Houran menatap istana berkedok rumah yang berdiri megah di hadapannya. Bahkan halaman yang memisahkan rumah dengan gerbang untuk masuk dapat digunakan untuk membangun sepuluh rumah yang sama ukurannya seperti di desanya. Sampai kini ia tidak mengetahui alasan mengapa kediaman seorang bangsawan harus memiliki halaman yang begitu luas.
Ia harus mencari tahu mengenai hal ini nanti.
Begitu mereka masuk dan melihat istana yang disebut Ā mu sebagai rumah mereka ini, Houran memiliki dorongan untuk mencubit lengannya guna memastikan bahwa ia tidak akan terbangun dan mendapati semua kemewahan ini hanyalah mimpi.
"Ish!" Ia memekik dan segera mengusap bekas kemerahan akibat cubitan itu, ternyata semua ini memang tidak mungkin hanya mimpi.
"Apa yang kau lakukan?!" Tangannya segera diraih oleh wanita yang kini harus menjadi Ibu dari tubuh ini, wajahnya begitu khawatir seakan-akan dia bukannya mencubit tetapi memukul tangannya dengan tongkat. "Apakah ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman?"
Seorang pelayan segera berlari ke sebelah mereka dan menunduk, menunggu perintah dari sang nyonya dengan gugup, ia takut telah melakukan kesalahan yang mengusik tuan muda ketiga.
Melihat reaksi dari para pelayan dan bahkan para pengawal yang ada disana, yang mana mereka telah melirik diam-diam kepadanya tetapi tidak memiliki pilihan kecuali menatap lurus untuk memenuhi tugas mereka.
Satu lagi hal yang harus ia ketahui, apakah tubuh ini memiliki perilaku yang tidak baik sebelumnya.
Tetapi setelah semua itu, ia hanyalah seorang remaja berusia lima belas tahun, sehingga tidak bisa bersikap dewasa tiba-tiba atau itu akan menakuti semua penghuni istana ini.
Ia meraih ujung baju di lengan sang Ibu dan menggoyangkannya dua kali, "Ā mu, nona ini, kurasa dia sakit."
"Sakit?" Houran melihat Nyonya Mei segera mengikuti arah kemana dirinya menunjuk dan menemukan seorang pelayan wanita yang menunduk tidak jauh dari mereka.
Houran mengangguk untuk menegaskannya, "lihatlah, dia terus gemetar, bahkan dahinya berkeringat. Ā mu, bukankah dia harus beristirahat?"
Nyonya Mei tampaknya ingin mengatakan bahwa pelayan ini bukannya gemetar karena sakit tetapi karena gugup dan juga cemas menghadapinya, tetapi tentu saja ia segera mengurungkan niatnya, mengatakannya sama saja dengan menyakiti perasaan putranya. Itu jelas tidak bisa dilakukan.
Nyonya Mei segera melambaikan tangannya untuk memberikan perintah agar pelayan itu mengundurkan diri, "kau bisa pergi untuk saat ini."
Houran melihat pelayan itu segera membungkuk.
"Terima kasih Nyonya dan Tuan Muda Ketiga."
Kedua sudut bibir Houran segera bangkit, ia tersenyum, "Istirahatlah Jie jie, semoga segera pulih dan aku bisa melihatmu lagi."
Houran melihat bahwa pelayan wanita itu memiliki telinga yang memerah ketika membungkuk untuk mengundurkan diri. Ia merasa sepertinya agak lucu untuk mengenali semua pelayan di rumah ini.
Meskipun itu agak sulit untuk dilakukan mengingat jumlah pelayan di dalam kediaman ini mungkin tidak dapat dihitung dengan jari tangan.
Seorang gadis dengan surai sepanjang pinggang dan mengenakan gaun berwarna biru langit tampak berlari menuruni tangga dengan berlari sembari berteriak ke arah dimana mereka berdua duduk
"Siapa yang kau panggil Jie jie selain aku, Didi?!"
"Itu nona pelayan sebelumnya ...."
Bahkan kata-katanya belum selesai sepenuhnya ketika itu segera disela oleh gadis yang kini duduk dan mengaitkan tangannya pada lengannya, "kau hanya memiliki satu Jie jie, dan orang itu adalah aku." Gadis itu menunjuk dirinya sendiri, "jangan memanggil orang lain dengan Jie jie, itu hanya gelar milikku satu-satunya."
Houran baru saja ingin bertanya lebih banyak ketik Nyonya Mei menyela ke arah gadis itu, "Mei Jiayi, jangan membuat Didimu bingung, bukankah sudah kukatakan sebelumnya untuk tidak membuat Didimu terlalu banyak berpikir atau kepalanya akan sakit."
Oh, Houran hanya mengiyakan di dalam hatinya, Ibunya ini masih dengan keras kepala percaya bahwa sesuatu pasti telah terjadi dengan kepalanya yang menjadi penyebab ia melupakan mereka, sehingga ia benar-benar berhati-hati untuk tidak membuatnya memiliki terlalu banyak pikiran yang dapat membebani kepalanya.
Houran merenung, andaikan saja dia dapat mengatakan bahwa bukan kepala tapi jiwa tubuh ini yang telah berganti, jadi karena hal itu, bahkan jika dia bersikeras memanggil ahli otak pada nomor satu di dunia, itu tetap saja tidak bisa mengembalikan ingatannya yang hilang.
Karena dia bukan Houran yang sama dengan sebelumnya.
Ia segera menatap gadis disebelahnya dengan sungguh-sungguh, "jadi apakah kau Jie jie milikku? Kau sangat cantik, aku benar-benar beruntung."
Ia memang harus bertingkah seperti bagaimana seorang anak berusia lima belas tahun bertindak. Tetapi pujian itu benar-benar nyata, wanita di hadapannya ini seperti boneka hidup, kedua matanya jernih, tubuhnya juga ramping, dan yang paling utama adalah rambut sepanjang pinggang berwarna hitam pekat itu sangat lembut.
Sayang sekali, dewi semacam ini menjadi kakaknya di dunia ini. Ia tidak tahu apakah baik-baik saja untuk sedikit berduka karena kehilangan kesempatan memiliki seorang dewi yang sempurna seperti ini.
"Ahhhh!"
Pekikan ini membuat Houran tersentak dari lamunannya, ia melihat kakaknya dengan mata melebar.
"Ā mu, kau mendengarnya?! Dia mengatakan aku cantik! Ah, itu mengatakan sangat cantik! Kau mendengarnya 'kan Ā mu! Ah, senang sekali rasanya!"
Houran segera tersadar, sepertinya bakat untuk banyak berbicara dari sang Ibu menurun dengan baik kepada putrinya.
Sedang sang Ibu melirik dengan raut wajah kusut, lalu membenahi rambut dan pakaiannya, dan bertanya secara langsung ke arahnya, "bagaimana dengan Ā mu? Kau belum mengatakan pendapat apapun tentang Ā mu, apakah ini jelek? Apakah rambut dan baju ini tidak sesuai?"
Baiklah, dia benar-benar kehilangan kata-kata, apakah begitu penting untuk menanyakan pendapatnya mengenai penampilan mereka hari ini? Dia tidak tahu apa-apa mengenai model rambut atau merk baju yang dikenakan oleh ibunya. Sedang pujian untuk kakak perempuannya itu, dia memujinya karena itu memang cantik dan menyenangkan untuk dilihat. Bukan karena model rambut atau jenis pakaiannya.
Dia ragu-ragu sejenak, lalu bergumam, "Ā mu juga selalu cantik. Aku suka Ā mu memakai warna hijau yang kau kenakan hari ini."
Ibu dan saudara perempuannya saling menatap satu sama lain. Kemudian ibunya bertanya, "mengapa kau suka Ā mu memakai warna hijau?"
Houran mengatakan apa yang berada di dalam pikirannya.
"Hijau membuatmu terlihat lebih muda dan juga penuh dengan udara segar, itu bisa membuat Ā mu memiliki suasana hati yang baik."
"Ah ...?"
Mei Jiayi segera menatap lekat padanya, "Didi, mengapa kau berpikir Ā mu berada dalam suasana hati yang buruk?"
"Tidak juga, tapi aku suka Ā mu yang lebih banyak tersenyum seperti hari ini."
"Ahhh! Aku benar-benar iri. Aku juga akan membeli pakaian berwarna hijau mulai besok ...!"
Houran segera menghentikannya.
"Menurutku, Jie jie lebih cantik dengan warna biru."
"Didi, kau sungguh-sungguh, bukan?"
Houran mengangguk dua kali dengan patuh.
"Baiklah, lalu jika kau sudah pulih, kita akan pergi memesan beberapa pakaian, kau bisa memilih model baju yang sesuai untuk Jie jie, lalu ... tunggu, bagaimana denganmu Didi, apakah kau sudah memiliki warna yang cocok? Kau tentu tidak mengingatnya, tetapi sejak dulu kau selalu memakai warna putih karena kau tidak bisa menemukan warna yang nyaman untuk kau gunakan ..."
