Beranda / Thriller / Red Shoes Murderer / Bab 6, Iblis Berwujud Malaikat

Share

Bab 6, Iblis Berwujud Malaikat

Penulis: Cathalea
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-19 13:28:57

Dengan langkah ringan aku menuju tempat itu. Hari ini aku merasa berbahagia, karena satu malaikat telah kubebaskan dari belenggu iblis berwujud sepatu merah itu.

Aku buka pintu sambil bersenandung kecil, gadis lainnya langsung menyambutku dengan tatapan memelas.

Dia Valencia, yang masih berada di bawah pengaruh obat itu.

"Halo, Cia Cantik. Apa kabar? Kau menungguku?" sapaku dengan senyum ramah.

Mata indahnya bergetar, aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tapi pengaruh obat itu masih kuat. Melumpuhkan semua syarafnya sehingga ia tak mampu bergerak dan berkata-kata.

"Kau lapar?" tanyaku.

"Bertahanlah, sayang. Kau harus puasa agar ritual pembebasanmu berjalan lancar," kataku memberi penjelasan, sambil membelai rambutnya.

Aku meraih tas kecil yang berisi hipodermis, kembali mengisi tabung kecil itu hingga setengahnya.

"Hari mulai larut, tidurlah Cia. Aku segera mencarikan teman untukmu agar kau tidak kesepian lagi."

Ujung hipodermis kembali menembus kulitnya yang mulus.

***

Aku menyusuri jalan-jalan panjang kota Manhattan dengan kecepatan sedang. Tidak terburu-buru, tidak pula seperti seseorang yang sedang mencari sesuatu.

Siang tadi surat kabar dan stasiun berita telah menyiarkan berita tentang Naomi.

Kalian lihatlah. Aku sudah berbuat baik, kan? Aku bebaskan dia dari pengaruh iblis yang terkutuk itu, lalu aku letakkan tubuhnya di taman bunga.

Bukankah malaikat itu berasal dari surga yang indah dan dipenuhi oleh bunga?

Sekarang Naomi pasti tengah berbahagia, berlari-lari di taman surga yang indah, menikmati kebebasannya dengan bertelanjang kaki.

Memang tidak ada pemandangan yang lebih memikat dari  malaikat yang berlarian tanpa mengenakan sepatu. Kaki mereka terlalu indah untuk ditutupi, apalagi ditutupi sepatu berwarna darah.

"Huh ... Merusak pemandangan saja," dengusku.

Perhatianku tertuju pada halte di seberang jalan. Di antara gemerlapnya lampu jalanan, gadis itu terlihat menyolok dengan sepatu merah di kakinya. Ia duduk sendiri, menatap kosong pada kendaraan yang berlalu lalang di hadapannya.

"Ah ... Kasihan. Sepertinya ia sedang bersedih hati," bisikku pelan.

Kupercepat langkah mencari tempat penyeberangan, dengan perasaan berdebar menghampirinya.

"Hai, bisa geser sedikit?" pintaku dengan ramah.

Ia beringsut, menggeser tubuhnya tanpa menoleh sama sekali. Aku duduk di sampingnya dengan perasaan suka cita.

"Sudah larut begini kenapa belum pulang?" tanyaku ramah. Ditilik dari wajahnya aku yakin ia masih pelajar sekolah menengah atas.

Ia menggeleng lesu. Hanya kaki mungilnya yang terlihat memberi respon, membuat gerakan mengetuk sehingga menimbulkan bunyi ketukan yang langsung membuatku resah.

"Ah ... Suara ketukan itu ...." Panggilan iblis itu kembali terdengar memekakkan telinga.

"Sepatumu cantik," pujiku.

Ekspresi wajahnya langsung berubah. 

"Benarkah?" tanyanya.

Suara lembutnya terdengar begitu polos di telingaku.

"Ya, cantik sekali. Serasi dengan wajah pemakainya," ujarku lagi.

"Hanya kau yang berkata begitu. Semua orang di rumahku membencinya. Mereka bilang aku seperti wanita jalang yang menjajakan tubuh di pinggiran jalan," jawabnya dengan wajah sedih.

