Home / Young Adult / Rest Area / 8. Hari Pertama PKL

Share

8. Hari Pertama PKL

Author: Desimala
last update Last Updated: 2021-04-12 10:47:33

Bayangan-bayangan indah PKL dalam kepalaku buyar seketika. Karena saat pertama masuk ke kantor pos aku nggak disambut ala Princess Syahrini. Boro-boro berjalan di red carpet terus dikasih ucapan welcome. Pertama masuk ke gerbangnya, aku dan temanku langsung disuruh kerja. Barisan orang pensiunan yang mau ambil duit di tanggal dua merupakan hal yang menakjubkan. Iya, aku perhalus bahasanya biar nggak ngenes amat.

Pembimbingku baru datang satu jam setelah aku mondar-mandir kayak orang linglung. Setelah menghadap kepala perusahaan, pembimbingku balik lagi.


Udah gitu doang?


Bete!


Jadi beginilah nasibku dan Mita, temanku. Jadi kacung dadakan. Bisa disuruh gini-gitu, apa aja pokoknya. Dari mulai mengkilokan barang sampai disuruh melakban barang yang akan dikirim. Kerja serabutan. Giliran mendalami peran sebagai seorang akuntan, kami malah disuruh menghitung uang receh lima ratus ribu. Ya Salam, padahal pas pelajaran akuntansi perusahaan dagang, aku selalu menghitung uang sampai miliaran. Giliran prakteknya, aku megap-megap bareng uang recehan. Mataku melotot terus lihat uang gepokan. Kalau aku mangap dikit, pasti ilerku juga berjatuhan bagai hujan deras. 


Sekitar pukul sepuluh, barulah kami bisa bernapas. Aku duduk dengan nyaman sekaligus mengistirahatkan kakiku yang terasa pegal selepas mondar-mandir.


Aku sampai lupa mengamati sekeliling kantor ini. Baiklah, kantor ini ukurannya agak besar. Cuma bangunannya dibagi dua dengan Bank Mandiri di samping kanan. Ruangan ini didominasi dengan warna putih. Bukan cuma tembok yang bercat putih, tapi mejanya juga warna putih. Meja yang ditempati karyawan memanjang dan terbagi dalam tiga sekat. Tiap meja ada komputernya dan ada lacinya buat menyimpan uang. Selain memanjang ke samping, mejanya juga memanjang ke belakang. Aku bingung mau jelasinnya gimana. Pokoknya karyawan jadi dikelilingi meja dan keluar dari celah belakang. Aku sendiri duduk di antara sekat mereka. Jadi, kalau ada yang butuh bantuanku, aku nggak ribet. Nah, di atas meja karyawan yang tadi aku jelaskan, ada meja memanjang ke samping. Itu gunanya untuk pelanggan mengisi formulir dan lain-lain. Kayak di Bank gitu, lho.


Di depan meja ada jajaran kursi tunggu. Pintu masuknya kayak pintu minimarket, tarik-dorong. Di atas pintu ada jam dinding berwarna putih juga. Samping kiri ada air conditioner dan di bawahnya ada piagam dari Bank Indonesia. Samping kananku ada kelender dan pengharum ruangan.


Di belakang ruangan kerja ini ada dua meja. Yang satu tempat menaruh barang karyawan. Satunya meja tempat menaruh barang kiriman. Ada rak khusus juga buat menyimpan surat yang sudah disortir berdasarkan desa. Di belakangnya lagi ada kamar mandi dan tempat sholat. Sudah segitu doang. Nggak luas kayak Istana Presiden, kan? Namun, semoga aku betah PKL selama tiga bulan di sini.


Pukul 12.00 WIB kami disuruh makan siang. Aku dan Mita melipir ke ruangan khusus sholat. Usai sholat aku disapa bapak-bapak. Dia kayaknya bapak yang tadi baru saja mengambil uang pensiunan. Namun, kenapa dia belum juga pulang? Malah mangkal di sebelah kantor.


"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku, menirukan Ibu Suri yang dulu memberi materi tatakrama pas pembekalan PKL.


"Ada Januari?"


"Januari itu manusia?"


Oke, itu memang pertanyaan ambigu yang pasti dilontarkan sama orang nggak berotak. Hahaha ... Bodo amat.


"Iya. Cucu saya. Bisa dipanggilin?"


"Ciri-cirinya?"


"Masih sekolah. Kayak Neng ini. Lagi PKL di telkom Indonesia."


Lah, si Bapak suka bercanda. Kalau nyari cucunya yang di telkom, ngapain nyasar di kantor pos?