Nyonya Mei segera menyela sekali lagi, "Jiayi, kau harus mengambil jeda atau mulutmu akan sakit setelah begitu banyak berbicara.
"Ah, Ā mu ... Mengapa aku menyumpahiku!"
Mengamati interaksi di antara mereka, tampaknya Ibu dan saudara perempuannya di dunia ini sangat menyenangkan dan tidak menyulitkannya sama sekali.
Houran senang.
[To Be Continued]
Note:
Didi : Adik laki-laki.
Jie jie : Kakak perempuan.
Dia ditinggalkan sendirian kali ini, Nyonya Mei sudah pergi karena seorang klien meminta bertemu guna membahas gaun rancangannya yang akan digunakan dalam acara penting sehingga ia tidak dapat menolaknya meskipun telah mencoba. Ia menangkap kedua tangannya dan berjanji bahwa ia akan segera kembali begitu semua urusannya diselesaikan.Dia mengangguk, "tak apa, Ā mu sangat sibuk tidak perlu untuk menungguku sepanjang waktu."Tidak membutuhkan waktu lama sebelum hanya mereka berdua yang tersisa, saudara perempuannya, Jiayi, sangat bersemangat dan berulang kali menekankan dia untuk segera sembuh dan mereka dapat membuat pesanan untuk model pakaian baru.Suatu pertanyaan melintas di kepala Houran, dan ia segera mengatakannya, "tidak bisakah kita meminta pada Ā mu saja? Bukankah Ā mu dapat merancang pakaian? Ia mengatakannya sebelumnya."Jiayi segera meng
Pada akhirnya dia gagal memasak nasi goreng itu sendiri, karena dia tidak tahan melihat bahwa koki baru itu bahkan hampir menjatuhkan piring dan memotong tangannya sendiri ketika ia baru saja masuk ke dalam dapur. Melihat ketakutan yang terpancar di mata koki baru ketika ia mengatakan tujuannya dan segera memiliki tepian mata yang memerah, dia hanya bisa menyerah dan melambaikan tangannya."Baiklah, kau bisa memasaknya untukku."Akhirnya ia berlalu dan menikmati makanan dari Koki dan memang layak baginya untuk memuji nasi goreng dengan tampilan yang begitu mewah dan dia sempat merasa enggan untuk memakannya.Ini sudah hampir pukul tujuh malam, dia keluar dari kamarnya setelah berkutat begitu lama di dalam kamar mandi yang sangat berbeda dengan sumur yang selalu ia gunakan. Ia hampir saja menyerah dan berpikir tidak perlu untuk mandi.Tetapi, dia men
"Paman Li, apakah kita memiliki banyak pengawal?"Houran selalu ingin menanyakan hal ini sejak kemarin, meskipun mereka seorang bangsawan dengan kekayaan yang mungkin saja tidak akan habis dalam tujuh turunan, tetapi untuk memiliki seorang pengawal yang berada di setiap sudut ruangan, di samping pintu, di ujung halaman, di depan gerbang masuk, di depan setiap pintu kamar - yang membuatnya hampir tidak bisa tidur karena tidak terbiasa dengan seseorang yang berada di depan kamarnya - dan bahkan di dalam dapur. Sungguh, apa sebenarnya dibutuhkan dari seorang pengawal untuk berdiri di dapur seperti patung yang bernafas? Menakuti orang saja.Paman Li, yang sejak kemarin menemaninya kemanapun ia ingin beranjak, dari dapur, ke ruang bersantai, menonton televisi, dan hanya meninggalkannya setelah memastikan ia masuk ke dalam kamarnya, kali ini juga berdiri di sampingnya dan tidak begitu canggung seperti kemari
"Hei, siapa namamu?"Dia cukup kelelahan untuk mengamati seluruh kediaman yang luasnya hampir menyerupai sebuah desa, baru saja beberapa tempat yang ia sambangi dan kini dia sudah hampir terkapar di salah satu tangga di halaman samping. Kakinya pegal, dan dahinya berkeringat, cukup untuk membuatnya merasakan bahwa fisik bocah yang ditempatinya ini benar-benar tidak dapat diandalkan.Paman Li baru saja mengundurkan diri untuk memberikan perintah pada pelayan agar membawakan minuman untuknya. Dan dia menunggu dengan meluruskan kakinya di tangga, memutuskan untuk menciptakan pembicaraan dengan seorang pengawalan yang berdiri di ujung tangga yang pendek ini. Pelayan itu hanya membungkuk sekali kepadanya, lalu kembali berdiri dengan wajah kaku.Ketika mendengarkan pertanyaan darinya, pengawal itu kembali berbalik ke arahnya, dan membungkuk untuk menjawabnya, "saya ... saya pengawa