"Itu karena mereka tidak mengerti selera anak muda," kataku, berusaha menghiburnya.

Padahal di relung hatiku, aku bersorak girang. Bahagia mendengar ada orang lain di luar sana yang juga membenci sepatu merah seperti diriku.

"Sekarang kamu mau kemana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Dia mengedikkan bahu, disertai gelengan kepala yang lemah.

"Kasihannya ...," desisku di dalam hati.

Kalian lihat, kan? Apa dampak pengaruh sepatu iblis itu terhadap hidup malaikat ini. 

Dia sedih, merasa tidak diterima, dikucilkan, dan dibenci oleh keluarganya sendiri. Coba jika ia tidak menjadi pengikut iblis ini. Saat ini ia mungkin sedang berada di meja makan, menikmati makan malam bersama orang-orang yang ia sayangi.

"Ah ... Sayang sekali," sesalku.

"Jadi kamu tidak memiliki tujuan?" tanyaku lagi.

Lagi-lagi ia menggeleng lemah.

"Bagaimana dengan teman-temanmu. Pergilah ke rumah salah satu yang kamu anggap cukup dekat," saranku, sambil terus mengamati raut wajahnya.

"Aku tidak punya teman," desisnya pilu.

"Tidak ada yang mau berteman dengan gadis aneh sepertiku," katanya lagi.

Alisku bertaut, mencoba memahami kata-katanya.

"Aneh? Aku tidak melihat ada yang aneh pada dirimu," ujarku. Aku ulurkan tangan, menguak helaian rambut yang menjuntai menutupi wajahnya.

Di balik rambut itu, ternyata ada aib besar yang ia sembunyikan. Aku tergugu, sesaat tanganku menggantung di udara.

"Kau lihat. Aku memang gadis yang aneh, kan?" tanyanya seraya menutupi bekas luka itu kembali.

"Bagaimana kamu mendapatkan luka itu?" tanyaku heran.

Tiba-tiba ia tersenyum. Oh ... Tidak, bukan senyuman. Akan tetapi seringai yang mengerikan. Bayang-bayang iblis pun muncul di sepasang netra berwarna biru itu.

"Bukan hal yang istimewa," kilahnya masih dengan seringai yang menakutkan.

"Ayolah, jangan buat aku mati penasaran," desakku.

Ia tertawa.

"Kau harus berjanji merahasiakannya," katanya dengan setengah berbisik.

"Aku berjanji," jawabku.

"Luka ini aku dapat karena aku ketahuan pacaran dengan suami tetangga," jawabnya disertai cekikikan panjang.

"Gadis ini benar-benar sudah berubah menjadi iblis," ujarku di dalam hati.

"Bagaimana kamu bisa jatuh cinta dengan suami tetanggamu sendiri?" tanyaku lagi.

"Mudah saja. Karena sepatu ini," jawabnya dengan wajah bangga.

"Dia membelikanmu sepatu itu?" 

"Tepatnya, dia memberiku uang untuk membeli sepatu ini. Padahal harganya mahal, tapi dia tidak peduli. Dia tetap memberikannya karena dia tahu aku sudah lama menginginkan sepatu ini. Sebagai ucapan terimakasih, aku tidur dengannya tanpa membuka sepatu ini. Kau tahu apa yang dia bilang sepanjang malam itu? Dia bilang dia menyukai sensasi bercinta denganku. Tentu saja aku senang mendengarnya. Pujian itu aku terima karena aku memakai sepatu merah ini," jelasnya dengan semangat.

"Kalau begitu mengapa kamu tidak hubungi pria itu? Kamu bisa tidur di rumahnya."

Dia menggeleng.

"Kami sudah putus. Istrinya terlalu menakutkan. Aku tidak mau mati konyol di tangan perempuan iblis itu," ujarnya berang.

"Kaulah yang iblis, bukan istri orang itu. Kau iblis berwujud malaikat," protesku dalam hati.

"Kalau begitu kamu mau menginap di rumahku? Tempatnya tidak jauh dari sini, tidak sampai 500 meter," ajakku.

