Home / Urban / Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku / Bab 12. Tangisan Mbak Dini

Share

Bab 12. Tangisan Mbak Dini

last update Huling Na-update: 2025-08-11 15:49:46

Akhirnya, aku menyerah. “Gini, Mbak, aku mau jual televisi. Mbak berminat gak?”

Mbak Dini mengerutkan dahi. “Memangnya buat apa kamu sampai mau jual televisi?”

“Buat ibuku di kampung. Hari Minggu besok aku mau pulang,” jawabku apa adanya.

“Berapa yang kamu butuhkan?” tanyanya, serius.

“Lima ratus ribu aja, Mbak. Televisiku udah tua dan dulu belinya juga murah,” kataku.

Mbak Dini bangkit, masuk ke kamar, lalu kembali dengan dompet. Dia menyerahkan setumpuk uang. “Ini, terima.”

Aku menghitungnya, satu juta! “Ini kebanyakan, Mbak. Aku cuma butuh lima ratus ribu,” kataku, mencoba mengembalikan sisanya.

“Gak apa-apa, ambil aja semua. Takutnya kurang,” balasnya, menolak uangku.

"Tapi Mbak...." Aku merasa gak enak, berusaha mengembalikan uangnya.

Dia menggenggam tanganku, agar uangnya tetap aku pegang. "Ambil saja, Mbak yakin pasti kamu membutuhkannya."

Aku merasa lega, rezeki datang tak terduga. “Terima kasih banyak, Mbak. Kalau gitu, aku ambil televisinya sekarang.”

Saat aku hendak berdiri
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 16. Tetanggaku Genit

    Pagi Jakarta menyapaku dengan udara yang masih sedikit sejuk, meski aroma asap knalpot sudah mulai menguar di kejauhan. Aku bangun lebih awal, sekitar pukul 05.30, semalam aku tidur dengan nyenyak.Aku mandi cepat, mengenakan kemeja biru tua yang sedikit kusut dan celana bahan hitam, lalu mengambil ranselku. Saat keluar dari unit apartemenku, aku hampir menabrak seseorang yang berdiri di koridor. Nadira. Dia mengenakan kaus longgar dan celana pendek, rambut panjangnya diikat asal, tapi tetap saja dia terlihat menawan dengan kulit putihnya yang berkilau di bawah lampu koridor.“Pagi, Mas Bima,” sapa Nadira, tersenyum canggung. Tangannya memegang tas belanja kain, sepertinya baru mau ke pasar pagi.“Pagi, Mbak Nadira,” jawabku, mencoba santai meski jantungku sedikit berdegup kencang mengingat kejadian malam itu. “Mau ke pasar?”“Iya, mau beli bahan makanan. Stok di rumah sudah habis,” katanya, matanya sebentar menatapku sebelum beralih ke lantai. “Mas Bima mau kerja ya?"“Iya, Mbak. Bia

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 15. Bertemu mantan

    Tidak terasa sudah siang hari, matahari mulai terasa panas di kulitku. Aku duduk di karpet dapur, melihat Alisa dan ibu masih menikmati makanan yang kubeli. Perutku kenyang, tapi aku merasa sedih. Mungkin aku akan tinggal di sini sampai sore, sebelum kembali ke Jakarta. Tapi sebelum pergi, aku rindu tempat-tempat di sekitar kampung. Dulu, aku sering naik ke bukit dekat rumah, melihat pemandangan seluruh desa dari atas. Aku melirik Alisa, yang masih lahap dengan ayam gorengnya.“Lis, temani Aa ke bukit yuk. Udah lama gak ke sana,” ajakku, tersenyum.Alisa matanya berbinar. “Boleh, A! Bentar, aku siap-siap dulu.”Sementara Alisa bersiap, aku pergi ke dapur. Ibu sedang mencuci beras, tangannya basah dan wajahnya masih agak pucat dari kejadian rentenir tadi. “Bu, aku sama Alisa mau ke atas bukit dulu ya. Udah lama gak ke sana sebelum pulang,” kataku.Ibu mengangguk, tersenyum tipis. “Silakan, Bim. Hati-hati ya.”“Iya, Bu,” jawabku, merasa sedikit lebih ringan.Alisa datang, sudah bergant

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 14. Keluargaku yang memprihatinkan

