Aku cuma ingin membantu memperbaiki kran air milik tetanggaku. Tapi malam itu, dia menarikku ke ranjangnya... dan sejak itu, istri-istri di apartemen ini tak pernah berhenti mencariku.
Lihat lebih banyak“Ada nasi di bibirmu, Bim,” kata Mbak Renata, suaranya pelan tapi jelas.Aku membuka mata, wajahku langsung panas. Astaga, aku kira apa! Semenjak putus dengan pacarku, pikiranku jadi kotor, selalu ke arah yang aneh-aneh dan mudah sekali terangsang.“Terima kasih, Mbak,” gumamku, berusaha menutupi rasa malu.Kalau saja disini ada lubang, rasanya aku ingin bersembunyi di sana saking malunya.Mbak Renata tersenyum tipis, lalu memanggil pelayan untuk membayar makanan. Kami berjalan kembali ke kantor, dan aku berusaha fokus ke trotoar di depanku, menghindari tatapan Mbak Renata yang sesekali melirikku.Di kantor, aku kembali ke mejaku, melanjutkan revisi denah yang hampir selesai. Hingga tidak terasa, sebentar lagi tiba waktunya pulang.Pak Hadi, manajer kami, belum pulang masih di ruangannya. Dia orang yang tegas, selalu buru-buru, dan maunya semua beres cepat. Orang bilang dia perfeksionis. Aku fokus ke layar komputer, mencoba melupakan momen canggung tadi di restoran. Lalu Mbak Renata m
Pagi harinya, aku bangun dengan kepala sedikit pusing. Mungkin karena tidurku cuma sebentar, pikiranku penuh dengan bayangan semalam. Aku berharap itu hanya mimpi, aku sudah melakukan kesalahan yang besar.Aku masih ingat Mbak Nadira yang begitu sangat agresif, ia seperti orang lain. Mungkin akibat sudah lama di tinggal suaminya, ia sangat kesepian sehingga ia melampiaskan nafsunya padaku.Aku buru-buru mandi, mengenakan kemeja putih dan celana bahan, lalu berlari ke lift. Tidak pernah ada waktu untuk sarapan, bahkan ruangan ini cukup berantakan. Di dalam lift, aku bertemu Dini lagi, tetangga yang sama-sama membuatku gagal fokus.Dia berdiri dengan blazer biru tua yang ketat, memamerkan lekuk tubuhnya yang padat, dan rok pendek yang memperlihatkan paha mulusnya. Rambut pendeknya rapi, tapi riasan tebalnya memberi kesan jika itu memang gayanya.“Pagi, Mbak Dini,” sapaku, masuk ke lift dan berdiri di sisi lain.“Pagi, Mas Bima,” balas Dini, senyumnya lebar. Dia memandangku sekilas, lalu
“Ini kopinya, Mas. Maaf ya agak lama,” ujar Nadira, tiba-tiba sudah berdiri di dekatku, memecah lamunanku.Dia menunduk untuk menaruh cangkir kopi di meja depanku, dan saat itu daster bagian depannya ikut turun, memperlihatkan belahan dada yang lembut di bawahnya. Aku menahan napas, berusaha keras untuk tidak menatap.“Eh? Mas Bima kenapa mukanya begitu?” tanya Nadira, suaranya kaget, tapi ada senyum kecil di wajahnya saat dia melihatku yang jelas-jelas tegang.“Hah? Oh… gak, Mbak. Kayaknya aku mulai ngantuk,” jawabku terbata, berusaha tenang. “Makasih kopinya, Mbak. Aku minum ya.”Nadira mengangguk, tersenyum, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku. “Enak gak kopinya? Apa mau ditambah susu?” tanyanya, suaranya lembut tapi ada nada genit yang sulit kulewatkan.“Uhuk!” Aku terbatuk pelan, bukan cuma karena kopi yang masih panas, tapi juga karena ucapan Nadira yang bikin jantungku melompat. “Eh, kenapa, Mas?” Nadira panik, buru-buru mengambil tisu dan mengelap bibirku.Tangannya
Sialnya, padahal sedang buru-buru, tapi pikiranku tertuju pada buah dadanya Mbak Dini, seperti sengaja menyapa pagi ini dengan dua botol susu.Namun, aku tak mau begitu memikirkannya dan langsung menuju halte bus agak berlari, sebelum bus ke kantor pergi. Aku sudah terbiasa lari-lari seperti ini, anggap saja pemanasan agar pikiran kotorku hilang.Untungnya, aku sampai di kantor tepat waktu, meskipun sedikit ngos-ngosan. Kantor tempatku bekerja bukanlah gedung megah seperti kantor pada umumnya.Hanya ruangan sederhana di lantai tiga gedung tua di kawasan Senen. Meja-meja penuh kertas sketsa, monitor komputer yang sudah agak buram, dan aroma kopi instan yang selalu menguar dari pantry kecil di sudut. Aku suka suasana ini, sederhana tapi hidup, meski kadang bikin sesak kalau semua orang buru-buru ngejar deadline.Aku duduk di mejaku, menyalakan komputer, dan mulai memeriksa email. Beberapa draft proyek baru sudah masuk, kebanyakan revisi kecil dari klien yang gak pernah puas.Aku membuka
Begitu sadar, aku langsung menarik tanganku cepat-cepat, seolah tersengat listrik. “Maaf! Saya … saya nggak sengaja,” ucapku terbata, wajahku memerah hebat. Nadira menunduk, wajahnya juga memerah, lalu berdiri sambil membetulkan dasternya. “Gak apa-apa, Mas…” bisiknya lirih. Tapi kami masih berdiri di sana, seperti menikmati rasa canggung dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Akhirnya, aku tersadar. “Saya … saya pulang dulu ya, Mbak.” Tanpa menunggu respon Nadira, aku berjalan cepat menuju unit apartemenku. Begitu masuk, aku menyandarkan tubuhku ke pintu. Aku menelan ludah, jantungku berdetak kencang. Aku mengangkat tanganku, menatapnya lekat, seolah masih bisa merasakan tekstur tubuh Nadira. Dan tiba-tiba— “Ah, sial!” seruku kesal, merasakan sesuatu yang mendadak bangun di bawah sana. Tentu saja aku lelaki normal yang bisa terangsang karena hal seperti itu! Sambil mengusap wajahku, aku berjalan ke kamar mandi. Aku berharap guyuran air dingin bisa mengusir pikiran
Malam itu, gerimis sedang mengguyur Jakarta sejak sore tadi, membuat udara terasa lebih dingin. Apalagi, apartemen yang kutinggali ini bukan tipe yang mewah, jelas dinding dan jendelanya bukan tipe yang bisa menghalau udara dingin.Aku meringkuk di ranjang karena kedinginan. Jelas tidak ada yang memelukku karena aku tinggal seorang diri. Sampai akhirnya, aku mendengar suara pintu apartemenku diketuk, membuatku langsung bangkit dan membuka pintu.“Maaf, Mas … boleh minta tolong?” Wanita itu berkata sambil membenahi bagian buah dadanya, suaranya agak mendesah sambil menggigit bibir bawahnya. Aku terpaku menatapnya, mataku tidak lepas dari buah dadanya yang menonjol besar. Dia mengenakan daster longgar yang sedikit basah, menempel di tubuhnya sehingga lekuk tubuhnya terlihat jelas. Wajahnya cantik, dengan keringat tipis di dahi dan rambut panjang lurus yang tergerai, sedikit basah.Aku menelan ludah, entah kenapa pikiran liar itu langsung terlintas di pikiranku. Apa aku sedang bermimpi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen