Home / Urban / Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku / Bab 22. Malam yang mengancam

Share

Bab 22. Malam yang mengancam

last update Last Updated: 2025-08-18 00:57:04

“Iya Bima, silahkan,” jawab Pak Hadi.

“Sekarang kan desain kita menjadi yang terbaik, alangkah baiknya jika tempat kerjanya juga di renovasi lagi agar terlihat lebih menarik. Karena dari luar, kantor ini juga terlihat kurang menarik sudah banyak dinding yang retak, cat dindingnya yang sudah mengelupas kadang bocor dan masih banyak lagi. Kita bekerja membuat desain bangunan dan rumah mungkin jika kantor kita bangunannya juga menarik, saya yakin ini akan meningkatkan kualitas kantor kita dimata mereka,” kataku.

Ardi menimpali, “Setuju Pak, kalau kantornya nyaman, kita juga kerjanya akan lebih semangat.”

Yang lain pun setuju. Pak Hadi mengangguk. “Semuanya harap tenang, akan saya pertimbangkan pendapat Bima. Memang sejak awal kantor ini kita tempati langsung dan belum pernah di renovasi sebelumnya. Nanti jika proyek kita semakin meningkat, tempat ini akan segera di renovasi dan untuk desainnya saya serahkan pada Bu Renata, bagaimana pendapatmu Bu Renata?”

“Saya setuju dengan pendapat Bim
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 31. Perjanjian yang mencekik

    Aku meminta Alisa agar kembali sekolah. “Lis, besok sekolah lagi, ya. Ibu pasti baik-baik saja sama Aa.”Alisa menggeleng awalnya. “Gak mau, Aa. Aku mau jaga Ibu.”Ibu ikut membujuk. “Lis, dengar kata Aa. Ibu sudah mendingan, kamu harus sekolah biar pintar.”Akhirnya Alisa percaya dan setuju, meski matanya masih ragu. “Iya, Bu, Aa. Tapi janji Ibu cepat sembuh.”Lalu setelah itu, saat malam harinya, Ibu sudah tidur dan Alisa tidur bersama Ibu, meringkuk di sampingnya di ranjang sempit. Rumah sunyi, hanya suara jangkrik dari luar dan hembusan angin yang menyusup lewat celah dinding.Aku duduk di kursi kayu usang di ruang tamu, lampu bohlam kuning menyinari surat dari Bu Mirna yang belum kubaca sepenuhnya. Aku penasaran, tapi juga takut.Akhirnya, aku membukanya lagi. Di dalam surat itu ada perjanjian resmi, dengan cap materai dan detail angka yang membuat mataku melebar. Ada rincian uang yang sudah dipakai untuk Ibu: biaya operasi yang puluhan juta, rawat inap selama seminggu, obat-oba

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 30. Merawat Ibu

    Aku senang akhirnya Ibu bisa kembali pulang ke rumah, kondisinya masih lemah setelah operasi. Dokter sudah menjelaskan bahwa pasca-operasi stroke ringan seperti ini, Ibu akan mengalami kelelahan ekstrem, mungkin mual ringan, sakit kepala, dan kesulitan bergerak di sisi tubuh yang terpengaruh.Pemulihan awal bisa memakan waktu 3-6 bulan untuk kembali normal sepenuhnya, dengan terapi fisik untuk menguatkan sisi tubuh yang lemah, obat pengencer darah untuk mencegah kambuh, dan diet rendah garam serta lemak.Ibu harus banyak istirahat, menghindari aktivitas berat, dan minum obat tepat waktu.Di rumah kecil kami yang berdinding bata tanpa cat, dengan atap genting yang sedikit bocor, aku dan Alisa langsung mengambil alih semua tugas.Aku membersihkan rumah yang sedikit berdebu setelah ditinggal seminggu, mencuci pakaian di sungai belakang sambil berendam keringat di bawah matahari terik, dan memasak makanan sederhana.Alisa membantu menyapu lantai tanah yang dingin dan mencuci piring dengan

