Share

Bab 6, Iblis Berwujud Malaikat

Dengan langkah ringan aku menuju tempat itu. Hari ini aku merasa berbahagia, karena satu malaikat telah kubebaskan dari belenggu iblis berwujud sepatu merah itu.

Aku buka pintu sambil bersenandung kecil, gadis lainnya langsung menyambutku dengan tatapan memelas.

Dia Valencia, yang masih berada di bawah pengaruh obat itu.

"Halo, Cia Cantik. Apa kabar? Kau menungguku?" sapaku dengan senyum ramah.

Mata indahnya bergetar, aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tapi pengaruh obat itu masih kuat. Melumpuhkan semua syarafnya sehingga ia tak mampu bergerak dan berkata-kata.

"Kau lapar?" tanyaku.

"Bertahanlah, sayang. Kau harus puasa agar ritual pembebasanmu berjalan lancar," kataku memberi penjelasan, sambil membelai rambutnya.

Aku meraih tas kecil yang berisi hipodermis, kembali mengisi tabung kecil itu hingga setengahnya.

"Hari mulai larut, tidurlah Cia. Aku segera mencarikan teman untukmu agar kau tidak kesepian lagi."

Ujung hipodermis kembali menembus kulitnya yang mulus.

***

Aku menyusuri jalan-jalan panjang kota Manhattan dengan kecepatan sedang. Tidak terburu-buru, tidak pula seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu.

Siang tadi surat kabar dan stasiun berita telah menyiarkan berita tentang Naomi.

Kalian lihatlah. Aku sudah berbuat baik, kan? Aku bebaskan dia dari pengaruh iblis yang terkutuk itu, lalu aku letakkan tubuhnya di taman bunga.

Bukankah malaikat itu berasal dari surga yang indah dan dipenuhi oleh bunga?

Sekarang Naomi pasti tengah berbahagia, berlari-lari di taman surga yang indah, menikmati kebebasannya dengan bertelanjang kaki.

Memang tidak ada pemandangan yang lebih memikat dari  malaikat yang berlarian tanpa mengenakan sepatu. Kaki mereka terlalu indah untuk ditutupi, apalagi ditutupi sepatu berwarna darah.

"Huh ... Merusak pemandangan saja," dengusku.

Perhatianku tertuju pada halte di seberang jalan. Di antara gemerlapnya lampu jalanan, gadis itu terlihat menyolok dengan sepatu merah di kakinya. Ia duduk sendiri, menatap kosong pada kendaraan yang berlalu lalang di hadapannya.

"Ah ... Kasihan. Sepertinya ia sedang bersedih hati," bisikku pelan.

Kupercepat langkah mencari tempat penyeberangan, dengan perasaan berdebar menghampirinya.

"Hai, bisa geser sedikit?" pintaku dengan ramah.

Ia beringsut, menggeser tubuhnya tanpa menoleh sama sekali. Aku duduk di sampingnya dengan perasaan suka cita.

"Sudah larut begini kenapa belum pulang?" tanyaku ramah. Ditilik dari wajahnya aku yakin ia masih pelajar sekolah menengah atas.

Ia menggeleng lesu. Hanya kaki mungilnya yang terlihat memberi respon, membuat gerakan mengetuk sehingga menimbulkan bunyi ketukan yang langsung membuatku resah.

"Ah ... Suara ketukan itu ...." Panggilan iblis itu kembali terdengar memekakkan telinga.

"Sepatumu cantik," pujiku.

Ekspresi wajahnya langsung berubah. 

"Benarkah?" tanyanya.

Suara lembutnya terdengar begitu polos di telingaku.

"Ya, cantik sekali. Serasi dengan wajah pemakainya," ujarku lagi.

"Hanya kau yang berkata begitu. Semua orang di rumahku membencinya. Mereka bilang aku seperti wanita jalang yang menjajakan tubuh di pinggiran jalan," jawabnya dengan wajah sedih.

"Itu karena mereka tidak mengerti selera anak muda," kataku, berusaha menghiburnya.

Padahal di relung hatiku, aku bersorak girang. Bahagia mendengar ada orang lain di luar sana yang juga membenci sepatu merah seperti diriku.

"Sekarang kamu mau kemana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Dia mengedikkan bahu, disertai gelengan kepala yang lemah.

"Kasihannya ...," desisku di dalam hati.

Kalian lihat, kan? Apa dampak pengaruh sepatu iblis itu terhadap hidup malaikat ini. 

Dia sedih, merasa tidak diterima, dikucilkan, dan dibenci oleh keluarganya sendiri. Coba jika ia tidak menjadi pengikut iblis ini. Saat ini ia mungkin sedang berada di meja makan, menikmati makan malam bersama orang-orang yang ia sayangi.

