LOGINAku memang bukan lelaki polos yang nggak pernah nonton video panas di situs dewasa, tapi siapa sangka kalau tenyata salah satu wanita di situs dewasa itu adalah tetanggaku sendiri?!
View More“Ahh … sial bodynya bagus banget,” geramku sambil terus mengurut pusakaku yang telah tegak sempurna.
Setelah pulang kerja tadi, tiba-tiba hujan turun cukup deras. Karena merasa bosan dan bingung harus melakukan apa, aku malah iseng membuka situs OF yang berisi konten-konten dewasa, sampai akhirnya aku menemukan salah satu akun seorang wanita yang sangat menggoda.
Setelah melihat aksi gila wanita dengan paras cantik, pinggang ramping, dan buah dada yang besar itu, seketika si Gatot langsung bangun. Mau tidak mau aku harus menuntaskan hasratku.
“Shh .. ahhh …”
Aku terus mendesah nikmat, membayangkan wanita yang sedang memainkan sebuah dildo besar di pusat kenikmatannya itu sedang bergoyang di atasku.
Merasa tidak nyaman karena celanaku masih menggantung di lutut, aku buru-buru melepasnya. Kemudian, aku kembali duduk di kasur, setengah berbaring. Tangan kanan memegang ponsel sementara tangan kiri kembali mengurut si Gatot.
Mataku sesekali terpejam merasakan sensasi nikmat ini. Andai saja wanita itu benar-benar sedang bergoyang di atasku, pasti aku bisa melihat langsung dada besarnya itu naik turun tepat di depan mataku.
“Ahh … sayang … enak kan?” tanya wanita itu di dalam video yang kutonton.
Refleks aku langsung mengangguk dan menjawab, “Iya … enak banget … uhh.”
Wanita itu tampak semakin melebarkan kakinya, memperlihatkan area nikmatnya yang telah basah dan bengkak hingga tampak memerah.
Punggungnya bersandar pada sofa merah yang ada di belakangnya. Tubuhnya setengah tidur, replika kejantanan pria yang sedari tadi ia gesekkan ke pusat sensitifnya itu beralih ke mulutnya. Dengan tatapan sensual, dia mengulum benda panjang besar itu sambil terus mendesah nikmat.
Astaga …
Semua gerakannya benar-benar membuatku semakin gila.
Aku terus mengurut milikku yang terasa semakin keras dan berkedut. “Ahh … ini gila …”
“Sayang … aku mau di atas, boleh ya?” kata wanita itu di dalam video, seolah benar-benar tahu apa yang kuinginkan.
“Boleh … boleh sayang,” jawabku langsung, benar-benar seperti orang yang sudah kehilangan akal.
Aku langsung membenarkan posisiku, membayangkan wanita itu benar-benar naik ke tubuhku.
Sementara itu, aku melihat wanita itu memposisikan mainan itu di lantai dan dia mulai berjongkok di atas mainan itu. Tangan kirinya mengarahkan ujung mainan itu tepat ke lubang nikmatnya, lalu tubuhnya turun perlahan.
Seketika itu juga, aku merasa tubuhku ikut merinding dan bergetar, seolah milikku lah yang sedang memasuki lubang nikmat itu.
Aku menggenggam erat si Gatot, merasa itu seolah milik wanita itu lah yang sedang meremas milikku.
“Nghhh … besar sekali sayang …” lenguh wanita itu sambil memejamkan matanya.
Aku pun merasakan hal yang sama.
“Shh … sial … ahh rasanya seperti asli,” gumamku sambil terus membayangkan setiap gerakan wanita itu.
Aku benar-benar merasa bahwa apa yang aku lihat di dalam video itu sedang terjadi padaku. Bahkan, suara hujan dan petir yang sedari tadi muncul dari balik dinding tipis apartemen murah ini sama sekali tidak mengganggu fokusku.
Wanita itu tampak mulai bergoyang naik turun. Benar-benar seperti yang kubayangkan jika dia ada di atasku. Dada besarnya bergelantungan, wajahnya sayu menahan nikmat, suaranya terus mendesah keenakan.
Sementara itu, aku terus mengocok batang kerasku. Sedikit lagi dia akan memuntahkan lahar panasnya.
“Ahh … enak banget sial …”
Milikku terasa semakin membesar dan berkedut, tubuhku mulai bergetar, sedikit lagi aku akan sampai.
“Shhh … dikit lagi …”
Ketika aku merasa puncak itu sudah di depan mata, tiba-tiba—
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuatku menghentikan aktivitasku sejenak. Namun, sesekali tanganku masih mengurut milikku.
“Ah siapa sih ganggu aja!” gerutuku, mencoba tak peduli dan kembali melanjutkan kegiatan nikmatku.
Namun, pintu kembali diketuk.
Tok! Tok! Tok!