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 29. Surat perjanjian

    Aku juga menghubungi Mbak Renata, mengingat dia mungkin menungguku pagi ini. “Mbak, maaf, hari ini saya gak masuk. Ibu saya sakit, lagi dirawat di rumah sakit.” “Astaga, Bim, serius? Ibu kamu baik-baik aja? Apa yang terjadi?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran. “Stroke ringan, Mbak. Tadi malam dioperasi, sekarang kondisinya membaik, tapi masih belum siuman,” jelasku. “Ya Tuhan, Bim, semoga cepat sembuh. Kalau perlu apa-apa, bilang, ya,” kata Mbak Renata. “Terima kasih, Mbak,” jawabku, lalu menghubungi Bu Mirna. “Bu, Ibu sudah dipindahkan ke ruang inap. Masih belum siuman, tapi dokternya mengatakan jika kondisinya membaik.” “Syukurlah, Bim. Aku segera ke sana,” balas Bu Mirna. Aku menoleh ke Alisa, yang terlihat lemas. “Lis, kamu belum makan dari kemarin. Ayo makan dulu, biar kuat.” “Gak mau, Aa. Aku mau di sini sama Ibu,” tolaknya, suaranya lemah. “Lis, Ibu pasti gak mau kamu sakit. Ayo, Aa beli makan dulu ya,” bujukku. Setelah dibujuk panjang, Alisa akhirnya mengangguk.

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 28. Operasi Ibu

    Setelah berjam-jam menunggu dalam kecemasan yang mencekik, pintu ruang operasi akhirnya terbuka. Dokter keluar dengan wajah lelah tapi tenang, melepas masker bedahnya. Aku, Alisa, dan Bu Mirna yang sedang duduk di kursi ruang tunggu langsung berdiri dan menghampirinya, jantungku berdegup kencang seperti drum perang.“Bagaimana kondisi Ibu, Dok? Bagaimana operasinya?” tanyaku, suaraku serak karena cemas.Dokter tersenyum tipis, tanda kabar baik. “Operasinya berjalan lancar. Untungnya Bu Dewi segera dibawa ke rumah sakit. Telat sedikit saja, bisa berakibat fatal karena penyumbatan di pembuluh darah otaknya cukup serius.”Aku menghela napas lega, seperti beban besar terangkat dari dadaku. “Syukurlah kalau begitu, Dok. Lalu, apa aku bisa menemuinya?”“Tenang, Tuan. Untuk saat ini, Bu Dewi masih dalam pengaruh obat bius dan perlu dipantau. Dia akan dipindahkan ke ruang inap dalam beberapa jam untuk istirahat dan pemulihan. Setelah stabil, kalian bisa menjenguk, tapi pastikan tidak menggang

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 27. Ibuku sakit

    Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah dan tawa pelan. Mbak Dini mendekat, tapi dia tidak sendiri. Di sampingnya ada seorang wanita yang tidak kukenal, penampilannya mencolok dengan makeup tebal dan pakaian seksi: dress merah ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, sepatu hak tinggi, dan anting besar yang berkilau.“Bima, sedang apa kamu di sini? Kenapa kamu terlihat gelisah?” tanya Mbak Dini, alisnya terangkat.Aku tidak punya pilihan lain. Mungkin Mbak Dini bisa membantu. Aku tidak peduli apa konsekuensinya, yang penting ibuku selamat.“Mbak Dini, tolong aku. Barusan adikku telepon dari kampung, ibuku pingsan, dan aku harus segera pulang, tapi aku…” kataku, suaraku tercekat.Mbak Dini mengerti maksudku. “Astaga, jadi kamu mau pulang sekarang? Tapi ini sudah mau malam. Dimana alamat rumah kamu di kampung?”Aku menjelaskan bahwa rumahku di pedalaman Kabupaten Bandung, cukup terpencil, jauh dari kota.Wanita di samping Mbak Dini tiba-tiba angkat bicara. “Kalau gitu, Mas, pakai mobilk

  • Rayuan Maut Istri-istri Tetanggaku   Bab 26. Perhatian Mbak Renata

    Aku ragu. “Gak usah, Mbak, aku makan di pantry aja,” tolakku sopan.Sebenarnya aku tidak enak karena dia leaderku, apalagi dengan gosip tentang kami yang sudah beredar. Dan aku harus berhemat untuk ibu, makan di restoran terlalu mahal untukku dan aku tidak mampu untuk makan di restoran mewah.Mbak Renata seperti membaca pikiranku. “Aku yang traktir, Bim. Sekalian kita bahas proyek tadi. Ayo, jangan nolak,” katanya, nadanya tegas tapi ramah.Aku akhirnya menyerah, mengikuti Mbak Renata ke mobilnya. Kami pergi ke restoran steak daging terdekat, suasananya elegan dengan meja kayu dan lampu temaram. Kami memilih tempat duduk di sudut, jauh dari keramaian. Aku memesan steak sederhana, sementara Mbak Renata memilih menu dengan salad.Pelayan meletakkan piring berisi daging panggang yang menggoda, tapi aku bingung dengan garpu dan pisau di tanganku. Maklum, aku orang kampung, biasa makan dengan tangan atau sendok. Aku memperhatikan cara Mbak Renata makan, memotong daging dengan anggun, dan m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status