"Ah ... Sayang sekali," sesalku.

"Jadi kamu tidak memiliki tujuan?" tanyaku lagi.

Lagi-lagi ia menggeleng lemah.

"Bagaimana dengan teman-temanmu. Pergilah ke rumah salah satu yang kamu anggap cukup dekat," saranku, sambil terus mengamati raut wajahnya.

"Aku tidak punya teman," desisnya pilu.

"Tidak ada yang mau berteman dengan gadis aneh sepertiku," katanya lagi.

Alisku bertaut, mencoba memahami kata-katanya.

"Aneh? Aku tidak melihat ada yang aneh pada dirimu," ujarku. Aku ulurkan tangan, menguak helaian rambut yang menjuntai menutupi wajahnya.

Di balik rambut itu, ternyata ada aib besar yang ia sembunyikan. Aku tergugu, sesaat tanganku menggantung di udara.

"Kau lihat. Aku memang gadis yang aneh, kan?" tanyanya seraya menutupi bekas luka itu kembali.

"Bagaimana kamu mendapatkan luka itu?" tanyaku heran.

Tiba-tiba ia tersenyum. Oh ... Tidak, bukan senyuman. Akan tetapi seringai yang mengerikan. Bayang-bayang iblis pun muncul di sepasang netra berwarna biru itu.

"Bukan hal yang istimewa," kilahnya masih dengan seringai yang menakutkan.

"Ayolah, jangan buat aku mati penasaran," desakku.

Ia tertawa.

"Kau harus berjanji merahasiakannya," katanya dengan setengah berbisik.

"Aku berjanji," jawabku.

"Luka ini aku dapat karena aku ketahuan pacaran dengan suami tetangga," jawabnya disertai cekikikan panjang.

"Gadis ini benar-benar sudah berubah menjadi iblis," ujarku di dalam hati.

"Bagaimana kamu bisa jatuh cinta dengan suami tetanggamu sendiri?" tanyaku lagi.

"Mudah saja. Karena sepatu ini," jawabnya dengan wajah bangga.

"Dia membelikanmu sepatu itu?" 

"Tepatnya, dia memberiku uang untuk membeli sepatu ini. Padahal harganya mahal, tapi dia tidak peduli. Dia tetap memberikannya karena dia tahu aku sudah lama menginginkan sepatu ini. Sebagai ucapan terimakasih, aku tidur dengannya tanpa membuka sepatu ini. Kau tahu apa yang dia bilang sepanjang malam itu? Dia bilang dia menyukai sensasi bercinta denganku. Tentu saja aku senang mendengarnya. Pujian itu aku terima karena aku memakai sepatu merah ini," jelasnya dengan semangat.

"Kalau begitu mengapa kamu tidak hubungi pria itu? Kamu bisa tidur di rumahnya."

Dia menggeleng.

"Kami sudah putus. Istrinya terlalu menakutkan. Aku tidak mau mati konyol di tangan perempuan iblis itu," ujarnya berang.

"Kaulah yang iblis, bukan istri orang itu. Kau iblis berwujud malaikat," protesku dalam hati.

"Kalau begitu kamu mau menginap di rumahku? Tempatnya tidak jauh dari sini, tidak sampai 500 meter," ajakku.

"Kau tinggal sendirian?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Ada kamar kosong juga. Kau bisa tidur dengan nyaman di sana," jawabku.

"Oke," katanya semangat.

Aku berdiri, lalu memandunya berjalan menjauhi halte itu. Dengan santai kami berjalan bersisian. 

"Siapa namamu?" tanyaku memecah kesunyian.

"Charlotte. Namun, aku lebih suka dipanggil Carry," jawabnya.

"Nama yang cantik," pujiku. Sebelah tanganku hinggap dipundaknya.

"Terimakasih. Namamu siapa?" tanyanya lagi.

"Namaku?" Aku balik bertanya. Carry mengangguk polos, tanpa tahu sebelah tanganku sedang menghunus hipodermis di belakang pundaknya.

Aku tersenyum. Tidak langsung menjawab pertanyaannya. Tanganku terangkat, dan ....

Syuut! Hipodermis itu menancap di tengkuknya yang mulus. Lehernya terkulai, tubuhnya lemas seketika.

Aku bergerak cepat menopang tubuhnya, mempercepat langkah menuju Pastiur yang kusembunyikan di balik tembok, di gang yang gelap.

"Kau boleh memanggilku Nehemia, Ezra, atau Ester. Aku adalah perpanjangan tangan juru selamat yang akan membebaskanmu dari belenggu iblis terkutuk itu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status