Tok! Tok!Houran yang tengah merebahkan diri di atas tempat tidur yang dapat ditempati oleh lima orang sekaligus itu, dan suara ketukan di pintu membuatnya segera beranjak. Dia membuka pintu untuk menemukan seorang pelayan wanita yang segera membungkuk ke arahnya."Tuan muda, saya diminta menyampaikan bahwa Tuan muda tertua telah kembali, dan saat ini tengah beristirahat di ruang bersantai."Houran tertegun, "Dage ku kembali? Sejak kapan?""Tiga puluh menit yang lalu, Tuan muda." Jawab si pelayan dengan hati-hati.Houran mengangguk mengerti, dia segera memberikan instruksi kepada pelayan itu, untuk pergi terlebih dahulu. Sedangkan ia memiringkan kepalanya dan melirik pelayan yang tengah berdiri tegak di sebelah pintu dan tampak tidak terganggu.Dia berbisik. "Pst! Pst! Hei, kau ...."
Houran tidak menunjukan dirinya bahkan ketika mereka telah masuk ke dalam ruangan bersantai, televisi tidak menyala, sedangkan secangkir kopi telah terhidang di atas meja. Houran bisa merasakan sosok pria yang duduk di sofa dan membelakanginya, itu masih menunjukan ketegasan yang tidak terbantahkan.Houran menjadi semakin ragu-ragu, dia memilih untuk mendorong pengawal yang berada di hadapannya dan berpegangan pada ujung belakang jasnya yang membuat itu berkerut tidak karuan.Pengawal di depan Houran bahkan belum sempat menanggapi tindakan Tuan mudanya atau menyapa orang yang tengah duduk di sofa, ketika suara tegas dan dalam terdengar"Dia tidak ingin menemuiku?"Houran belum memiliki niatan untuk menunjukan dirinya, dan dia lebih pendek juga lebih kecil daripada pengawal ini, jadi cukup masuk di akal mengapa Dage-nya tidak dapat melihat keberadaannya.
Houran melirik sekitarnya, saat itu mereka tengah makan malam dan suasana di ruang makan benar-benar sunyi hingga seekor lalat yang terbang mungkin akan terdengar sangat keras. Dia melirik ke sekitarnya secara sembunyi-sembunyi, dan semua orang hanya terdiam dengan urusan masing-masing.Sebelumnya, ketika dia baru saja selesai membersihkan diri ketika pintu kamarnya diketuk sekali lagi, ia segera membenahi jubah mandinya yang sedikit terlalu besar, dan membuka pintu untuk menemukan Paman Li yang berada di depan kamarnya.Dia merasa cukup heran, "Paman Li?""Tuan muda," Paman Li menjawab sambil membungkuk kepadanya, "saya baru saja mendapat pemberitahuan bahwa Tuan tengah berada di perjalanan kembali, dan diperkirakan sebelum makan malam akan sampai."Houran agak linglung mendengarkannya, "Tuan, Tuan yang kau maksud ... Ah! Ā ba telah kembali?!" 
"Paman Li ... Ini ...?" Houran menunjuk ke arah lapangan rumput di hadapannya, dengan beberapa pohon yang sengaja diatur dengan ukuran dan bentuk yang serupa. Ada pula sebuah kolam di tengah-tengahnya dengan air mancur yang semakin menunjukan kesan elegan tetapi masih mewah. Paman Li mengikuti arah dimana Dia menunjuk, lalu berbicara, "ini adalah taman utama, Tuan muda." Dia menatap Kepala pelayan yang baru saja berbicara dengan raut wajah penuh tanda tanya, "ah, jadi ini taman? lalu mengapa aku tidak melihat bunga sama sekali?" Sepanjang ingatannya, salah satu teman yang pulang dari kota mengatakan bahwa bangsawan suka menanam banyak bunga sebagai simbol kediaman megah yang penuh warna. Lalu mengapa dia melihat sedikit sekali bunga yang ada di dalam kediaman ini? Apakah ada seseorang yang tidak menyukai bunga? Belum sempat P