“Gas, Nad!” pekik Maya. Ia begitu panik sedang Nadya begitu gugup.
Mobil sedan hitam itu segera melaju saat Wira dan Aisya hampir sampai dan bermaksud mengetuk jendela kaca Nadya. Gadis itu segera memacu mobilnya dengan cepat. Sepeda motor matic dengan penumpang duduk menyamping tak akan mampu menyaingi kecepatan mobil. Apa lagi sedan, yang terkenal karena hambatan kecilnya terhadap angin.
“Duh, ketahuan nih kita,” keluh Maya. Ia takut, dan berpegangan pada handel di atas pintu.
“Kayanya cewek itu yang nyadar dan notice sama mobil ini,” ujar Nadya. Gadis itu begitu fokus. Berkali-kali ia melihat kearah tiga spion mobilnya. Ia ingin mereka berdua aman meski yakin Wira tak akan mampu mengejar. Paling tidak ia harus keluar dari jalan desa yang sepi ini.
“Kayanya udah jauh deh dia, Nad.” Maya menyandarkan tubuhnya sambil menghela napas panjang. Sejenak ia memejamkan mata melepaskan ketegangan yang mende
“Heh! Lu ngapain berhenti di sini?” hardik Maya. Ia tak mengerti setelah hampir ketahuan oleh Wira tadi, bisa-bisanya Nadya masih berusaha mengikutinya sampai ke kedai perempuan itu.“Tanggung, May, anggep-anggep penutupan dah,” seloroh Nadya sambil menyeringai lebar.“Nggak takut ketahuan lagi? Ah, Lu mah emang dasar pengen ketahuan Wira kan?” tuding Maya. Perempuan 33 tahun itu tampak memutar bola mata malasnya.“Gue kadang inget sama masa lalu gue, May,” ucap Nadya tiba-tiba. Sama sekali berbeda topik dengan hal yang sedang mereka bicarakan.“Hah? Wah, serius ini kayanya!” Maya merubah arah duduknya.“Coba dulu tas gue nggak ilang ya, May. Mungkin sekarang gue lagi nyusun skripsi, jadi mahasiswa tingkat akhir. Kirim duit ke orang tua di kampung pake duit halal,” kenang Nadya. Wajahnya segera berubah mimik. Ada penyesalan di sudut-sudut mata.“Duh, gue jadi ngera
“Wiraaaa!”Aisya berteriak sekuatnya setelah menyaksikan sepeda motor yang dikendarai kekasihnya tertabrak minibus dari arah kanan. Tubuh pemuda itu sempat terpelanting ke atas sebelum terhempas ke aspal. Aisya masih dapat melihat helm yang dikenakan Wira terlepas karena tak sempat ia kunci pengaitnya.Adrenalin perempuan itu naik ke level tertinggi. Jantungnya tak berdetak normal lagi. Seluruh tulang ditubuhnya seperti melunak seketika. Hingga kakinya bergetar menopang tubuh 53 kilogram ini. Napasnya seperti tak sampai ke paru-paru. Namun entah mengapa ia masih tetap berlari untuk dapat sampai di dekat Wira secepatnya.Warga sekitar segera berkerumun. Beberapa mengamankan pengendara mobil agar tidak kabur. Beberapa mencoba berkomunikasi dengan Wira, sedang sisanya mengamankan sepeda motor Wira yang ringsek di bagian kanannya. Ada pula yang beinisiatif mengatur lalu lintas agar tidak terjadi kemacetan.Jeritan Aisya membuat semua mata tertuju
“Keluarga Bapak Wirabhumi?” Seorang perawat keluar dari bilik mengenakan masker dan banyak berkas di tangannya.Aisya menoleh, setengah berlari ia menghampiri perawat itu. Seorang laki-laki yang sepertinya dokter jaga dengan stetoskop di lehernya keluar dari dalam bilik. Laki-laki dengan jas putih itu tersenyum pada Aisya. Hal yang membuat perempuan itu tumbuh ketenangannya.“Bu, suaminya sudah kami tangani. Sementara yang terlihat adalah luka di kepala belakang dan patah tulang di kaki kanan. Tapi jangan khawatir, kondisi Pak Wira stabil. Untuk pemeriksaan lanjutan nanti akan ada dokter spesialis penyakit dalam dan bedah tulang yang akan menangani,” ujar dokter jaga itu lugas.Aisya hanya mengangguk beberapa kali. Ia memang mendengarkan kata-kata dokter itu, namun pandangannya mengarah pada Wira yang berbaring di atas brankar. Pemandangan yang amat tak ingin ia lihat. Perban di kepala, penyangga leher, infus, selang oksigen, dan kaki yan
Brankar yang membawa tubuh Wira sudah sampai di kamar Bougenville nomor 132. Mamak dan Nadya terpaku melihat kondisi pemuda yang masih tak sadar itu. Wajah Wira sama sekali tak terluka. Namun ada perban melingkari kepalanya. Sedang di lehernya juga melingkar penyangga leher. Tubuh bagian bawah diselimuti kain berwarna senada dengan cat kamar itu. “Maaf, Ibu pasti Mak Ayu ya?” tanya Aisya ramah. “Kamu pasti pacar Wira ya? Masya Allah cantik banget. Terima kasih sudah menyelamatkan anak saya,” ucap Mamak. Wanita itu menghampiri dan segera menarik Aisya ke dalam pelukannya. Aisya terkejut namun juga senang dengan perlakuan yang ia terima dari orang tua kekasihnya ini. “Saya Aisya, Mak, doakan saja Wira segera sadar. Kata dokter luka yang serius di kepala bagian belakang dan kaki kananya patah. Hasil CT scan akan diberitahukan oleh dokter yang akan berkunjung nanti. Jika mengkhawatirkan akan ada pemeriksaan lanjutan,” terang Aisya. Perempuan canti