"Kau tinggal sendirian?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Ada kamar kosong juga. Kau bisa tidur dengan nyaman di sana," jawabku.

"Oke," katanya semangat.

Aku berdiri, lalu memandunya berjalan menjauhi halte itu. Dengan santai kami berjalan bersisian. 

"Siapa namamu?" tanyaku memecah kesunyian.

"Charlotte. Namun, aku lebih suka dipanggil Carry," jawabnya.

"Nama yang cantik," pujiku. Sebelah tanganku hinggap dipundaknya.

"Terimakasih. Namamu siapa?" tanyanya lagi.

"Namaku?" Aku balik bertanya. Carry mengangguk polos, tanpa tahu sebelah tanganku sedang menghunus hipodermis di belakang pundaknya.

Aku tersenyum. Tidak langsung menjawab pertanyaannya. Tanganku terangkat, dan ....

Syuut! Hipodermis itu menancap di tengkuknya yang mulus. Lehernya terkulai, tubuhnya lemas seketika.

Aku bergerak cepat menopang tubuhnya, mempercepat langkah menuju Pastiur yang kusembunyikan di balik tembok, di gang yang gelap.

"Kau boleh memanggilku Nehemia, Ezra, atau Ester. Aku adalah perpanjangan tangan juru selamat yang akan membebaskanmu dari belenggu iblis terkutuk itu."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Red Shoes Murderer   Bab 32, Identitas Pelaku

    Kent menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri, sekarang ia kembali fokus pada penjelasan wanita yang ada di hadapannya itu. Ia tak sabar ingin mendengar informasi yang busa dijadikan petunjuk untuk menangkap pelaku."Oh, panti asuhan yang pernah terbakar sekitar sepuluh tahun yang lalu itu, bukan?" jawab Kent."Benar," jawab Madam Smith."Saat itu saya bertugas sebagai pemimpin panti, dibantu oleh beberapa pekerja yang bertugas sebagai tukang masak, supir, dan pesuruh. Ada dua belas orang anak yang kami asuh saat itu. Empat orang perempuan, sisanya laki-laki. Suatu hari, seorang anak perempuan yang paling besar mengamuk tanpa alasan yang jelas. Dia membakar panti sehingga menyebabkan banyak korban meninggal, tewas terbakar tanpa bisa menyelamatkan diri."Sampai di situ ia berhenti sejenak untuk mengatur napas. Namun, sebelum ia melanjutkan cerita, Kent terlebih dahulu menyela."Anda bilang seorang anak perempuan membakar panti tanpa alasan ya

  • Red Shoes Murderer   Bab 31, Pengakuan Penyintas

    "Penyintas?" gumam Kent, dengan tatapan nyaris tak percaya.Sungguh ia sangat mengharapkan munculnya tokoh penyintas ini untuk membuka identitas pelaku. Informasi dari penyintas bisa dikatakan sembilan puluh sembilan benar. Mengantongi informasi itu ibarat menemukan jalan tol yang mulus dan bebas hambatan untuk menangkap pelaku."Berikan alamat Anda, Nyonya. Saya akan segera ke sana," pinta Kent dengan penuh semangat.Wanita itu menyebutkan alamatnya, dan Kent mencatat alamat itu di dalam kepalanya. Ia bergegas memasukkan ponsel itu ke sakunya lalu pamit pada Angela yang sejak tadi penasaran dengan sosok yang menelepon Kent."Telepon dari siapa, Pak?" tanya Angela."Aku belum bisa katakan, sebaiknya kamu tidak penasaran tentang itu. Aku pergi dulu, Joey. Ada sesuatu yang harus segera kuperiksa. Kamu tidak apa 'kan aku tinggal sendiri?"Angela tertawa, merasa aneh dengan sikap Kent yang tiba-tiba sangat protektif pada dirinya.