"Oh. Kenapa Bapak mencari di sini? Telkomnya di sebelah, Pak."


"Kirain yang di sebelah sana itu," kata si Bapak sambil menunjuk bangunan di samping kanan kantor pos.


"Bukan, Pak. Yang itu Bank Mandiri. Kalau telkom di samping kiri ini."


"Bisa tolong panggilin Januari nggak? Bapak nunggu di sini. Nggak kuat buat jalan ke sana."


"Tunggu ya, Pak."


Mita aku suruh menunggu si bapak, sedangkan aku langsung lari ke telkom.


Di tenda kecil tempat biasa orang numpang wi-fi ada sekumpulan anak STM. Aku tahu karena seragamnya yang ketat dan rambutnya yang digundul keren. Entah apa namanya potongan rambut itu. Cepak kalau nggak salah. Namun, meskipun dicukur pendek mereka tetap ganteng. Malah semakin terlihat gagah macem tentara.


"Selamat siang. Ada yang namanya Januari?"


Sepersekian detik kemudian, semua mata tertuju padaku. Ada yang mengernyitkan dahi, ada yang pasang muka datar, ada yang pasang muka kepo, macem-macem. Ada juga muka yang aku kenal di situ. Si Fanta. Orang yang dulu pernah nyolot depan wajahku saat menabrak ban motor Eris.


"Kamu?!" Aku memekik. Ternyata bukan hanya aku, dia juga melakukan hal yang sama.


"Alien. Kenapa sih, Tuhan mempertemukan aku dengan manusia terkutuk macam kamu?" Aku menggerutu sambil menginjak-injak tanah meluapkan emosi.


"Mulut perempuan gitu amat, Neng."


"Heh, ini mulut juga punyaku, kenapa kamu yang repot?"


"Gak jelas beneran ini cewek. Diajarin sopan santun nggak sama gurumu?"


"Diajarin tanggungjawab nggak sama ibumu?"


"Cewek gila."


Aku mengepalkan tangan kuat-kuat. Kudekati dia dan secepat kilat aku tarik kerah bajunya. Lalu, kupukuli dia kayak orang kesetanan. Bodo amat nanti malam dia bakal nelepon tukang urut juga. Yang pasti egoku tercubit saat dia panggil aku gila.


Teman-teman Nanta langsung berdiri, berniat memisahkan aku yang memukuli Nanta penuh emosi. Namun, emang dasar aku udah ahli mukul orang. Jadi, mereka pasrah temannya dianiaya. Mereka meninggalkan kami yang masih bertengkar dan adu mulut.


"Stop! Jaga jarak aman!" Dia melepaskan tanganku di kerahnya. Lalu, menjauh beberapa langkah.


"Gak bisa. Kamu udah hina aku tadi. Aku nggak gila. Seenaknya aja kamu bilang gitu."


"Oke, maaf. Namaku Januari. Ada perlu apa nyariin?"


Rahangku hampir saja menggelinding di tanah. "Nama kamu Nanta, kan?"


"Kenalin, Arkananta Januari."


"Terus ngapa Eris bilang nama kamu Nanta."


"Nanta panggilan khusus untuk orang asing. Januari panggilan dari keluarga. Arkan nama yang dikenal teman-temanku."


"Kalau malam kamu jadi Ijem?" 


"Jangan ngaco."


"Namaku April."


"Oh, Ap- Apa?" Kulihat dia menampilkan ekspresi kaget. Ada yang salah sama namaku?


"Kenapa?"


"Kehabisan stok nama ya sampai ngambil dari nama bulan?"


"Sendirinya juga kehabisan stok nama ngambil nama bulan Januari. Mikir!"


***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Rest Area   41. Ada Yang Berubah

    Bisa dibilang hari ini aku sedikit beruntung, karena selain dipertemukan dengan orang ganteng aku juga diberi kesempatan untuk mengetahui namanya. Kabar baik lainnya adalah ternyata Oppa Korea yang tadi papasan sama aku di parkiran itu adalah karyawan baru yang dikirim dari kantor pusat untuk menggantikan Bu Jihan. Di sisa-sisa masa PKL ini, akhirnya aku bisa cuci mata, nggak melulu melihat wajah Pak Arip yang kerutan. Hehe.“Mit, namanya Zikri,” bisikku pada Mita yang baru saja datang. Cewek itu rupanya kesiangan karena semalam Ozan mengajaknya jalan-jalan. Pantas saja nomor WA-nya nggak aktif semalaman rupanya teman PKL-ku ini sedang berbucin ria dengan doinya.“Manggil orang yang lebih tua itu mesti pakai sapaan di depannya, Pak atau Aa, kek.”“Dia nggak pantes disebut Pak, wajahnya masih muda. Aa juga nggak pantes, karena mukanya nggak Sunda banget, mestinya dipanggil Sayang.”Aku cengar-cengir, sedangkan Mita malah

  • Rest Area   40. Oppa Korea

    Zia mengajakku ke suatu tempat sore ini, tapi aku lagi mager banget. Kerjaan di kantor pos lumayan banyak hari ini karena Bu Jihan sudah fix resign. Aku dan Mita sampai tepar karena mengkilokan barang yang akan dikirim. Barangnya berat-berat lagi, aku yakin nanti malam punggungku pasti minta diurut.Zia: Anter, dong.Lagi-lagi Zia mengirimiku pesan. Sembari menunggu angkot lewat, aku duduk di depan warung tukang es kelapa dan menelepon Zia.“Emang mau ke mana, sih?” tanyaku saat panggilan telepon terhubung.“Mau beli kado.”“Aku heran, deh, kenapa hari ini banyak banget yang minta aku buat nganter beli kado.”“Emang siapa yang udah minta kamu anter beli kado?”“Januari.”“Buat siapa?”“Buat sang mantan,” jawabku ketus.“Wow, ada yang cemburu rupanya,” goda Zia.“Aku kesel pokoknya. Kamu beli kado buat si An

  • Rest Area   39. Kebingungan

    Kemarin, Januari langsung mengantarku pulang karena aku bilang merasa lelah. Tadinya dia masih ingin mengajakku jalan-jalan. Cowok itu merasa bersalah karena pagi harinya membatalkan janji untuk mengantarku. Aku, sih, nggak marah. Cuma ... ya, kesel aja. Lain kali aku nggak mau kalau dianter ke mana-mana lagi, kecuali saat mendadak mau pergi dan kebetulan dia lagi senggang baru aku terima tawarannya.Hari ini pun dia menawarkan untuk mengantarku ke tempat PKL. Karena aku bangun kesiangan, akhirnya aku terima tawarannya. Begitu mengirim pesan dan kubalas, motor dia sudah tiba di depan rumah. Aku yang masih sarapan sontak tersedak. Aku belum dandan, Genks, rambutku pun masih basah dan acak-acakan karena baru mandi. Kasihan Januari harus melihat penampakan jelekku."Buruan makannya, itu temen kamu udah jemput," kata Ibu sembari meletakkan

  • Rest Area   38. Gibah

    Bunyi perutku yang minta diisi membuat Disa kehilangan fokus saat mengetik. Dia menatapku, lalu menaruh laptop di meja. Niara pun berhenti membaca kata pengantar yang telah dicetaknya. Ia merapikan berkas yang berceceran di lantai. Kedua temanku ini sudah hapal kebiasaanku. Kalau sudah keroncongan otakku nggak bisa diajak berpikir. Mereka mulai merapikan dandanan dan bersiap pergi. Saatnya berburu makanan.“Kita mau ke mana?” tanya Disa usai memaki helm.“Alun?”“Alun Majalengka kejauhan,” protesku.“Alun Maja, April!” Kedua manusia ini bicara barengan. Ah, kalau sudah bersama mereka ketololanku emang suka muncul tiba-tiba.“Mau makan apa emang?” tanya Niara.“Seblak?” Disa bukan memberi jawaban, tapi dia merekomendasikan.“Bosen,” jawabku.“Baso aci aja, yuk. Ada kedai yang baru buka di sekitar terminal, menurut saudaraku, sih, enak

  • Rest Area   37. Diskusi

    “Hallo, Dis?” Aku mendekatkan ponsel ke kuping kanan, sambil terus melangkah menuju Pajagan. Tadinya aku hendak meminta kakak iparku untuk mengantarkan, biar cepet gitu naik motor. Namun, kata Kak Okta, suaminya lagi pergi mancing sama Pak Gus, tetangganya. Alhasil sekarang aku ngos-ngosan karena berjalan, udah gitu matahari mulai merangkak naik, bikin keringat mengucur di balik baju.“Kenapa, Pril?” sahut Disa.“Kamu belom berangkat?”“Belom, aku masih di pasar. Bentar lagi pulang. Nanti aku langsung OTW.”“Aku nggak jadi diantar Januari, kita bareng, ya. Aku tunggu di pasar Kadipaten kayak biasa.”“Kenapa nggak jadi dianterin?”“Ada urusan mendadak dia.”“Oh, oke. Kabarin aja kalau udah sampe. Kamu bawa helm, ‘kan?”“Iya, bawa.”“Ya udah, aku kabarin nanti

  • Rest Area   36. Emosi

    Aku baru saja berniat untuk tidur selepas memikirkan hal-hal nggak guna. Namun, bunyi ponsel yang meraung-raung membuat mataku terbuka lagi. Ck, sial. Tahukah dia bahwa pukul dua dini hari bukanlah waktu yang tepat untuk mengobrol? Di waktu seperti ini mendingan curhat sama Allah melalui sholat tahajud, bukannya mengganggu tidur Princess.Kuraih ponsel di atas kepala, lalu melihat layarnya yang menampilkan nama Januari. Buset, rupanya si biang kerok ini yang minta dihajar. Dia nggak kasihan apa sama aku? Gara-gara kunjungan mendadak yang membawa serta mantannya itu, aku jadi nggak bisa tidur. Sekarang saat mataku lelah, dia muncul membuat jantungku dugeman."April?" suaranya menyapa gendang telingaku begitu tombol hijau di layar ponsel kugeser."Hm ...." Aku menanggapinya dengan deheman, pura-pura baru bangun tidur biar dia merasa bersalah."Jangan pura-pura tidur, aku tahu kamu belum tidur. WA kamu aja baru dilihat beberapa menit lalu," sindir Januari.

  • Rest Area   35. Cemburu

    Pukul sepuluh malam, mereka masih berada di rumahku sambil memakan gorengan yang kini tersisa beberapa buah. Aku duduk menghadap televisi yang menampilkan film action. Di sebelahku ada Januari dan Anetta. Entah kenapa cewek itu mengintili Januari terus. Bahkan saat Januari ke warung untuk membeli minuman dingin pun dia ikut, sudah seperti anak kecil yang takut ditinggalkan emaknya. Ozan, Rival, dan Zia duduk melingkari meja. Hanya Zia dan Rival yang mengobrol, sedangkan Ozan rupanya sedang video call dengan Mita.“Ah, sial!” Lagi-lagi umpatan keluar dari mulut Januari, disusul dengan teriakan Anetta. Rupanya film itu menampilkan adegan tabrak-menabrak antar mobil sampai salah satu lawannya jatuh ke jurang. Aku tidak tahu judul film yang sedang ditayangkan ini apa. Biasanya di sudut televisi ditampilkan, tapi sekarang enggak.Aku sebenarnya tidak terlalu suka film yang bikin jantung dag-dig-dug alias film laga. Berbeda dengan Januari yang sepertinya sangat m

  • Rest Area   34. Canggung

    Melihat Januari tadi sore mengerjakan laporan PKL, aku jadi ketar-ketir karena belum mempersiapkan apapun. PKL tinggal sebulan lagi dan aku bingung harus melaporkan apa. Karena sudah kubilang sejak awal kalau kerjaanku di kantor pos cuma jualan materai dan jadi cewek bucin yang mengejar cowok bernama Januari. Hehe.Aku mengambil ponsel yang baru kuisi daya. Lalu, menelpon Niara dan Disa di grup untuk mendiskusikan masalah laporan ini.“Kamu lagi apa, Dis?” Aku memulai pembicaraan karena sedari tadi dua sahabatku ini diem terus kayak lagi ngemut permen. Mungkinkah Niara masih merasa canggung karena masalah Alan tempo itu?“Aku lagi main, Pril. Ini ‘kan malam Minggu,” jawab Disa. Suara bising dari knalpot kendaraan berikut klaksonnya menjadi latar suara Disa. Untungnya kupingku nggak budek, jadi masih bisa mendengarkannya.“Ugh, yang punya pacar mah beda. Kamu juga lagi malem Mingguan, Ra?” Aku memancing Niara untuk bicara. Namun, jawaban Niara hanya sebuah deh

  • Rest Area   33. Terciduk

    Begitu sampai di depan kantor pos, aku melihat motor Supra yang sering dibawa Januari terparkir rapi. Sudah dipastikan Ozan yang membawanya ke sini."Ngapain itu orang mangkal di depan kantor pos?" Aku turun dari motor Januari dan mendekati si Supra sambil celingukan mencari empunya."Paling abis nganter bebebnya," jawab Januari asal. Ia menerima helm yang kuberikan dan bersiap untuk pergi ke tempatnya PKL. "Udah, ya. Nanti sore aku tungguin di tempat tongkrongan.""Di mana?""Itu di tempat Wi-Fi."Aku mengacungkan jari jempol.Kantor pos masih sepi padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Mungkin karena ini akhir bulan. Kantor pos ramai hanya saat awal bulan saja, karena ada ratusan pensiunan yang mengambil gaji pensiun. Juga awal

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status