Kali ini, orang itu malah lebih keras mengetuk pintu apartemenku.
“Argh! Kalau sampai gak penting awas aja!”
Buru-buru aku memakai kembali celana pendekku lalu segera keluar dari kamar. Namun, lagi-lagi orang itu mengetuk pintuku tidak sabaran.
“Iya .. iya tunggu sebentar!” kataku agak keras dengan napas masih tersengal dan keringat yang memenuhi dahiku.
Ketika aku membuka pintu apartemenku, mataku langsung menangkap seorang wanita cantik sedang berdiri di depan pintu.
Seketika aku membeku.
Wanita itu mengenakan tanktop putih yang ketat, memperlihatkan lekuk tubuhnya dan bentuk dada yang penuh, dan celana pendek denim yang sangat pendek, nyaris memperlihatkan lekuk pantatnya yang bulat. Kakinya panjang dan mulus, seolah baru saja dioles lotion, berkilau di bawah cahaya lampu koridor.
Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang, tapi sulit sekali. Dia cantik, terlalu cantik, dan tunggu …
Kenapa wanita ini terasa sangat mirip sekali dengan wanita di video yang baru saja membuatku hampir kehilangan akal?
Aku mengucek mataku sekilas, barangkali aku berhalusinasi, tapi hasilnya tetap sama!
Apa wanita ini memang wanita yang di video OF tadi?
Ketika aku masih bingung mencerna pikiranku, wanita itu tiba-tiba berkata, “Maaf ganggu malam-malam, Mas. Saya boleh minta tolong nggak ya?”
Matanya menatapku, tapi setelah itu dia melirik ke bawah, ke arah celanaku, lalu tersenyum aneh.
Aku langsung sadar, tonjolan di celana pendekku masih ada, jelas sekali, dan dia pasti melihatnya.
Sial!
Si Gatot masih bangun!
Benar-benar definisi gagah berotot, gak gampang tidur!
“Tu–tunggu sebentar!” kataku lalu buru-buru masuk dan menutup pintu apartemenku.
Tepat pukul 12.30 siang, aku sudah rapi. Aku mengenakan kemeja biru muda yang baru kusetrika dan celana khaki rapi. Penampilan yang kontras dengan pakaian olahraga yang belakangan menjadi seragamku. Aku memesan ojek online menuju Kafe Sore Senja.Kafe itu terletak tidak jauh dari gedung kantor arsitekturku dulu, tempat yang ironis, mengingat alasanku bertemu dengannya justru karena aku sudah resign.Aku tiba lima menit sebelum waktu yang ditentukan. Kafe itu elegan, dengan dominasi kayu gelap dan jendela besar. Aku melihat Renata sudah duduk di meja sudut, menghadap ke jendela, tampak anggun dan berwibawa seperti biasa. Dia mengenakan blazer berwarna beige yang mahal dan rok pensil, rambut panjangnya tergerai rapi.Dia mengangkat tangannya sedikit ketika melihatku.“Halo, Mbak Renata,” sapaku, menarik kursi di depannya.“Bima. Tepat waktu, seperti biasa. Silakan duduk.” Suaranya lebih tenang daripada saat di telepon, tetapi matanya yang tajam seolah menganalisis setiap gerak-gerikku.
Aku keluar dari gym tepat pukul tiga sore. Meskipun shift pagiku berakhir lebih awal, janji dengan Mbak Dini dan Ardi harus kupenuhi. Ardi baru pulang dari kantor pukul lima sore, jadi aku memutuskan untuk kembali ke apartemen terlebih dahulu.Setibanya di unit, aku langsung menghubungi Ardi.“Di, lu langsung ke apartemen gue aja ya habis pulang kantor. Jangan kemana-mana dulu.”“Oke, Bro. Tumben, ada apa? Mau langsung ke salon Mbak Dini?” tanya Ardi di seberang telepon.“Iya. Sekalian nanti kita siap-siap sebentar di sini.”“Siap. Gue gaspol pulang, Bro. Lima belas menit lagi gue sampai.”Aku mengisi waktu dengan mandi dan menyiapkan diri. Setelah mandi, aku duduk di sofa sambil memikirkan janji dengan Renata besok, dan uang Rp 20 juta darinya. Tiba-tiba, uang sebesar itu datang kepadaku dalam dua hari berturut-turut. Rasanya seperti mimpi, tetapi mimpi yang datang dengan konsekuensi.Pukul setengah enam petang, Ardi sudah tiba di unitku. Dia merebahkan diri di sofa, wajahnya terliha