  • Red Shoes Murderer   Bab 30, Penyintas

    "Hasil tes DNA menunjukkan 99,75% identik dengan korban kedua," lanjut David."Yes!" sorak Kent dengan suara tertahan."Kalau boleh tahu, di mana Anda dapat gantungan kunci ini, Pak?" tanya David penasaran.Kent mengambil semua barang bukti itu dari tangan David, lalu menyimpannya di dalam laci di bawah mejanya. Tak lupa, ia menguncinya agar aman."Nanti aku akan katakan padamu. Sekarang aku ingin kamu merahasiakan hal ini dari siapa pun. Aku akan menjebak pelaku itu untuk menyerahkan diri," kata Kent.Malam itu Kent tidak pulang ke rumah. Ia mematikan semua lampu, lalu bersembunyi di ruang rapat. Ia yakin sekali, pelaku pasti berusaha menemukan gantungan kuncinya yang hilang itu. Namun, sampai pagi menjelang tidak ada satu pun yang datang ke kantor malam itu.Keesokan paginya, Kent dikejutkan oleh Keira yang mulai bertugas membersihkan ruangan."Ya, Tuhan. Pak Kent?! Bapak tidur di sini?" seru Keira kaget.Kent menguap lebar,

  • Red Shoes Murderer   Bab 29, Petunjuk Penting

    Sementara David pergi, Kent lanjut memimpin rapat tim gugus tugas."Pak, bagaimana kondisi Angela? Apakah ... dia baik-baik saja?" tanya Endrico khawatir."Luka bakarnya cukup parah, tetapi secara keseluruhan dia baik-baik saja. Dia bisa mengenaliku meski kesulitan untuk bicara," jawab Kent.Pria bertubuh besar itu sebenarnya jarang menunjukkan ekspresi atas apa pun yang terjadi di hadapannya, tetapi kali ini berbeda. Musibah yang dialami Angela cukup telak mengenai hatinya. Saat ini dia dalam keadaan sangat marah sebenarnya. Akan tetapi, dirinya juga seorang profesional yang harus bisa memisahkan masalah pribadi dengan perkerjaan. Meski jantungnya terasa ingin meledak, Kent berusaha untuk tampak tenang agar bisa menyelidiki kasus pembakaran apartemen Angela dengan baik. Di samping itu, kasus pembunuhan berantai ini juga tetap harus jadi prioritas agar tidak ada lagi korban berjatuhan."Sial! Siapa pelaku ini sebenarnya? Berani sekali menyerang rumah petu

  • Red Shoes Murderer   Bab 28, Darah Kering di Gantungan Kunci

    Kilatan cahaya dari mobil polisi menyilaukan mata dini hari itu. Seorang tunawisma memberitahu patroli tentang penemuannya di taman kecil yang selalu gelap tanpa ada lampu taman seperti taman kota pada umumnya.Saat ditelusuri, benar kata tunawisma itu. Mayat gadis itu di letakkan begitu saja tepat di jalan masuk menuju taman. Seperti korban-korban sebelumnya, korban kali ini juga memiliki ciri-ciri yang sama.Sambil berkacak pinggang, Kent menghela napas panjang."Pelaku semakin percaya diri," komentar Lionel. Ternyata dokter forensik itu sudah berdiri di sampingnya sejak beberapa saat lalu."Benar. Seolah menantang dan mengejek kita karena masih belum mampu menangkapnya," sahut Kent.Seorang petugas mendekat."Seperti korban sebelumnya, tidak ada tanda pengenal, Pak. Tapi, bisa dipastikan dia adalah jemaat gereja X," lapor petugas bernama Jimmy itu."Bagaimana kau tahu? Apakah dari pakaiannya?" tanya Kent."Benar. Setiap ming

  • Red Shoes Murderer   Bab 27, Tanpa Jeda

    Jam sudah menunjukkan waktu pukul 3 dini hari ketika Kent Bigael menapakkan kaki di halaman rumah sakit. Sepasang kakinya yang panjang bergerak cepat menuju instalasi gawat darurat tempat dimana Angela sedang dirawat saat ini.Beberapa menit yang lalu ia mendapat kabar, Angela kritis karena ledakan di apartemennya. Kent yang baru saja hendak memejamkan mata langsung melompat dari tempat tidur, kemudian melarikan mobilnya dalam kecepatan penuh menuju rumah sakit.Rasa cemas dan was-was terpancar jelas di wajahnya."Joey!"Kent berseru dengan suara kuat begitu dirinya telah berada di dalam ruang IGD. Ia terus meneriakkan nama belakang Angela sambil menyibak satu persatu gorden yang menutupi ranjang."Maaf, Pak. Anda mencari siapa? Biar saya bantu," tawar seorang paramedis.Tangannya membentang di hadapan Kent, menghalangi pria bertubuh besar itu untuk menyibak gorden lebih banyak. Ia mengerti pria itu dalam keadaan panik, tapi sikapnya telah m

