Share

Bab 5, Gadis itu Naomi Heitcher

Brian Wale, pria bertubuh tegap dengan wajah rupawan. Rambutnya kemerahan, sepasang netra berwarna coklat, tapi senyumnya terlihat kikuk. Ia terlihat seperti orang yang sedang ketakutan karena saat berbicara terdengar gugup. Gerak tubuhnya pun selalu terlihat gelisah.

Kent dan Angela memperkenalkan diri, lalu duduk di depan meja kerja lelaki itu.

"Apakah Anda mengenal liontin ini?" tanya Kent. Langsung tanpa basa-basi, dengan nada mengintimidasi.

Ia membuka telapak tangannya, sebuah liontin tergantung pada jari-jarinya.

Brian mengenakan kacamatanya, lalu mencondongkan wajah, memangkas jarak antara dirinya dengan liontin itu.

"Sepertinya buatan sanggar ini. Maaf ... boleh saya memegangnya? Jika memang buatan kami ... pasti ada kode ... di belakangnya," jawab Brian dengan gugup.

Kent menyerahkan liontin itu ke tangan Brian. Bergegas pria itu membalikkan liontin itu, lalu menyorotnya menggunakan kaca pembesar.

"1717," gumamnya. "Sebentar, Pak. Saya periksa dulu di daftar produksi kami," ujarnya seraya memutar tubuh, menghadap monitor yang ada di sisi kanannya.

Setelah beberapa saat, ia kembali buka suara.

"Benar, Pak. Liontin ini buatan kami. Satu bulan yang lalu dipesan khusus oleh Naomi Heithcer," jelas Brian.

"Apakah Anda memiliki biodata pemesan?" tanya Kent lagi.

"Ya, pasti. Sanggar kami mewajibkan pelanggan memberikan beberapa informasi pribadi seperti nama, alamat, nomor telepon, alamat surel, dan akun media sosial," jawab Brian lagi, sambil menyodorkan formulir pemesanan yang masih kosong.

Kent meraih kertas itu, membaca isinya dengan detail.

"Apakah ini wajib diisi?" tanya Kent.

"Tidak semua kolom, Pak. Hanya untuk nama, alamat dan nomor telepon saja, selebihnya optional. Namun, saya sarankan mereka untuk mengisi karena secara berkala kami akan memberikan penawaran khusus via media sosial dan surel."

"Apakah Naomi mengisi lengkap formulir ini?" tanya Angela.

"Benar, Bu," jawab Brian serius.

"Bisa kami minta salinannya?" tanya Angela lagi.

"Tentu, saya akan buat salinannya untuk Anda," jawab Brian. Setelah itu ia membuka arsip, mencari formulir pemesanan atas nama Naomi. Ia langsung menyalakan mesin fotocopy mini miliknya, lalu membuat salinan file itu.

"Maaf, jika saya boleh tahu. Apakah terjadi sesuatu dengan Nona Naomi?" tanya Brian hati-hati, seraya menyerahkan salinan file itu ke tangan Angela.

"Pagi tadi, ia ditemukan tewas mengenaskan di taman bunga," jawab Kent dengan tatapan serius memindai setiap perubahan pada wajah Brian Wale.

Brian tercekat, pupilnya membesar karena kaget.

"Ya, Tuhan," desisnya sambil membuat gerakan salib di dada.

"Terimakasih atas waktu Anda, Tuan Brian. Jika ada sesuatu yang Anda ingat tentang korban jangan sungkan untuk menghubungi kami," ujar Kent seraya bangkit.

Angela ingin mencegah, ia rasa masih ada beberapa hal lagi yang perlu dipertanyakan pada lelaki itu.

Namun, Kent sudah terlanjur melangkah keluar. Angela pun segera undur diri dari hadapan Brian.

"Hei, kenapa kau buru-buru pergi? Masih ada beberapa hal yang belum kita tanyakan," protes Angela.

"Bukan dia orangnya," sahut Kent dingin.

"Bagaimana kau bisa yakin?" cecar Angela.

"Jika memang dia orangnya, dia pasti berusaha menyembunyikan informasi tentang korban. Sebisa mungkin ia tidak akan mau terlibat dengan kasus ini," jawab Kent.

"Bagaimana jika dia berpura-pura?" tanya Angela lagi, masih tidak puas.

"Ekspresi wajah mungkin bisa kau buat-buat, tapi tidak dengan matamu, Detektif Joey. Dari mata pria itu aku tahu, dia tidak tahu apa-apa tentang kasus ini," tandas Kent dengan dominan.

"Yah, semoga saja kau benar," sahut Angela mengalah.

"Aku pasti benar," kata Kent tidak mau kalah.

***

Lionel Garcia bersandar pada lemari besi sambil menatap nanar pada jasad yang terbujur kaku di meja pemeriksaan.

Hasil autopsi pada tubuh itu membuatnya merinding. Selama lima belas tahun karirnya di bidang forensik, belum pernah ia berhadapan dengan pelaku yang cerdas dan cermat seperti sekarang ini.

Tidak ada satu sidik jari pun ditemukan pada tubuh itu. Jika saja Lionel bukan ahli forensik yang berpengalaman ia mungkin tidak akan pernah menyadari titik kecil di tengkuk gadis itu merupakan jejak hipodermis berukuran kecil.

Berkat ketelitiannya itu, Lionel berhasil menemukan midazolam di dalam darah gadis itu. 

Lionel yakin, dosis yang digunakan pelaku hanya setengah tabung hipodermis itu. Pelaku sengaja melumpuhkan gadis itu tanpa menghilangkan kesadarannya sepenuhnya. Itu adalah jawaban pasti mengapa tidak ditemukan bekas-bekas perlawanan di tubuh itu.

