Malu masih ditanggung oleh pikiran, tetapi hina selamanya akan menanggung badan. Gagal dalam sebuah pekerjaan merupakan hal yang biasa. Namun, kehilangan kehormatan merupakan kegagalan yang luar biasa dalam menjaga diri.Santi sudah resmi masuk dalam list "karyawan" Keukeu. Semuanya sudah runyam. Hanya kata "jalani" yang bisa disematkan pada langkahnya.Riana sendiri sudah bertahun-tahun “mengabdi” di Rumah Butterfly. Protistusi seakan telah menjadi candu. Ia tahu pekerjaannya tidak benar. Namun, bukan perkara mudah untuk berhenti.Lantas, tidak adakah yang berani melapor kepada polisi atau memblow up tentang Keukeu ke media sosial? Jawabannya, percuma.Keukeu memiliki sokongan yang kuat dari beberapa oknum terpandang di negeri ini. Maka dari itu, ia cukup sulit untuk dipidanakan dengan tuduhan apa pun. Pernah ada yang melaporkan, tetapi si pelapor justru berbalik mendapat ancaman.Keukeu tak hanya memiliki surat sakti berupa perjanjian kabur. Ia juga selalu merekam malam pertama seti
Gundah gulana tengah mencabar pikiran Wildan. Berhari-hari menanti kabar dari sang kekasih, tetapi satu kata pun tak ia terima. Kekhawatiran semakin menguat dalam sanubari. Adakah rindu yang ia rasakan mulai buntu?Hangatnya pelukan Santi masih Wildan rasakan menyelimuti badan. Pun, semangat, janji, kesetiaan masih mengalun mesra di telinga. Namun kini, mengapa tiba-tiba semuanya terbias semu? Seolah kemarin hanya mimpi. Seakan kasih bermetamorfosis menjadi ilusi, mengarah pada fiksi.Wildan turun dari motor dengan wajah lesu. Ia jatuhkan badan diranjang bambu sambil membuka helm.“Dan, Ambu perhatiin kamu teh belakangan kayak murung terus. Apa yang kamu pikirin?” tanya Ambu menyambut Wildan pulang dari training kerja. Dia mengamati ada tingkah yang berbeda dari Wildan beberapa hari ini.“Nggak ada apa-apa, Ambu,” jawab Wildan sambil melepas sepatunya.Ambu tidak puas dengan jawaban WIldan. Jelas ada hal yang ganjil di pelupuk mata, sang putra justru berusaha menutupi. “Dan, Ambu tahu
Irama musik disko berdengung kencang di Rumah Buttefly. Waktu baru beranjak meninggalkan Maghrib. Namun, orang-orang sudah asik menggelar pesta.Perempuan-perempuan berbusana seksi berjajar, menyambut pengunjung yang datang. Semakin malam, semakin ramai pria hidung belang mencari kepuasan seksual. Menghaburkan uang, mengkhianati pasangan.Santi berbisik kepada Riana. Ia merasa canggung dan tak nyaman. Terlebih ketika mata-mata jelatatan memandangnya sambil menjulurkan lidah.“Santai aja. Mau bagaimana lagi?! Lama kelamaan kamu akan terbiasa melayani mereka”, ujar Riana memberi ketenangan.Tenang? Pada dasarnya hati Santi tidak bisa tenang. Bagaimana bisa tenang sementara dosa mengambang di pelupuk mata.Keukeu memanggil para kupu-kupu malam dengan tepukan tangan. Ia mengumpulkan mereka di sebuah ruangan khusus dengan cahaya remang-remang.“Selamat malam, ladies – para pembuat desahan manja yang membahana, pemberi kenikmatan dunia tiada tara, dan penarik mesin ATM berjalan yang meresa
Firman menatap Santi penuh kekaguman. Ia begitu terpesona melihat sang gadis dalam balutan plaid shirt yang dipadukan dengan kulot. Tampilan Santi terbilang sederhana, tetapi begitu memanjakan mata. “Kenapa kamu melihat saya seperti itu? Apa ada yang salah dalam penampilan saya?” tanya Santi. Ia merasa risih dengan tatapan Firman yang mengiaskan senyuman. “Kamu belum menyebutkan namamu. Saya rasa kamu tidak lupa kan dengan janjimu waktu itu,” jawab Firman menegaskan harus ada perkenalan resmi. Santi menghela nafas. Mau tidak mau, dia harus menepati janji. “Nama saya teh Santi, Kang,” ucap Santi sambil menyeruput Americano. Firman mengelengkan kepala. “Jangan panggil saya dengan sebutan Kang dong. Saya bukan orang Sunda. Panggil nama saja.” Santi masih belum fasih dalam melekatkan atribut sapaan kepada orang-orang di Jakarta. Memorinya masih merekam interaksi sosial yang ada di desanya. Lagi pula, ia tidak tertarik untuk mengenal Firman lebih jauh. Ada perasaan khawatir yang memb