“Mbak Niken, kita ketemu lagi,” sapa Aisya ramah. Dalam hati ia bertanya mengapa perempuan ini ada di sini malam-malam. Padahal jam besuk sudah habis. “Eh, iya, Mbak. Kebetulan saya kerja di sini. Dapat kabar dari kawan perawat katanya ada yang kecelakaan atas nama Wira, jadi saya ke sini,” dalih Niken. “Lho, kalian sudah saling kenal?” ujar Mamak setelah beberapa saat hanya menjadi penonton dialog dua perempuan muda di hadapannya. “Tadi sore kami bertemu, Mak,” jawab Aisya ringan. Ia terus menatap Niken yang mulai tak nyaman. Tatapan penuh upaya pengusiran itu terejawantahkan dengan baik di kepala Niken. “Ya sudah, Mak, saya pamit ya ... besok ketemu lagi. Saya shift pagi kok,” ucap Niken berpamitan. Tatap perempuan bernama Aisya itu begitu mengintimidasinya. “Lho, baru datang kok sudah pulang, Ken?” cegah Mamak. Niken tak segera menjawab. Ia memandang tubuh lemah Wira yang tadi sore begitu bugar saat mampir ke rumahnya. Pahl
Pukul sembilan dua puluh menit, dokter pemit setelah menjelaskan hasil CT Scan Wira pada Aisya dan Mamak. Luka di kepala belakang tidak parah, hanya memar dan tidak ada pendarahan otak seperti risiko terburuknya. Hanya benturan macam ini berpotensi gegar otak ringan. Biasanya pasien akan mengalami kehilangan memori sebagian. Itu hanya bisa dilihat saat pasien sudah sadar.Patah tulang kaki kanan di dua bagian akan terus dilakukan perawatan intensif. Tim dokter akan segera menyiapkan operasi jika kondisi Wira stabil. Mamak hampir saja menangis. Untung saja ada Aisya yang mampu bersika tenang di situasi genting.“Sya, gimana ini?” rengek Mamak.“Gimana apanya, Mak? Wira sudah mendapatkan tindakan terbaik. Kalau soal biaya, kan aku udah bilang dari awal kalau aku akan bantu, jadi Mamak nggak perlu khawatir,” ujar gadis itu lembut.Mamak masih tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Dengan status Aisya dan anaknya yang hanya terlibat uru
Aisya meneruskan langkahnya memasuki ruang perawatan Wira. Hatinya benar-benar kesal. Beruntung mamak sedang tidur, sehingga kata-kata sindirannya tadi tak didengarnya. Jika mamak sadar ia tak akan berani sefrontal itu berbahasa dengan Niken.Tas ransel yang begitu berat itu Aisya letakkan di sudut ruang. Begitu juga kantung plastik berisi makanan untuknya dan mamak. Beberapa perlengkapan mandi dan makan juga tak lupa ia bawa.“Sudah datang, Sya?” Mamak bergerak dan merenggangkan seluruh tubuhnya.“Baru aja sampai, Mak. Ini aku bawain makan siang sama cemilan. Mamak makan duluan ya, ada yang mau aku urus di bawah,” ucap Aisya ramah.Mamak mengangguk, berpura-pura tidur ternyata membosankan. Sebenarnya ia ingin sekali mendengar Aisya mengadu perihal keberadaan Niken di sisi Wira tadi. Namun ternyata perempuan itu amat dewasa dalam bersikap.Aisya melangkah cepat hendak keluar dari kamar itu, sesaat gawainya berdering. Keningn
“Masya Allah sekarang sudah berhijab. Selamat ya, Nad. Baru datang ya? Pantas aku lihat sedan hitam di parkiran,” ujar Aisya sekaligus memberi tekanan.“Sedan hitam?” tanya Wira. Pemuda itu mengernyitkan kening mencoba mengingat sesuatu.“Ah, Mbak bisa aja. Nadya bawa motor kok, Mbak. Punyanya cuma itu,” kilah Nadya.Bahasa tubuh Aisya begitu mengintimidasi. Meski ia tengah menyuapkan air pada Wira, tapi pandangannya menusuk telak ke sisi psikologis Nadya. Selain menciptakan rasa tak nyaman, Nadya juga merasa tersudut.Aisya tersenyum simpul. Ia begitu yakin bahwa sedan hitam yang ia lihat masuk ke halaman rumah sakit adalah mobil yang sama dengan yang ia lihat kemarin. Tepat seperti dugaannya, Nadya yang Wira curigai memang ada di rumah sakit ini.“Apa yang dirasa, Wir? Butuh apa lagi?” tawar Aisya penuh perhatian.“Bisa tolong lepasin selang di bawah hidungku ini, Sya. Aku sudah baik-ba