Ia mendebas kasar lalu meraih plastik transparan yang berada di belakangnya.

Kent dan Angela tiba tepat saat Lionel hendak menutup jasad Naomi dengan plastik transparan.

"Kalian datang tepat waktu," ujar Lionel seraya membuka plastik itu kembali.

"Kau sudah dapatkan hasilnya?" tanya Kent.

"Penyebab kematian adalah sayatan pada arteri di leher. Waktu kematian sekitar pukul lima pagi," jawab Lionel.

"Lalu apa penjelasan logis atas tidak adanya tanda-tanda perlawanan di tubuh gadis ini?" tanya Kent lagi.

Lionel memperlihatkan hasil pemeriksaan darah kepada Kent.

"Midazolam, mirip dengan Rohypnol. Tidak berwarna dan tidak berbau," jawab Lionel.

Angela menghela napas panjang. Saat bertugas di unit narkoba ia sudah sering mendengar penggunaan Rohypnol di kalangan pelaku pemerkosaan.

Namun, akhir-akhir ini penggunaan obat bius ini semakin berkurang karena Rohypnol produksi terbaru sudah diformulasi khusus akan berubah warna jika diteteskan pada cairan. Akibatnya para calon korban segera mengetahui  sebelum pelaku sempat beraksi.

Sayangnya, ilmu pengetahuan selalu menemukan cara untuk mengganti satu metode dengan metode lainnya. Habis rohypnol muncullah midazolam. Bukan hanya sekadar obat bius yang membuat korban kehilangan kesadaran, obat ini juga mampu melumpuhkan semua persendian.

"Jadi ... Maksud Anda, si pelaku menambahkan midazolam ini ke dalam minumannya?" tanya Angela.

Lionel menggeleng.

Ia meraih kepala Naomi, mengangkat rambut bagian belakangnya, memperlihatkan luka kecil yang nyaris menyerupai tahi lalat kecil.

"Obat itu disuntikkan dengan jarum yang sangat kecil," ujarnya. 

Kent dan Angela menghela napas panjang beriringan. Mereka saling pandang dengan gundah.

"Hanya orang gila yang berkeliaran di tempat umum dengan jarum hipodermis di tangannya," desis Kent berang.

"Apakah sulit untuk melakukannya dengan tepat?" tanya Angela.

"Seharusnya, iya," jawab Lionel. "Namun, zaman sekarang segala sesuatunya bisa dipelajari asal ada kemauan. Ditambah dengan ketekunan berlatih, seseorang pasti bisa melakukannya dengan tepat," sambungnya lagi.

"Gila!" Angela mengumpat tanpa sadar.

"Itu belum seberapa," timpal Lionel. "Kalian lihat kaki ini?" tanyanya kemudian.

"Ya, ada apa dengan itu?" tanya Kent penasaran.

Lionel menghela napas panjang. Berusaha untuk meringankan beban yang memenuhi rongga dadanya.

"Aku menemukan serpihan kayu ulin. Pelaku tidak menggunakan martil biasa."

"Lantas?"

"Bantalan rel kereta api."

"Postmortem?"

Lionel lagi-lagi menggeleng.

"Sama dengan sayatan di leher ... premortem," jawab Lionel dengan wajah sendu.

"Sial!" maki Kent dengan rahang mengeras.

Ia tidak tahu lagi mencari kata yang tepat untuk menggambarkan kekejaman pelaku.

Kaki korban di pukuli hingga hancur, setelah itu lehernya di sayat hingga kedalaman arteri. Semua itu dilakukan disaat korban masih dalam keadaan sadar.

Korban tidak bisa menjerit, korban tidak bisa melarikan diri karena tubuhnya lumpuh. Korban hanya bisa menyaksikan perbuatan sadis itu sambil menjerit di dalam hati. 

"Aku bersumpah. Akan aku tangkap bajingan ini dengan kedua tanganku sendiri," ujar Kent emosi, sambil mengepalkan kedua tangannya hingga memutih.

"Oh, ya, hampir saja lupa!" seru Lionel, sambil berlari menuju meja yang berada di sudut ruangan. Ia membuka laci dengan cepat, lalu mengeluarkan kantong plastik bening dari dalamnya.

"Ini, aku temukan di dalam mulutnya," ujar Lionel seraya menyerahkan kantong plastik itu ke tangan Kent.

Di dalamnya terdapat satu potongan kertas dengan gambar yang telah buram kena air ludah.

Kent membawa kantong plastik itu ke wajahnya, mengamati lebih dekat.

"Apakah ini potongan foto?" tanyanya.

"Tepatnya, potongan majalah," jawab Lionel.

Angela mendekat, turut mengamati potongan kertas yang ada di dalam plastik itu. Namun, ia tetap tidak memiliki jawaban tentang gambar itu.

"Aku yakin, antara gambar ini, dan angka yang dirajah pada tungkai Naomi pasti memiliki kaitan erat. Bisa jadi ... petunjuk tentang korban berikutnya," ujar Kent.

"Maksudmu ... kita sedang berhadapan dengan pembunuh berantai?" tanya Angela tidak percaya.

Kent tersenyum sinis.

"Hanya pembunuh berantai yang mau merepotkan diri meninggalkan petunjuk misterius kepada kita," jawab Kent.

"Dan kau bisa pegang kata-kataku. Dalam tiga hari kedepan dia akan mengirimkan mayat lagi kepada kita," tandas Kent lagi.

"Kalau begitu ... Saat ini dia sudah bersama korban berikutnya?" pekik Angela panik.

"Ya ... dan sedang memburu calon korban berikutnya lagi."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mayanov
Tim yang hebat. Forensiknya juga keren. Berasa nonton film ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status