“Bagus. Satu hal lagi, Bima. Mengenai uang itu, ada sesuatu yang harus kamu lakukan untukku. Detailnya, besok aku jelaskan.”Panggilan diputus. Aku menatap layar ponselku yang kini gelap. Perasaan tidak enak mendadak menghimpit. Perasaan bersalah karena mengambil uang itu, rasa takut akan apa yang akan diminta Renata, dan kebingungan atas perhatian tersembunyi dari wanita yang kaku ini.Renata, anak konglomerat yang kesepian, kini menjeratku dengan kekayaan dan perhatian yang tersembunyi.Aku berjalan ke kamar, merebahkan diri di kasur. Bayangan Nadira di pos satpam dan suara Renata di telepon terus berputar di kepala. Malam itu, aku sulit tidur. Jauh di lubuk hati, aku sadar: aku baru saja menjual sedikit dari ketenangan hidupku demi uang, dan kini harus menghadapi konsekuensinya—konsekuensi yang bisa jadi melibatkan identitas tersembunyi dan harem yang semakin rumit.Pagi itu, aku bangun dengan perasaan yang jauh lebih ringan. Meskipun bayangan Nadira di pos satpam dan pesan dari Re
Aku menekan kirim. Segera setelah itu, aku menyimpan ponselku. Keputusan sudah dibuat. Sekarang, aku harus bersiap untuk shift siang.Aku keluar dari ruang ganti, dan kebetulan Bang Hadi baru saja datang untuk mengambil alih shift siang.“Bim, gimana shift pagimu? Lancar?” tanya Bang Hadi, menepuk bahuku.“Lancar, Bang. Pengunjung semakin ramai,” jawabku.“Bagus. Oh ya, aku sudah dengar dari Didi soal Nadira. Dunia ini memang sempit ya. Tapi kamu profesional, Bim. Pertahankan itu, jangan mengganggu pekerjaanmu.” ujar Bang Hadi, tersenyum penuh arti.Aku hanya mengangguk, sedikit terkejut bahwa gosip tentang Nadira sudah menyebar secepat itu bahkan sampai ke pemilik gym.Tapi dari awal, aku merasa Bang Hadi memang tahu tentang profesi Nadira. Aku yakin, jika antara mereka sudah pernah berhubungan. “Aku pulang dulu, Bang. Sampai ketemu besok pagi.”“Hati-hati, Bim!”Aku keluar dari gym, melangkahkan kaki menuju pinggir jalan. Namun, baru beberapa langkah, ponselku bergetar. Sebuah noti
“Pagi, Bu. Tentu saja, sudah siap. Hari ini kita fokus latihan kaki,” jawabku profesional, meskipun gestur dan tatapannya sedikit menggangguku.Kami memulai sesi. Latihan kaki memang berat, dan dia mulai mengeluh.“Aduh, Mas Bima, berat banget! Enggak kuat…” rintihnya manja, lalu tiba-tiba meletakkan tangannya di lengan bawahku yang sedang tegang menahan beban.Aku segera menarik lenganku dengan sopan. “Tahan, Bu. Sedikit lagi. Ingat, reps terakhir adalah yang paling berharga.”Dia kembali fokus, tetapi matanya tidak lepas dari tubuhku. Saat dia beristirahat, dia mulai menggoda lagi.“Mas Bima ini ya, kalau di kantor arsitek, kan, pakai kemeja. Enggak kelihatan segagah ini. Saya jadi suka salah fokus, nih,” katanya, mengedipkan mata, suaranya dibuat serendah mungkin.Aku tahu dia hanya bercanda, tetapi aku harus menjaga batas profesionalitas. “Terima kasih atas pujiannya, Bu. Tapi, fokus pada otot kaki yang sedang bekerja. Kalau enggak, latihannya enggak akan maksimal.”Dia tertawa re
Aku menunduk sedikit ke telinganya. “Dengar baik-baik. Jangan pernah sakiti Sabrina lagi. Kalau sampai aku dengar kamu ulangi ini… paham?” “I-iya bang… iya…” Aku melepaskannya. Dia langsung kabur. Tidak menoleh. Sabrina mendekat sambil memegang kedua tanganku. Wajahnya khawatir. Lembut. “Kamu nggak apa-apa kak? Terima kasih, sudah bantu aku.” Aku tersenyum kecil. “Sama-sama. Yang tadi pacarmu?” Dia mengangguk pelan. “Iya… aku sudah lama mau putus, tapi dia nggak mau. Dia kasar, posesif. Aku capek sebenarnya…” Aku menggenggam tangannya. Bukan romantis, lebih seperti memastikan dia sadar bahwa dia tidak sendirian. “Sabrina… kamu harus tegas. Orang yang kasar nggak akan pernah bisa berubah, dia pasti akan tetap seperti itu. Yang ada kamu makin sakit.” Dia menunduk. “Aku tahu… tapi aku takut dia bakal datang lagi.” “Dia satu kampus sama kamu?” tanyaku. “Nggak. Dia udah lulus.” Dia mengelap pipinya, menarik napas. Lalu melirik kantung belanjaanku. “Kak, kakak habis dari mana?
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments