Arkananta Januari. Tiga nama yang melekat dalam satu diri manusia. Bukan cuma panggilannya yang berbeda, tapi kepribadiannya juga. Aku curiga kalau Januari ini mengidap penyakit DID alias kepribadian ganda. Nanta kepribadian songong, Januari adalah kepribadian yang lemah lembut dan penyayang. Aku tadi lihat dia saat berinteraksi dengan kakeknya. Nama Januari memang kepribadiannya yang plus, nggak ada minus. Malah aku sempat terkesima dengan sikapnya yang begitu perhatian pada sang kakek. Kepribadian Arkan aku belum tahu. Jangan-jangan Arkan adalah kepribadiannya yang psikopat. Aduh, kok, jadi ngeri gini kenal sama Januari?
Namun, aku kesampingkan dulu masalah Januari. Saat ini aku sedang memikirkan Alfa yang nggak mengirimiku pesan seharian. Jangan-jangan dia ditelan bumi dan nggak bisa keluar.Selepas isya, aku mengurung diri di kamar. Sudah ada niat untuk berkutat dengan ponsel dan aplikasi wattpad. Sudah kubuka juga aplikasi KBBI dan tesaurus buat mendukungku menuliskan bait-bait puisi. Namun, aneh sekali. Detik ini pikiranku melanglang jauh entah ke mana.
Kulirik ponsel yang tak menampilkan satupun pesan masuk. Ada sesuatu yang mendorongku untuk menghubungi Alfa lebih dulu. Aku ingin bercerita saat ini. Dan entah mengapa hanya Alfa yang bisa kupercayai.
Panggilan pertama tak dijawab. Padahal status online masih terlihat di bawah namanya. Panggilan kedua masih sama. Panggilan ketiga barulah dia menjawab teleponku dengan napas berat yang terdengar tak bersahabat.
"Hallo, Alfa," sapaku kelewat cempreng. Aku yakin saat ini Alfa pasti sedang menjauhkan ponselnya dari telinga dan memakiku.
"Kayaknya ada yang lagi galau," katanya. Cih, padahal aku sudah membuat suaraku ceria kayak bocah yang baru menang lotre. Namun, bisa-bisanya dia menebak kalau aku lagi galau. Jangan-jangan aku sudah memiliki ikatan batin dengannya. Kayak Keenan dan Kugy yang punya radar neptunus.
"Ganggu nggak?"
"Kenapa?"
Ish, ini orang ditanya malah balik nanya. "Kayaknya kamu lagi capek."
"Iya. Baru datang dari Majalengka."
"Oh. Ya udah, aku tutup teleponnya."
"Kenapa?"
"Ada badai dari negeri seberang. Aku harus menyelamatkan sekawanan tawon yang tiba-tiba nggak bisa terbang."
"Aku juga mau jadi relawan."
Obrolan dilanjutkan dan yang kami bahas adalah sekawanan tawon yang tiba-tiba merangkak untuk sampai ke puncak Himalaya buat metik edelweis. Oke, ini gila. Bagaimana dua manusia berumur tujuh belas tahun--nggak tahu Alfa--malah membicarkaan hal-hal di luar nalar. Dua puluh persen ini dipengaruhi olehku yang tadi habis nonton film Perahu Kertas dan melihat tingkah aneh Kugy, sampai-sampai saking menghayatinya aku jadi menerapkan kegilaan itu pada obrolanku dengan Alfa. Anehnya Alfa juga meladeni semua ocehanku yang nggak bermutu ini. Sepuluh menit berlalu dengan sekawanan tawon yang nggak guna. Akhirnya aku kehabisan bahan obrolan.
"Eng ... Aku mau cerita. Tadi aku ketemu cowok," ucapku memulai sesi curhat. Niatnya aku nggak akan menceritakan kejadian tadi siang dengan manusia purbakala bernama Januari. Namun, sepertinya aku harus berbagi kekesalan dengan Alfa. Untuk masalahku yang berat dan membutuhkan tenaga untuk dipikirkan, itu bisa kuceritakan nanti. Karena tampaknya Alfa juga sedang lelah. Terdengar dengan napas beratnya di awal obrolan ini tersambung.
"Ganteng?"
"Gantengan Temon ke mana-mana."
"Terus?"
"Sumpah, itu orang nyebelinnya udah kayak Tuan Krab yang selalu memperbudak Spongebob buat menghasilkan duit."
"Kasih lagu Jaran Goyang coba, kali aja dia terpesona sama goyangan kamu."
"Kukasih Goyang Dumang tadi."
Alfa terkekeh. "Terus?"
"Namanya Januari. Anak STM. Rambutnya botak kayak si Ipin."
"Bening dong kalo kena matahari."
"Bukan bening lagi. Silau, Mas. Sampai aku harus pakai kacamata kalau dekat dia."
"Pake yang tiga dimensi kacamatanya, siapa tahu kamu bisa membayangkan planet merkurius di depan mata."
