudah memilih untuk pergi, untuk mengorbankan dirimu.” “Bukan untuk dunia. U
Hening setelah kehilangan itu berbeda dengan hening biasa. Ia bukan sekadar diam tapi kehampaan yang mencekam. Alura berdiri di tepi tanah yang masih basah oleh jejak darah, bekas pengorbanan Arga. Namun yang mengganggunya bukan hanya kehilangan itu, melainkan cara Arga pergi. "Aku tidak mau menjadi hantu dalam hidupmu." Suara itu terus menggema di pikirannya. Setiap detiknya menyayat, seolah kata-kata itu adalah kutukan paling manis dan paling kejam yang pernah dia terima. "Arga..." Suara Alura pecah di tengah reruntuhan Vellen Thar. Tapi tidak ada gema, tidak ada jawaban. Hanya angin dingin yang membawa bau besi dan abu. Rafael berdiri di belakangnya, diam. Tidak menyentuh, tidak memaksa. Ia tahu ini bukan waktunya menjadi pelindung atau suami. Ini adalah waktunya untuk membiarkan Alura menelan sakitnya sendiri dalam sunyi yang suci. Namun tanah mulai bergetar. "Bumi ini… bernapas," gumam Rafael, matanya menelusuri retakan tanah yang merambat seperti akar tapi hidup. Retak
Langkah mereka melewati ambang Gerbang Kedelapan bukan seperti melangkah dari satu ruang ke ruang lain. Itu seperti keluar dari tubuh sendiri dan masuk ke versi dunia yang terlalu diam, terlalu gelap, terlalu... kosong. Alura tidak bisa mendengar detak jantungnya. Bahkan napas Rafael yang biasanya bisa ia rasakan di belakang tengkuknya hilang. Yang ada hanya kesunyian dan suara... itu lagi. Detak. Detak. Detak. Tapi detak itu bukan dari dunia luar. Itu datang dari dalam dirinya. Dari sesuatu yang tertinggal setelah Silvanna mencengkram jiwanya. Sesuatu yang tidak pergi meski Gerbang telah tertutup di belakang mereka. “Jangan mundur,” suara Rafael lirih, hampir tak terdengar. Alura mengangguk tanpa suara. Tapi dalam pikirannya, suara lain yang muncul. Kau tidak boleh lemah, Ratu. Kalau kau jatuh, siapa yang akan menegakkan darah ini? Suara itu tidak asing. Dan yang paling menyesakkan, suaranya terdengar seperti... Arga. ... Mereka tiba di pelataran batu yang terbelah dua.
Suara detak itu bukan berasal dari jantungnya. Alura tahu betul. Detak itu datang dari tanah yang dia pijak dari retakan-retakan darah yang mengalir seperti akar, menyebar di sekelilingnya, menciptakan irama yang tidak mengikuti waktu. Setiap hentakan bukan hanya suara, tapi desakan dari sesuatu yang ingin lahir… dari dalam dirinya sendiri.“Alura?” suara Arga lirih, nyaris tak terdengar. Tapi di dunia ini, yang menggantung di antara realita dan gema jiwa, bisikan pun bisa menggelegar seperti guntur.Ia menoleh. Arga duduk bersandar di tiang gerbang yang setengah tenggelam, napasnya pendek, wajahnya pucat seperti dikuras dari dalam. Darah mengalir dari pelipis dan ujung jari-jarinya. Tapi yang lebih menyakitkan dari luka fisik adalah tatapan mata Arga penuh ragu dan kehilangan."Aku di sini," bisik Alura. Tapi suaranya tak lagi seperti miliknya. Ada gema dalam nada bicaranya, seolah dua suara berkata bersamaan.Silvanna… dan sesuatu yang lain.Langit di atas mereka terbelah perlahan.
Tanah itu tidak lagi terasa seperti tanah. Ia berdenyut, seolah-olah darah mengalir di balik lapisan bebatuan merah tua. Langit di atas mereka pecah dalam guratan ungu yang menyala, membentuk retakan yang tak berhenti berdesis seperti napas terakhir dari sesuatu yang pernah hidup.Alura berdiri diam di tengah pusaran itu.Suara Gerbang Kesembilan bukan lagi hanya bisikan. Ia kini memenuhi udara. Kadang terdengar seperti nyanyian, kadang seperti lolongan makhluk yang kehilangan nama. Kadang seperti suara ibunya. Kadang seperti dirinya sendiri."Kau yang membawa luka paling tua. Maka kaulah kunci."Darah Alura terasa berdesir. Bukan karena ketakutan, tapi karena sesuatu yang lebih tua dari rasa takut itu kenangan yang bukan miliknya, namun bersemayam dalam tulangnya.Rafael mendekat pelan, memanggil namanya. Tapi suara itu seperti diredam, tenggelam dalam kabut merah yang mulai melingkupi tubuh Alura."Aku di sini," bisik Rafael.Alura menoleh, matanya bersinar samar. Tapi ia tidak menj