Share

[03] Hari ketika - Pulang

Houran menatap istana berkedok rumah yang berdiri megah di hadapannya. Bahkan halaman yang memisahkan rumah dengan gerbang untuk masuk dapat digunakan untuk membangun sepuluh rumah yang sama ukurannya seperti di desanya. Sampai kini ia tidak mengetahui alasan mengapa kediaman seorang bangsawan harus memiliki halaman yang begitu luas. 

Ia harus mencari tahu mengenai hal ini nanti. 

Begitu mereka masuk dan melihat istana yang disebut Ā mu sebagai rumah mereka ini, Houran memiliki dorongan untuk mencubit lengannya guna memastikan bahwa ia tidak akan terbangun dan mendapati semua kemewahan ini hanyalah mimpi. 

"Ish!" Ia memekik dan segera mengusap bekas kemerahan akibat cubitan itu, ternyata semua ini memang tidak mungkin hanya mimpi. 

"Apa yang kau lakukan?!" Tangannya segera diraih oleh wanita yang kini harus menjadi Ibu dari tubuh ini, wajahnya begitu khawatir seakan-akan dia bukannya mencubit tetapi memukul tangannya dengan tongkat. "Apakah ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman?" 

Seorang pelayan segera berlari ke sebelah mereka dan menunduk, menunggu perintah dari sang nyonya dengan gugup, ia takut telah melakukan kesalahan yang mengusik tuan muda ketiga. 

Melihat reaksi dari para pelayan dan bahkan para pengawal yang ada disana, yang mana mereka telah melirik diam-diam kepadanya tetapi tidak memiliki pilihan kecuali menatap lurus untuk memenuhi tugas mereka. 

Satu lagi hal yang harus ia ketahui, apakah tubuh ini memiliki perilaku yang tidak baik sebelumnya. 

Tetapi setelah semua itu, ia hanyalah seorang remaja berusia lima belas tahun, sehingga tidak bisa bersikap dewasa tiba-tiba atau itu akan menakuti semua penghuni istana ini. 

Ia meraih ujung baju di lengan sang Ibu dan menggoyangkannya dua kali, "Ā mu, nona ini, kurasa dia sakit." 

"Sakit?" Houran melihat Nyonya Mei segera mengikuti arah kemana dirinya menunjuk dan menemukan seorang pelayan wanita yang menunduk tidak jauh dari mereka. 

Houran mengangguk untuk menegaskannya, "lihatlah, dia terus gemetar, bahkan dahinya berkeringat. Ā mu, bukankah dia harus beristirahat?" 

Nyonya Mei tampaknya ingin mengatakan bahwa pelayan ini bukannya gemetar karena sakit tetapi karena gugup dan juga cemas menghadapinya, tetapi tentu saja ia segera mengurungkan niatnya, mengatakannya sama saja dengan menyakiti perasaan putranya. Itu jelas tidak bisa dilakukan. 

Nyonya Mei segera melambaikan tangannya untuk memberikan perintah agar pelayan itu mengundurkan diri, "kau bisa pergi untuk saat ini." 

Houran melihat pelayan itu segera membungkuk. 

"Terima kasih Nyonya dan Tuan Muda Ketiga." 

Kedua sudut bibir Houran segera bangkit, ia tersenyum, "Istirahatlah Jie jie, semoga segera pulih dan aku bisa melihatmu lagi."

Houran melihat bahwa pelayan wanita itu memiliki telinga yang memerah ketika membungkuk untuk mengundurkan diri. Ia merasa sepertinya agak lucu untuk mengenali semua pelayan di rumah ini. 

Meskipun itu agak sulit untuk dilakukan mengingat jumlah pelayan di dalam kediaman ini mungkin tidak dapat dihitung dengan jari tangan. 

Seorang gadis dengan surai sepanjang pinggang dan mengenakan gaun berwarna biru langit tampak berlari menuruni tangga dengan berlari sembari berteriak ke arah dimana mereka berdua duduk

"Siapa yang kau panggil Jie jie selain aku, Didi?!" 

"Itu nona pelayan sebelumnya ...." 

Bahkan kata-katanya belum selesai sepenuhnya ketika itu segera disela oleh gadis yang kini duduk dan mengaitkan tangannya pada lengannya, "kau hanya memiliki satu Jie jie, dan orang itu adalah aku." Gadis itu menunjuk dirinya sendiri, "jangan memanggil orang lain dengan Jie jie, itu hanya gelar milikku satu-satunya."

Houran baru saja ingin bertanya lebih banyak ketik Nyonya Mei menyela ke arah gadis itu, "Mei Jiayi, jangan membuat Didimu bingung, bukankah sudah kukatakan sebelumnya untuk tidak membuat Didimu terlalu banyak berpikir atau kepalanya akan sakit." 

