Pagi itu, dia terbangun dengan mendahului ayam jantan yang baru saja mengumpulkan niat untuk berkokok.
Ia memerlukan waktu beberapa saat untuk mengumpulkan seluruh kesadarannya dan menghilangkan rasa kantuk. Kemudian ia bangkit, melipat selimut dan meletakkannya di atas bantal yang terletak di kepala tempat tidur.
Setelah memastikan kamarnya rapi, ia berjalan keluar dari ruangan, dan melirik dapur untuk mendapati sosok sang Ibu tengah membungkuk dan menyalakan tungku guna menyiapkan makanan sebagai pengisi perut mereka di pagi hari.
Houran berlari ke sumur di belakang kediaman mereka, lalu membersihkan diri dengan segera.
Udara dingin di kaki gunung berhasil membuat kantuknya sirna seketika.
Hari-hari selalu berjalan dengan cara yang sama seperti ini, karena kakak laki-lakinya telah berkeluarga dan memiliki dua orang anak, kini mereka telah memiliki rumah terpisah dari ayah dan ibu juga dirinya.
Ia menatap ke arah langit di pagi hari, lantas bergumam, "hujan sudah turun sejak dua hari yang lalu, bahkan di pagi hari mendung sudah menanti."
Setelah membersihkan diri, pertama-tama dia akan berjalan ke sebelah dapur, sambil menyapa ibunya, lalu melepaskan empat ekor kambing dan memindahkannya ke kandang di samping rumah. Setelahnya, ia melepaskan ayam-ayam sekaligus memberikan mereka makanan.
Ketika sudah selesai, ia berlari ke arah kebun yang berjarak sepuluh meter dari kediaman mereka, ada banyak sayuran yang ditanam disana.
Pertama-tama ia harus menyirami semua sayuran ini, terutama untuk bawang merah dan sawi, penting untuk dengan rutin menyirami mereka.
Lahan pertanian mereka tidak begitu luas, tetapi setidaknya itu cukup untuk memenuhi kehidupan mereka yang sederhana dan tidak banyak menginginkan sesuatu.
Houran mengusap keringat di dahinya, "huft, menyirami tanaman sudah selesai!"
Sesaat kemudian terdengar teriakan Ibunya dari dalam rumah, "Houran! Jika sudah selesai segera kembali dan makan!"
"Ya Bu, aku segera datang!"
Ia meletakkan alat untuk menyiram di samping kebun, lantas berlari ke arah sumur untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum kemudian masuk ke dalam rumah dan bergabung bersama Ayah dan Ibunya yang telah duduk di atas meja.
Ibunya mengambil piring milik sang Ayah dan mengambilkan nasi serta lauk untuknya, sambil berbicara, "apakah kayu di samping kandang kambing sudah kau potong?"
"Sudah," Ayah mengangguk.
"Atap sumur yang kemarin Houran katakan ada yang bocor itu?"
"Sudah."
"Sepetak tanah pertanian yang sempat kering dan belum kau tanami, sudah kau tanam ubi jalarnya?"
"Aku sudah menanamnya."
"Pintu nenek Uwan yang katanya tidak bisa ditutup sudah kau benahi?"
Sang Ayah hanya menerima sepiring makanannya dan mengangguk untuk mengiyakan. Ia belum mulai memakannya karena menunggu mungkin saja sang istri masih ingin menanyakan hal yang lain.
Houran benar-benar menghargai kesabaran Ayahnya menghadapi sang ibu selama tahun-tahun yang telah berlalu ini. Ia bergegas mengulurkan piring ke hadapan sang Ibu dan menginterupsi pertanyaannya yang tidak kunjung selesai.
"Jika ibu terus bertanya, kapan kita akan makan?"
Ibunya hanya melebarkan mata kepadanya, "kau sendiri, Houran, kambing sudah kau carikan rumput atau belum?"
Houran tidak lagi menatap langsung pada Ibunya, "kita sepakat bahwa kambing akan diberi makan ketika matahari hampir di atas kepala."
"Alasanmu saja. Setelah makan segera cari rumput di tepi hutan."
"Iyaa, Ibu."
"Ayam sudah kau beri makan?"
Houran mengangguk.
"Kandang sapi sudah kau bersihkan?"
Houran terdiam dan meringis melirik Ibunya.
"Kau melupakannya, bukan?"
"Eh, hehe, Ibu tidak bisakah jika kita makan saja dulu?"
Ibunya hampir mengangkat sendok di tangannya untuk memukul kepala Houran yang menunduk dan bersiap makan. "Kau ini sebegini muda tapi sangat pelupa! Apakah kau tidak segera mencari istri juga karena kau lupa bahwa umurmu mulai bertambah tua?"
Houran meringis, "Ibu, aku baru dua puluh empat."
"Semua perjaka di desa ini berhenti menjadi lajang ketika mereka berusia delapan belas, omong kosong apa yang kau lakukan dengan tetap tenang ketika di usia ini kau bahkan tidak dekat dengan siapapun!" Ibunya mulai mengomel lagi kali ini.