    “Ibu jangan bilang gitu. Ibu gak pernah bikin aku susah. Justru aku yang belum bisa bikin Ibu bahagia,” kataku, suaraku bergetar.Ibu menggeleng. “Nggak, Bim. Kamu anak Ibu yang paling baik, soleh, dan penurut. Kamu gak pernah bikin Ibu kecewa. Bim, memangnya kamu gak kerja di gym?”“Nggak, Bu. Kebetulan libur, makanya aku ke sini. Alisa mana, Bu?” tanyaku, mencoba mengalihkan suasana.“Masih sekolah, sebentar lagi pulang,” jawab ibu, wajahnya sedikit cerah.Aku duduk di karpet ruang tamu, memandang sekeliling. Rumah ini kecil, tapi penuh kenangan. Warung ibu di depan tapi aku lihat dagangannya kosong. Ibu menjual kebutuhan pokok seperti, gula, minyak goreng, bumbu dapur, dan jajanan anak-anak, tapi dagangannya sepi karena saingan dengan warung lain yang lebih lengkap. Aku yang menyarankan ibu buka warung, berharap dia punya penghasilan tambahan, tapi kenyataan tak semudah itu.“Ibu kenapa gak bilang kalau punya hutang sama mereka?” tanyaku pelan.“Ibu gak mau merepotkanmu, Bim. Dua b

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 13. Pulang kampung

    Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Mbak Dini memelukku erat, tangannya di pinggangku, dan air mata masih membasahi pipinya. Aku ingin melepaskan pelukannya, tapi tatapan matanya yang penuh kesedihan membuatku luluh. Jarak kami hanya beberapa senti, napasnya hangat di wajahku.Entah bagaimana awalnya, bibir kami mendekat, aku bahkan tidak yakin siapa yang memulai. Yang jelas, kami berciuman, singkat namun penuh gejolak, seperti ada sesuatu yang terlepas dari kendali.Aku tersadar, buru-buru melepaskan diri, dan Mbak Dini melakukan hal yang sama, wajahnya memerah. Aku melirik jam sudah pukul sepuluh malam, sesuai batas waktu yang dia sebutkan tadi.“Mbak, ini sudah jam sepuluh. Aku harus kembali ke unitku,” kataku, suaraku serak, berusaha menutupi kegugupan.“Iya, Bim, makasih ya. Salam buat ibumu di kampung,” balas Mbak Dini, tersenyum kecil, tapi matanya masih berkaca-kaca.“Terima kasih, Mbak. Akan kusampaikan,” jawabku, lalu buru-buru keluar dari unitnya.Begitu pintu tertutup

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 12. Tangisan Mbak Dini

    Akhirnya, aku menyerah. “Gini, Mbak, aku mau jual televisi. Mbak berminat gak?”Mbak Dini mengerutkan dahi. “Memangnya buat apa kamu sampai mau jual televisi?”“Buat ibuku di kampung. Hari Minggu besok aku mau pulang,” jawabku apa adanya.“Berapa yang kamu butuhkan?” tanyanya, serius.“Lima ratus ribu aja, Mbak. Televisiku udah tua dan dulu belinya juga murah,” kataku.Mbak Dini bangkit, masuk ke kamar, lalu kembali dengan dompet. Dia menyerahkan setumpuk uang. “Ini, terima.”Aku menghitungnya, satu juta! “Ini kebanyakan, Mbak. Aku cuma butuh lima ratus ribu,” kataku, mencoba mengembalikan sisanya.“Gak apa-apa, ambil aja semua. Takutnya kurang,” balasnya, menolak uangku."Tapi Mbak...." Aku merasa gak enak, berusaha mengembalikan uangnya.Dia menggenggam tanganku, agar uangnya tetap aku pegang. "Ambil saja, Mbak yakin pasti kamu membutuhkannya."Aku merasa lega, rezeki datang tak terduga. “Terima kasih banyak, Mbak. Kalau gitu, aku ambil televisinya sekarang.”Saat aku hendak berdiri

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 11. Sentuhan Mbak Dini

    Jam pulang tiba, tapi aku tidak langsung ke apartemen. Aku duduk sejenak di halte, memikirkan cara dapat uang tambahan. Kerja di gym akhir pekan memang membantu, tapi masih kurang. Akhirnya, aku naik bus menuju apartemen, pikiranku masih kacau.Saat tiba di lobi apartemen, aku bertemu Mbak Dini yang baru turun dari taksi, membawa tas kertas dan tas jinjing. Blazer merahnya sedikit terbuka, memperlihatkan kaus ketat yang membingkai lekuk tubuhnya. Rambut pendeknya sedikit acak-acakan, tapi wajahnya tetap menawan dengan riasan tebal yang khas.“Hei, Bim, baru pulang?” sapanya, tersenyum lebar.“Iya, Mbak,” jawabku, mencoba santai meski badanku lelah.“Kok kelihatan gak semangat? Ada apa?” tanyanya, matanya penuh perhatian saat kami masuk lift bersama.“Gak apa-apa, Mbak. Cuma capek kerjaan di kantor,” bohongku, tak ingin cerita soal keuangan.Lift bergerak, dan tiba-tiba Mbak Dini menyentuh tanganku. “Mau Mbak pijitin? Mbak bisa mijit, lho,” katanya, suaranya lembut tapi ada nada genit

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status