"Yaelah, bukan merkurius lagi. Kubayangin itu kepala jadi matahari. Dan lama-lama aku terbakar."
Alfa tertawa terbahak-bahak. "Terus aku kasih kamu air biar nggak kepanasan," jawab Alfa.
"Tapi, airnya jadi ikutan panas dan aku semburin ke kamu. Kamunya jadi ikutan terbakar!"
"Kita mati bersama di kelilingi ribuan gemintang. Yeay!"
"Sinting." Aku mencebik. Kenal sama Alfa seminggu, aku jadi khawatir berlebihan. Aku harus cek ke rumah sakit jiwa. Takut nanti kadar kewarasanku nyisa satu persen. "Aku tutup teleponnya, ya," kataku. Aku nggak mau, lho, ambil risiko gila bareng dia. Jadi, lebih baik aku akhiri sekarang juga percakapan nggak mutu ini.
"Kenapa?"
"Takut gila."
Dan lagi-lagi tawa Alfa membahana. Membelah bumi dan segala isinya. Kemudian, seluruh manusia pindah ke bulan naik kereta kayak lagunya Cherybell.
"Aku tutup teleponnya."
"Iya."
Selanjutnya kutaruh ponsel di samping bantal dan aku merapalkan doa sebelum tidur. Namun, belum sempat aku tertidur ponsel dekil milikku berdering lagi. Pasti Alfa menelpon lagi. Tanpa kulihat nama penelepon, kugeser layar untuk menjawab panggilan itu.
"Hallo, Fa. Aku udah mau tidur."
"Ini Zia."
Mataku melotot dan langsung melihat layar ponsel. "Eh, maaf. Kenapa?"
"Jadi mau pesen kripik pedas atau yang balado?"
"Oh. Pedas."
"Yaudah. Bye."
"Eh, bentar, Zia!"
"Apa?"
"Kenal Januari?"
Kemudian, panggilan ini berlangsung lumayan lama. Zia menjelaskan siapa Januari. Manusia purbakala itu orang Sukahaji yang dulu sempat kami bicarakan karena dia tak mau PKL di Telkom Kadipaten. Menyebabkan Zia dan Januari harus bertukar posisi. Januari sekarang tinggal di rumah Ozan. Karena jarak Sukahaji dan Jatiwangi itu jauh. Kebetulan Ozan itu tinggal sendiri di rumah. Ibunya sudah meninggal dan Ayahnya sedang bekerja di luar kota. Gebetannya Zia juga numpang di rumah Ozan biar dua puluh empat jam bisa melihat Zia.
"Terus?" tanyaku lagi.
"Udah, ah, capek. Aku juga cuma tahu segitu. Januari itu nggak sekelas sama aku. Aku tahu info itu juga dari Ozan. Satu lagi, aku nggak punya nomornya."
"Siapa yang nanyain nomornya?"
"Kamu, kayaknya."
"Ogah."
"Yaudah."
Belum sempat aku menjawab, Zia sudah menutup teleponnya. Dasar!
Satu notifikasi dari instagram membuat aku ingin mengubur diri sendiri di TPU terdekat.
Januari following you on instagram
Setelah mem-follow, dia juga mengirim sebuah pesan.
Januari: Follback!
Tamat riwayatku!!
***
Bisa dibilang hari ini aku sedikit beruntung, karena selain dipertemukan dengan orang ganteng aku juga diberi kesempatan untuk mengetahui namanya. Kabar baik lainnya adalah ternyata Oppa Korea yang tadi papasan sama aku di parkiran itu adalah karyawan baru yang dikirim dari kantor pusat untuk menggantikan Bu Jihan. Di sisa-sisa masa PKL ini, akhirnya aku bisa cuci mata, nggak melulu melihat wajah Pak Arip yang kerutan. Hehe.“Mit, namanya Zikri,” bisikku pada Mita yang baru saja datang. Cewek itu rupanya kesiangan karena semalam Ozan mengajaknya jalan-jalan. Pantas saja nomor WA-nya nggak aktif semalaman rupanya teman PKL-ku ini sedang berbucin ria dengan doinya.“Manggil orang yang lebih tua itu mesti pakai sapaan di depannya, Pak atau Aa, kek.”“Dia nggak pantes disebut Pak, wajahnya masih muda. Aa juga nggak pantes, karena mukanya nggak Sunda banget, mestinya dipanggil Sayang.”Aku cengar-cengir, sedangkan Mita malah
Zia mengajakku ke suatu tempat sore ini, tapi aku lagi mager banget. Kerjaan di kantor pos lumayan banyak hari ini karena Bu Jihan sudah fix resign. Aku dan Mita sampai tepar karena mengkilokan barang yang akan dikirim. Barangnya berat-berat lagi, aku yakin nanti malam punggungku pasti minta diurut.Zia: Anter, dong.Lagi-lagi Zia mengirimiku pesan. Sembari menunggu angkot lewat, aku duduk di depan warung tukang es kelapa dan menelepon Zia.“Emang mau ke mana, sih?” tanyaku saat panggilan telepon terhubung.“Mau beli kado.”“Aku heran, deh, kenapa hari ini banyak banget yang minta aku buat nganter beli kado.”“Emang siapa yang udah minta kamu anter beli kado?”“Januari.”“Buat siapa?”“Buat sang mantan,” jawabku ketus.“Wow, ada yang cemburu rupanya,” goda Zia.“Aku kesel pokoknya. Kamu beli kado buat si An
Kemarin, Januari langsung mengantarku pulang karena aku bilang merasa lelah. Tadinya dia masih ingin mengajakku jalan-jalan. Cowok itu merasa bersalah karena pagi harinya membatalkan janji untuk mengantarku. Aku, sih, nggak marah. Cuma ... ya, kesel aja. Lain kali aku nggak mau kalau dianter ke mana-mana lagi, kecuali saat mendadak mau pergi dan kebetulan dia lagi senggang baru aku terima tawarannya.Hari ini pun dia menawarkan untuk mengantarku ke tempat PKL. Karena aku bangun kesiangan, akhirnya aku terima tawarannya. Begitu mengirim pesan dan kubalas, motor dia sudah tiba di depan rumah. Aku yang masih sarapan sontak tersedak. Aku belum dandan, Genks, rambutku pun masih basah dan acak-acakan karena baru mandi. Kasihan Januari harus melihat penampakan jelekku."Buruan makannya, itu temen kamu udah jemput," kata Ibu sembari meletakkan
Bunyi perutku yang minta diisi membuat Disa kehilangan fokus saat mengetik. Dia menatapku, lalu menaruh laptop di meja. Niara pun berhenti membaca kata pengantar yang telah dicetaknya. Ia merapikan berkas yang berceceran di lantai. Kedua temanku ini sudah hapal kebiasaanku. Kalau sudah keroncongan otakku nggak bisa diajak berpikir. Mereka mulai merapikan dandanan dan bersiap pergi. Saatnya berburu makanan.“Kita mau ke mana?” tanya Disa usai memaki helm.“Alun?”“Alun Majalengka kejauhan,” protesku.“Alun Maja, April!” Kedua manusia ini bicara barengan. Ah, kalau sudah bersama mereka ketololanku emang suka muncul tiba-tiba.“Mau makan apa emang?” tanya Niara.“Seblak?” Disa bukan memberi jawaban, tapi dia merekomendasikan.“Bosen,” jawabku.“Baso aci aja, yuk. Ada kedai yang baru buka di sekitar terminal, menurut saudaraku, sih, enak
“Hallo, Dis?” Aku mendekatkan ponsel ke kuping kanan, sambil terus melangkah menuju Pajagan. Tadinya aku hendak meminta kakak iparku untuk mengantarkan, biar cepet gitu naik motor. Namun, kata Kak Okta, suaminya lagi pergi mancing sama Pak Gus, tetangganya. Alhasil sekarang aku ngos-ngosan karena berjalan, udah gitu matahari mulai merangkak naik, bikin keringat mengucur di balik baju.“Kenapa, Pril?” sahut Disa.“Kamu belom berangkat?”“Belom, aku masih di pasar. Bentar lagi pulang. Nanti aku langsung OTW.”“Aku nggak jadi diantar Januari, kita bareng, ya. Aku tunggu di pasar Kadipaten kayak biasa.”“Kenapa nggak jadi dianterin?”“Ada urusan mendadak dia.”“Oh, oke. Kabarin aja kalau udah sampe. Kamu bawa helm, ‘kan?”“Iya, bawa.”“Ya udah, aku kabarin nanti
Aku baru saja berniat untuk tidur selepas memikirkan hal-hal nggak guna. Namun, bunyi ponsel yang meraung-raung membuat mataku terbuka lagi. Ck, sial. Tahukah dia bahwa pukul dua dini hari bukanlah waktu yang tepat untuk mengobrol? Di waktu seperti ini mendingan curhat sama Allah melalui sholat tahajud, bukannya mengganggu tidur Princess.Kuraih ponsel di atas kepala, lalu melihat layarnya yang menampilkan nama Januari. Buset, rupanya si biang kerok ini yang minta dihajar. Dia nggak kasihan apa sama aku? Gara-gara kunjungan mendadak yang membawa serta mantannya itu, aku jadi nggak bisa tidur. Sekarang saat mataku lelah, dia muncul membuat jantungku dugeman."April?" suaranya menyapa gendang telingaku begitu tombol hijau di layar ponsel kugeser."Hm ...." Aku menanggapinya dengan deheman, pura-pura baru bangun tidur biar dia merasa bersalah."Jangan pura-pura tidur, aku tahu kamu belum tidur. WA kamu aja baru dilihat beberapa menit lalu," sindir Januari.