Houran menghindari tatapan sang Ibu, "aku hanya belum menemukan gadis yang cocok. Kau tentu tidak ingin memiliki menantu yang tidak dipilih dengan baik-baik, 'kan Bu?"
"Aku sudah memilih banyak sekali anak gadis yang pantas menjadi menantu, hanya kau yang tidak bisa memilih salah satu dari mereka sama sekali!"
"Tetapi Bu, mereka ...."
Ia segera menerima tatapan tajam dari Ibunya, "kau ingin mengatakan pilihan Ibu tidak baik?"
Houran ingin menjambak rambutnya sendiri dan berteriak dengan bentuk yang paling histeris, karena pilihan Ibunya bukannya buruk, tetapi ia tidak bisa menyebut mereka bagus juga.
Pernah, salah satunya adalah seorang anak gadis yatim piatu yang pekerja keras, Houran berpikir gadis ini akan cocok untuknya, hanya untuk mendapati bahwa gadis itu sangat haus dengan uang dan kekayaan.
Melihat Houran tidak lagi membantah, sang Ayah segera menengahi di antara mereka sehingga ketiganya dapat makan dengan tenang dan damai.
Selang beberapa waktu kemudian, setelah membantu sang Ibu membereskan peralatan makan, Houran berpamitan kepada Ibunya untuk mencari rumput di sekitar hutan.
"Bu, aku pergi, jika aku tidak lupa maka aku akan membawakan buah-buahan dari hutan."
Sayangnya, hari itu dia memang tidak lupa, tetapi ia tidak pernah bisa kembali lagi untuk memberikan buah kepada sang Ibu.
Saat itu, Houran sedang memegang setandan pisang yang telah menguning di tangan kiri, ketika mendengar suara gemuruh di dekatnya.
"Itu pasti longsor lagi, selalu begitu setiap musim hujan." Gumamnya sambil bergegas.
Tetapi belum sempat Houran berlari untuk menyelamatkan diri, sebuah tangisan dan rintihan hewan yang samar terdengar tidak jauh dari belakangnya. Dan Houran berbalik untuk menemukan seekor anjing hitam terikat di sebuah pohon pendek dan tampaknya ketakutan dengan longsoran yang mulai meningkat.
Houran tidak bimbang, ia segera berlari ke arah anjing itu dan melepas ikatannya dengan gerutuan tergesa-gesa, "ini pasti ulah Jongyi, anak itu tidak pernah bosan menyiksa hewan! Anjing kecil yang malang."
Hanya sesaat setelah anjing itu bisa dilepaskan dan melesat melarikan diri seketika, Houran yang baru saja akan berlari diterjang oleh longsoran tanah berjumlah besar yang runtuh ke arahnya.
Sebelum semuanya gelap, Houran tau, dia sudah pasti akan mati.
Ia tidak memiliki keluhan, selain kenyataan bahwa ia masih lajang dan tidak meninggalkan keturunan yang diharapkan oleh kedua orang tuanya. Semoga saja, kedua anak dari kakak laki-lakinya sudah cukup untuk mengobati kekecewaan mereka.
Jika ada kehidupan selanjutnya, mungkinkah ia akan mendapatkan pahala untuk kebaikan kecil yang telah ia lakukan ketika menyelamatkan anjing hitam yang kini tidak tahu bagaimana nasibnya itu?
Setidaknya berikan ia uang yang cukup dan juga sebuah keluarga, jika itu bisa mencakup seorang istri dan juga seorang anak, maka itu seharusnya lebih dari cukup.
Itu adalah pemikiran yang terlintas ketika Houran pikir dia akan segera berpindah ke surga.
Meskipun kemudian tidak begitu.