Ketika suatu tujuan tercapai, harusnya bahagia menyergap raga. Namun, Santi justru tampak murung. Ia berlindung di bawah bantal untuk menutupi kesedihan.Dia yang meminta Wildan mulai mencari penggantinya. Dia pula yang dilanda ketakutan, karena sudah berhari-hari tak ada satu pun riwayat di ponselnya atas nama sang kekasih. Rindu membara di dalam batin yang tersiksa.Sementara itu, Firman tak henti menghubungi Santi walau tak pernah ditanggapi. Santi sengaja mengabaikan karena takut jatuh hati kepada Firman.Untuk saat ini dia memang belum memiliki ketertarikan kepada Firman. Hanya saja, perjalanan hati terkadang sukar untuk diprediksi.“San, hape kamu dari tadi berdering terus nih,” seru Riana memberi tahu.Wildan. Semoga itu panggilan dari Wildan. Harap Santi.Kali ini, ia bertekad untuk menerima panggilan dari Wildan. Ia ingin mendengar alunan lembut suara Wildan yang mampu menenteramkan jiwa.Sayang seribu kali sayang, bukan nama Wildan yang tertulis di layar ponselnya, melainkan
Hidup penuh persaingan. Terlebih jika berbicara tentang uang. Tak peduli di mana dan dengan siapa, semuanya seakan rival dalam menyambung nafas. Dunia kerja, halal atau haram, tetap saja menyimpan api di dalam sekam.Julia merasa kehadiran Santi di Rumah Butterfly merupakan ancaman dalam “kariernya”. Sementara bagi Santi, ia hanyalah aktris yang menjalani lakon sesuai arahan sang sutradara. Suka tidak suka, semua harus dilakukan karena sudah terikat kontrak.“Kamu kenapa, San? Teteh lihatin dari tadi kamu tampak melamun terus?” tanya Riana seraya membuang asap dari mulut.“Nggak apa-apa, Teh. Cuma aku ngerasa bingung aja. Aku kira semua orang di sini kayak Teteh dan Mawar yang menganggap satu sama lain sebagai keluarga, bukan saingan.” Santi menengadahkan kepala ke langit-langit yang berkerlap-kelip. Kerinduan terhadap keseharian di kampung pun membumbung dalam pikiran.“Tentang Julia? Kamu tidak perlu meladeni dia. Namanya hidup dalam sebuah kelompok, pasti akan selalu ada gesekan. T
Pikiran berusaha melupakan, tetapi hati justru berbuat sebaliknya. Kenangan, harapan, dan janji bersama Santi melagu sendu di kepala Wildan. Setiap hari menegarkan nasib, selama itu pula kaki bak dirantai sengsara.Wildan bersandar di tiang teras penyangga rumah. Ia pandangi langit berseri yang seakan meledek suasana hatinya. Rembulan ditemani bintang, sedangkan ia ditemani ketidakpastian dalam menjalin cinta.“Ngalamun wae (melamun saja), Dan? Mikirin si Santi ya?” tanya Kesih yang lewat di hadapan Wildan.Hanya senyuman tipis yang Wildan layangkan sebagai respon atas pertanyaan Kesih. Wildan tak mau membalas dengan kata sebab tahu hanya akan memancing celotehan sang tetangga.“Makanya cari kerjaan yang gajinya lebih gede, Dan. Kalau bisa mah mulai merintis usaha. Saya teh sebenarnya mau-mau aja jodohin si Euis sama kamu. Tapi ya kalau penghasilan kamu masih jauh di bawah dia mah, saya masih ogahlah. Maaf ya Dan, saya mah realistis aja. Kalau cuma buat pacaran mungkin perempuan nyari
Seorang perempuan cantik duduk dengan gelisah di atas sofa mewah. Berkali-kali dia pandangi ponselnya sembari menghitung waktu. Malam semakin larut, tetapi yang ditunggu masih belum tampak tanda-tanda kehadirannya.Hatinya tak tenang, pikirannya menerawang penuh rasa curiga. “Ke mana kamu, Mas?!” gerutunya kesal.Tak lama, terdengar bunyi pintu yang dorong. Ia tahu pasti itu suaminya yang baru pulang. Ia sambut sang belahan jiwa dengan muka masam. Kesal yang menumpuk menjadi amarah sudah berada di ujung lidah, siap untuk dilampiaskan.“Mas, kamu tahu nggak sekarang jam berapa? Aku nunggu kamu buat makan malam sampai hilang rasa laparku. Nomor handphonemu tidak bisa dihubungi. Kamu juga pergi tanpa memberi kabar sama aku. Apa sih yang kamu lakukan? Apa kamu lagi coba-coba ‘jajan’ di luaran? Awas ya, Mas!” ungkapnya dengan suara tinggi.Firman tak menggubris perkataan istrinya. Ia teguhkan langkah menuju kamar.Sang istri, yang bernama Mariska, menjegal ayunan kaki Firman. Hatinya semak