“Jadi begini, Wir. Aku kan selain jaga gerai, ada online shop juga. Jual pakaian anak-anak gitu lah. Terus aku rasa kok makan waktu kalau harus ke ekpedisi untuk kirim. Bisa nggak sih kalau barangku dijemput aja?” tanya Aisya serius.
Perempuan cantik itu meletakkan lengannya di sisi lengan Wira. Salah satunya menopang dagu. Wira yang tak menyangka akan berada sedekat ini dengan Aisya segera menarik lengannya menjauh. Selain kikuk, ia merasakan perbedaan warna yang mencolok di punggung tangan mereka berdua.
“Bisa dong, bisa banget!” seru Wira girang.
Mulutnya mengunyah burger namun di luar dari kebiasaannya. Ia tentu tak ingin terlihat dan beradab buruk di depan perempuan cantik ini. Gigitannya begitu kecil hingga menyisakan banyak ruang di rongga mulutnya.
“Wah, ada layanan itu di ekspedisi kamu? Kok aku nggak tahu ya?” ujar Aisya berbinar. Ia menatap mata lelaki yang terlihat serba salah di hadapannya.
Wira sendiri merasa mendapat kejutan bes
Wira masih terus mengulum senyum di bibirnya. Sepanjang perjalanan pulang sampai kini sudah di rumah ia masih terus menampakkan giginya. Kali ini di depan benda pipih berukuran enam inci. Ia hanya mengucapkan salam pada Mamak yang tengah fokus di balik mesin jahitnya. Lalu mondar-mandir tanpa berkata-kata dengan handuk sudah melingkar di leher. “Girang amat, Wir? Tumben pulang senyum-senyum?” tanya Mamak sambil mengoperasikan lagi mesin jahitnya. Wira tak menjawab, baginya sia-sia menjawab bila mesin jahit Mamak masih bekerja. Lebih baik menunggu sampai mesin itu jeda. Ia duduk si kursi kayu ruang tamu dan mengambil satu kudapan yang ditata apik di piring atas meja. Matanya masih terus menatap gawainya. “Ah, Mak bisa aja,” jawab Wira singkat. Kue tradisional yang tadi ia ambil sudah amblas semua masuk ke rongga mulut. “Nggak pernah-pernahnya begini. Sampe rumah biasanya ngeluh,” sambung Mamak. Wanita itu lalu menunjukkan hasil jahitannya pada serang g
“Berangkat, Mas?” Seru Maya begitu berpapasan dengan Wira di depan pagar rumahnya. Lebih tepatnya menunggu Wira keluar baru ia pun keluar membawa sepeda motornya.“Eh, iya, Tante. Keren amat, Te, pake kacamata hitam segala. Ini kan masih pagi,” seru Wira sambil tersenyum lebar.“Ah, Mas Wira bisa aja.” Senyum Maya menggembang tak kalah lebar. Ia menutup pagar rumah dan menggemboknya.“Si Nadya udah berangkat, Te?” tanya Wira basa basi.“Nadya udah duluan. Kenapa kok cari Nadya? Apa saya kurang cantik? Hmm?” goda Maya sambil menyilangkan kedua lengan di dada.“Hah?” Wira bingung apa yang harus ia katakan.Sejurus kemudian Maya menyadari kekeliruan, ia masih terbiasa dengan perbincangan dengan para pria hidung belang. Perempuan dengan badan padat berisi itu seperti merutuk pada dirinya sendiri. Ia lalu buru-buru menaiki sepeda motornya.“Saya duluan ya, Mas Wi
Nadya menginjak pedal remnya. Mobil yang baru diberikan Firman sebagai akomodasi pengawasan terhadap Wira itu melaju pelan. Maya yang duduk di sebelahnya tak tenang memperhatikan kaca spion dengan seksama. Sungguh pekerjaan yang sulit, tak mudah untuk mereka berdua yang terbiasa bercengkrama dan merayu pria-pria haus kasih sayang untuk menjalaninya. Apa lagi bagi Maya yang sudah terbiasa menerima uang sekaligus kenikmatan selama hampir sepuluh tahun terakhir.“Nah, muncul juga tu orang,” gerutu Maya sekaligus jadi kode untuk Nadya menghentikan mobilnya sejenak. “Ni kerjaan kita cuma ngikutin dia nih, Nad?” lanjut Maya.“Lha, kan Lu denger sendiri begitu kata Om Firman. Dah Lu duduk anteng aja, yang nyetir kan gue. Harusnya upahnya nggak fifty-fifty,” celetuk Nadya. Ia memutar kemudinya ke kiri setelah mendorong tuas lampu sign.“Dih, Lu nggak inget yang ngenalin Om Firman ke Lu siapa? Kalau bukan gue ma
“Lho, katanya abis dzuhur ke sininya?” tanya Aisya. Ia terkejut namun entah mengapa begitu gembira Wira datang ke kedainya sepagi ini.Pemuda berhelm dan berjaket ekspedisi itu hanya tersenyum sambil menanti perempuan cantik itu keluar menghampirinya. Sesekali ia menggaruk kepala yang tidak gatal bahkan tak mengenai kulit kepala karena mengenakan helm. Ia begitu bahagia menemui pujaan hati dan Aisya juga terlihat senang.“Udah dianterin semua yang dekat-dekat sini. Tadinya memang mau siang, tapi sekalian aja diambil dulu paketmu,” Wira berbohong. Baginya pesan-pesan ramah yang sejak semalam ia baca dari Aisya sungguh seperti sebuah undangan untuk segera mendatangi makhluk cantik itu.“Oh ya? Duduk dulu, Wir, aku ambilin paketnya ya?” ujar Aisya dengan senyum ramah yang hampir selalu menghias wajahnya.Wira mengangguk, masih menyunggingkan senyum terbaiknya. Ia merasa bahwa ini adalah pagi terbaik seumur hidupnya. Setela