  • Red Shoes Murderer   Bab 26, Ledakan di Tengah Malam

    "Sebelumnya saya minta maaf. Apakah sesuatu terjadi pada Charlotte?"Wanita itu akhirnya mengajukan pertanyaan yang sejak awal mengusik pikirannya. Selama tinggal di komplek perumahan itu, ia belum pernah sekalipun melihat ataupun mendengar petugas kepolisian datang mengunjungi dan menanyai warga. Apalagi polisi dari unit pembunuhan. Wanita itu yakin, sesuatu hal yang tidak wajar pasti telah terjadi.Suasana hening sejenak, karena Kent tidak langsung menjawab. Namun Angela yang tidak sabaran, langsung menjawab pertanyaan itu dengan cepat."Ya, kemarin sore, dia ditemukan tewas di Inwood Hill Park."Wanita itu kaget dan spontan membentuk salib dengan jari di dadanya."Ya, Tuhan. Berarti itukah alasan mereka bertanya-tanya tentang Charlotte sebelum pindah?" tanyanya pada diri sendiri dengan suara samar, nyaris berbisik.Namun, ternyata masih cukup nyaring di telinga Kent Bigael. Pria bertubuh besar itu pun langsung balik bertanya dengan cepat.

  • Red Shoes Murderer   Bab 25, Kesaksian

    Alan Parkhust berperawakan sedang. Kulitnya putih pucat, dengan beberapa tatto di lengan kanan dan kirinya. Dilihat dari sudut mana pun, tidak ada hal yang menarik dari pria itu. Sorot matanya licik, dan dia juga sering menunjukkan senyum sinis. Satu-satunya pesona pria itu hanyalah suaranya yang merdu. Saat ia berbicara, nadanya tenang, kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar manis dan hangat. Mungkin itu yang membuat para gadis dengan mudah termakan rayuannya.Saat ini, dia terpaksa menunda semua hasrat gombalnya itu, karena sekarang dia harus berurusan dengan para penyidik. Terkait atau tidak, keterangannya dibutuhkan untuk mengungkap kematian Charlotte."Haruskah kau berbuat sejauh ini?" serangnya pada David yang baru saja memasuki ruangan itu."Ini masih kurang, Bung. Seharusnya aku mematahkan kakimu sejak lama," jawab David dingin.Bukannya diam, Alan justru mengeluarkan suara tawa yang penuh dengan ejekan."Lalu apa yang kau tunggu? La

  • Red Shoes Murderer   Bab 24, Muslihat Keji

    Jam di dinding baru saja menunjukkan pukul enam pagi, tapi David sudah berada di ruang rapat kantor Unit Pembunuhan NYPD. Wajahnya yang tampan terlihat pucat, ia duduk gelisah dengan jari yang tidak berhenti mengetuk meja. Sesekali helaan napas panjang disertai hembusan yang kuat terdengar dari mulutnya. Suara langkah kaki di luar ruangan terdengar semakin jelas. David menoleh, memindai lewat dinding kaca untuk melihat pemilik langkah kaki itu, tapi belum sempat ia melihat sosok itu dengan jelas, Kent Bigael muncul dari pintu. "Ada apa sampai kau memintaku datang sepagi ini?" tanyanya langsung, begitu melangkah masuk, lalu bergabung bersama David, duduk berhadapan di depan meja rapat. David tidak langsung menjawab, ia mengeluarkan amplop besar dari tas, lalu memberikannya kepada pimpinan gugus tugas itu. "Ini laporan forensik dari dokter Garcia, Pak," ujarnya. Kent menerima amplop itu, tanpa melepaskan pandangan dari wajah David. Pengalaman se

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status