[To Be Continued]
Selepas pulang sekolah hari ini, Houran mendapati bahwa Dage-nya, sudah menunggu di ruang bersantai dan memintanya juga Huan-huan untuk datang kepadanya begitu mereka selesai makan siang. Di Ruang makan, ia bahkan sempat berdiskusi dengan Huan-huan kira-kira apa yang akan di bicarakan oleh saudara pertamanya itu. Juga, tiba-tiba Dokter Fan yang merawatnya sebelumnya itu keluar dari kamar tamu dengan tampilan yang sangat kuyu dan lingkaran hitam tampak di bawah kelopak matanya. Dia ragu-ragu untuk bertanya, "Dokter Fan, kau tidak terlihat baik, mungkinkah kau sedang sakit?" Dokter Fan meneguk segelas air putih, menggosok pinggangnya dan membalas dengan keluhan setelah itu, "aku tidak sengaja mabuk kemarin, dan sekarang seluruh tubuhku terasa seperti baru saja bekerja menabrak pohon berkali-kali." Houran sedikit terheran-heran, "seorang dokter juga boleh m
[Mu Qixuan's Side.] "Jadi?" Ia menyusul duduk di depan pria yang duduk dengan tubuh bersandar pada sofa di seberang. Matanya tertutup, tetapi ia tidak bisa memastikan apakah orang ini memang mengantuk atau hanya terlalu mabuk. Jiang Xu, sekretarisnya berdiri samping sofa, meringis dengan perasaan bersalah. "Maaf, bos. Tapi, Dokter Fan benar-benar menolak kembali jika saya yang membawanya." Jelasnya dengan terbata-bata. Tidak berani untuk menatap langsung sang atasan. Dirinya sendiri juga tidak mengerti mengapa orang mabuk bisa menjadi begitu keras kepala untuk kembali hanya dengan bosnya yang sangat galak. "Sangat merepotkan," ia menendang lutut si pria mabuk. Sangat kesal karena panggilan mendadak yang membuatnya harus berakhir di klub malam ini tanpa memiliki kesempatan untuk menolak. Mengirim sang sekretaris ternyata tidak membantu sama
"Jadi, paman telah mengakui semuanya?" Mu Qixuan menatap kedua orang tuanya dan mencoba untuk menegaskan, setelah mereka semua berkumpul di meja makan dan menunggu keduanya untuk menceritakan asal mula mengapa akhirnya mereka mengurungkan niat untuk berpisah. Nyonya Mei menjadi yang menanggapi pertanyaan itu, "benar, kami berpisah sejak meninggalkan rumah ini hari itu. Aku terlalu cemas memikirkan kemana Ran-ran pergi, dan ayahmu untuk pertama kalinya akhirnya merasa takut bahwa ia mungkin akan kehilangan sesuatu yang sangat penting. Kami sama-sama memiliki kecemasan masing-masing saat itu. Kami tidak bisa berpikir jernih." Ada jeda sejenak. "Bahkan aku sudah menemui pengacara, memutuskan mengambil hak asuh atas Ran-ran. Saat itu, Ā mu menemui satu kesulitan, jika aku membawa Ran-ran, maka itu memisahkannya dari saudaranya. Aku merasa tindakan ini jelas
Houran tidak pernah menduga bahwa apa yang menunggunya di rumah adalah dua sosok yang sebelumnya membuat dia sedih dan hampir menyerah jika mereka benar-benar ingin berpisah satu sama lain, dia sudah ingin menyiapkan beberapa sikap jika pada akhirnya mereka berdua memberikan keputusan perpisahan itu. Dia tidak tahu bahwa mereka akan mengambil keputusan begitu cepat. Fan Lihuan juga menatap kedua orang ini, dan melihat dari kemiripan di antara mereka dengan bocah yang berada di sampingnya, tidak sulit untuk menebak siapa mereka. Ia segera melirik sosok di sebelahnya yang tertegun, dan wajah itu menunjukan kesedihan yang samar. Nyonya Mei menjadi yang lebih dahulu mendekat dan meraih bahu putranya, "Ā mu mendengar ini hari pertama Ran-ran pergi ke sekolah, apakah itu menyenangkan?" "Um." Houran mengangguk. "Maaf, karena kami be
"Tuan muda, Huan-huan, bagaimana hari pertama kalian di sekolah? Menyenangkan? Apakah kalian mendapatkan teman baru yang banyak?" Kepala Fang masih mengemudi dengan satu tangan, dan berusaha mencari bahan obrolan dengan keduanya. Sedangkan kedua bocah di kursi belakang saling menatap canggung, tidak mungkin mereka mengatakan yang sebenarnya. Hari pertama mereka sudah di bumbui dengan perkelahian, meskipun itu adalah Fan Lihuan yang mengalahkan mereka, dan Geng Baigu itu berlari sambil mengancam mereka untuk membalas dendam. Fan Lihuan tidak ingin mengatakan apa-apa, dan itu berarti bahwa Houran yang harus angkat bicara. Dia bersiap sejenak dan segera menerbitkan senyum cerah di wajahnya, "hari pertama kami sangat menyenangkan, Fan Lihuan juga sangat disukai karena di tampan." Kepala Fang tertawa sambil melirik
Kecanggungan yang jatuh di sekitar tempat duduk mereka segera mengundang rasa ingin tahu dari siswa lain di dalam kelas itu. Beberapa tampak melihat secara langsung, sementara beberapa yang lain tampak berpura-pura melirik atau mencoba meraih sesuatu yang jatuh. Yangxu, tampak gugup di antara mereka, dia berbisik sebentar, "ini ... Mengyia, mereka masih anak baru, jadi sulit untuk menjadi dekat begitu tiba-tiba." Gadis itu, Mengyia, yang seluruh wajahnya memerah dan tampak akan meledak kapan saja tiba-tiba mengulas senyuman, dan merapikan rambut ke belakang telinganya, "ah, benar, itu adalah kesalahanku. Lihuan pasti sangat tidak nyaman dengan hal ini." Melihat tingkahnya yang jelas-jelas tengah mencoba untuk menggoda pihak lain, Houran berbalik dan menatap Fan Lihuan yang masih menunduk dan mengamati buku yang entah sejak kapan berada di tangannya. &nbs