Nadya buru-buru menunduk dan mengenakan kacamata hitam yang ia letakkan di kening. Bisa berantakan pengintaiannya kalau sampai pemuda di sampingnya ini bisa melihat masa lalunya. Tentu Firman akan marah besar. Bisa-bisa mobil ini akan diambil dan imbalan serta fasilitas lain akan ditarik olehnya. “Overheat ya, Nad?” tanya Wira. Ia sama sekali tak menaruh curiga pada Nadya. Bahkan ia tak tahu bahwa ada Maya di dalam mobil. “Nggak tahu juga, Mas. Ini mobil teman, mungkin overheat. Aku lagi coba hubungi dia,” jawab Nadya gugup. Sekaligus mencari alasan untuk tidak berhadapan ke arah Wira lebih lama. Wira mengecek mesin mobil jenis sedan itu, meski ia tak tahu banyak. Kalau hanya overheat ringan, setahu dia tak perlu penanganan khusus. Hanya cukup penuhi kembali air radiatornya dan tunggu beberapa saat sampai mesinnya dingin. Wira menoleh ke arah Nadya yang menempelkan gawai di telinga kiri membelakanginya. Pemuda it
Nadya menggantungkan kakinya di kursi teras. Habis sudah hari ini ia disumpahi Maya. Video di kedai Aisya yang ia posting di status media sosialnya ramai diperbincangkan rekan-rekannya di lokalisasi. Beberapa segera menghubungi Maya pribadi untuk mengejek alih-alih mendoakan kesembuhan. Jika bukan karena bantuannya untuk memanggilkan tukang urut rekomendasi Mamak Wira, mungkin perempuan pemilik tinggi 158 cm itu masih mendiamkannya.Sebuah pesan dari Maya sampai di gawai Nadya, meneruskan pesan dari Firman perihal penggunaan lensa kontak yang bisa digunakan agar Wira tak mampu melihat masa lalu penggunanya. Semuanya dilakukan demi mengamati keseharian pemuda itu lebih dekat. Hati Mamak Ayu sudah Nadya dapatkan, kini tinggal mengakrabkan diri dengan laki-laki pemilik kekuatan unik itu.“Yaelah, May, serumah aja pake WA-an,” gerutu Nadya dalam hati.Di teras rumah kontrakan ini lah Nadya menanti kepulangan Wira. Tes terhadap lensa kontak yang sudah ia
Minggu, pukul tujuh lewat lima menit. Wira masih memeluk guling di tempat tidurnya. Sinar matahari menerobos masuk dari sela-sela daun jendela dan lubang angin di atasnya. Kamar pemuda itu perlahan menjadi hangat. Lepas sholat subuh tadi, Wira memutuskan untuk tidur lagi, memberikan jatah pada tubuhnya untuk istirahat.Mamak sudah hafal dan maklum jika hari minggu putranya ini akan bangun lebih siang. Kebiasaan yang tidak pernah berubah sejak masa sekolah. Baginya tak apa asal Wira tak meninggalkan sholat subuh. Apa lagi kini sudah ada Nadya. Gadis itu kini malah tengah membantunya memasak di dapur setelah menemaninya belanja. Meski sudah di larang Nadya tetap memaksa karena ingin merasakan masakan rumahan seperti di kampung.Perlahan Wira membuka matanya. Kamar yang menghangat serta suara aktivitas di dapur dan suara gurauan dua orang perempuan memaksanya untuk bangun.“Mamak ngobrol sama siapa pagi-pagi begini?” batin Wira. Ia bangkit dan meraih ha
Tak ada yang lebih dinantikan Wira hari ini selain segera bertemu dengan Aisya untuk menunjukan perubahan fisiknya. Selain reaksi dari perempuan cantik itu, Wira juga merasa sudah saatnya membicarakan hati dan masa depan padanya. Perasaannya semakin terpupuk seiring semakin seringnya mereka bertemu.“Wira? Aku kira siapa, apa sih yang beda? Kok aku hampir nggak ngenalin kamu?” tanya Aisya. Ia mengernyitkan keningnya meski sudah mengkonfirmasi pemuda di hadapannya benar-benar Wira.“Ah, masa, Sya? Aku berubah?” Wira merentangkan tangannya dan memperhatikan tubuhnya mencari apa yang berbeda. Sebenarnya bukan itu lah niatnya. Ia hanya ingin agar Aisya dapat leluasa menemukan perbedaan fisiknya.“Serius, kamu beda banget!” seru Aisya. Untuk mengatakan bila Wira terlihat jauh lebih tampan tentu Aisya tak berani. Perempuan itu selalu memberikan batas yang tegas kepada lawan jenis, meski hanya verbal.“Oh ya? Bisa aja ka