Oh, Houran hanya mengiyakan di dalam hatinya, Ibunya ini masih dengan keras kepala percaya bahwa sesuatu pasti telah terjadi dengan kepalanya yang menjadi penyebab ia melupakan mereka, sehingga ia benar-benar berhati-hati untuk tidak membuatnya memiliki terlalu banyak pikiran yang dapat membebani kepalanya. 

Houran merenung, andaikan saja dia dapat mengatakan bahwa bukan kepala tapi jiwa tubuh ini yang telah berganti, jadi karena hal itu, bahkan jika dia bersikeras memanggil ahli otak pada nomor satu di dunia, itu tetap saja tidak bisa mengembalikan ingatannya yang hilang. 

Karena dia bukan Houran yang sama dengan sebelumnya. 

Ia segera menatap gadis disebelahnya dengan sungguh-sungguh, "jadi apakah kau Jie jie milikku? Kau sangat cantik, aku benar-benar beruntung." 

Ia memang harus bertingkah seperti bagaimana seorang anak berusia lima belas tahun bertindak. Tetapi pujian itu benar-benar nyata, wanita di hadapannya ini seperti boneka hidup, kedua matanya jernih, tubuhnya juga ramping, dan yang paling utama adalah rambut sepanjang pinggang berwarna hitam pekat itu sangat lembut. 

Sayang sekali, dewi semacam ini menjadi kakaknya di dunia ini. Ia tidak tahu apakah baik-baik saja untuk sedikit berduka karena kehilangan kesempatan memiliki seorang dewi yang sempurna seperti ini. 

"Ahhhh!" 

Pekikan ini membuat Houran tersentak dari lamunannya, ia melihat kakaknya dengan mata melebar. 

"Ā mu, kau mendengarnya?! Dia mengatakan aku cantik! Ah, itu mengatakan sangat cantik! Kau mendengarnya 'kan Ā mu! Ah, senang sekali rasanya!" 

Houran segera tersadar, sepertinya bakat untuk banyak berbicara dari sang Ibu menurun dengan baik kepada putrinya. 

Sedang sang Ibu melirik dengan raut wajah kusut, lalu membenahi rambut dan pakaiannya, dan bertanya secara langsung ke arahnya, "bagaimana dengan Ā mu? Kau belum mengatakan pendapat apapun tentang Ā mu, apakah ini jelek? Apakah rambut dan baju ini tidak sesuai?" 

Baiklah, dia benar-benar kehilangan kata-kata, apakah begitu penting untuk menanyakan pendapatnya mengenai penampilan mereka hari ini? Dia tidak tahu apa-apa mengenai model rambut atau merk baju yang dikenakan oleh ibunya. Sedang pujian untuk kakak perempuannya itu, dia memujinya karena itu memang cantik dan menyenangkan untuk dilihat. Bukan karena model rambut atau jenis pakaiannya. 

Dia ragu-ragu sejenak, lalu bergumam, "Ā mu juga selalu cantik. Aku suka Ā mu memakai warna hijau yang kau kenakan hari ini." 

Ibu dan saudara perempuannya saling menatap satu sama lain. Kemudian ibunya bertanya, "mengapa kau suka Ā mu memakai warna hijau?" 

Houran mengatakan apa yang berada di dalam pikirannya. 

"Hijau membuatmu terlihat lebih muda dan juga penuh dengan udara segar, itu bisa membuat Ā mu memiliki suasana hati yang baik." 

"Ah ...?" 

Mei Jiayi segera menatap lekat padanya, "Didi, mengapa kau berpikir Ā mu berada dalam suasana hati yang buruk?" 

"Tidak juga, tapi aku suka Ā mu yang lebih banyak tersenyum seperti hari ini." 

"Ahhh! Aku benar-benar iri. Aku juga akan membeli pakaian berwarna hijau mulai besok ...!" 

Houran segera menghentikannya. 

"Menurutku, Jie jie lebih cantik dengan warna biru."

"Didi, kau sungguh-sungguh, bukan?" 

Houran mengangguk dua kali dengan patuh. 

"Baiklah, lalu jika kau sudah pulih, kita akan pergi memesan beberapa pakaian, kau bisa memilih model baju yang sesuai untuk Jie jie, lalu ... tunggu, bagaimana denganmu Didi, apakah kau sudah memiliki warna yang cocok? Kau tentu tidak mengingatnya, tetapi sejak dulu kau selalu memakai warna putih karena kau tidak bisa menemukan warna yang nyaman untuk kau gunakan ..." 

Nyonya Mei segera menyela sekali lagi, "Jiayi, kau harus mengambil jeda atau mulutmu akan sakit setelah begitu banyak berbicara.

"Ah, Ā mu ... Mengapa aku menyumpahiku!"

Mengamati interaksi di antara mereka, tampaknya Ibu dan saudara perempuannya di dunia ini sangat menyenangkan dan tidak menyulitkannya sama sekali. 

Houran senang.

[To Be Continued] 

Note: 

Didi : Adik laki-laki. 

Jie jie : Kakak perempuan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status