Share

Minggu yang indah

Lucu ya, kita menunggu kereta di peron yang sama. Padahal kereta tujuan kita berbeda. Sampai aku sadar, kalau tujuanku bukan lagi rumah untuk berpulang, melainkan kamu.

–Revan Al-Shabab-

***

"J-Jalan. Y-Yuk."

"Hah?" Eca tersentak dan langsung membalikkan badannya.

Sinting nih orang!

Datang tiba-tiba dan sekarang mengajaknya jalan. Namun, kesempatan tidak akan datang dua kali.

Eca menghela napasnya berat. "Eca mandi dulu ya, tunggu di dalam aja."

Evan mengangguk, seulas senyum tipis tercetak di wajah mulusnya. Meski tidak pernah perawatan di salon, wajah Evan memang mulus tanpa jerawat. Ini mungkin efek dari hidupnya yang terbilang sehat. Cowok itu mengangguk.

"Gue tunggu di sini aja," ucapnya saat mereka baru menginjakkan kaki di teras rumah Eca.

Gadis itu kembali masuk ke dalam rumah. Dia tidak langsung ke kamar, melainkan berjalan ke dapur. "Bi, itu teman Eca tolong dibuatkan minum, ya."

Bi Imah hanya mengangguk. "Iya, Non."

Eca bergegas menuju kamarnya. Tidak ingin membuat Evan menunggu lama.

Tak lama kemudian Eca sudah rapih dengan overall jeans yang dipadukan dengan kaus berwarna merah muda. Tampilan ini semakin membuat wajahnya terlihat cantik. Eca mengikat rambutnya persis seperti buntut kuda. Merapihkan poni depannya, lalu memakai jepitan berbentuk kucing.

Pagi ini otak dan hatinya tidak begitu sinkron. Dia terus mengumpat atas kedatangan Evan yang tiba-tiba. Namun, hatinya bersorak gembira karena Evan mengajaknya jalan. Mungkinkah ini bertanda kalau perasaan Eca selama setahun terakhir akan terbalaskan?

Di teras Evan masih duduk dan tenggelam dalam pikirannya. Tidak pernah terbesit dalam pikiran kalau dia akan berpacaran dengan Eca, gadis yang dulu pernah dia tolong saat telat di hari pertama Masa Orientasi Siswa. Evan menghela napasnya. Sudah hampir 30 menit dia menunggu, tapi Eca belum juga menampakkan dirinya.

"Den, ini minumnya," seru Bi Imah seraya meletakkan secangkir teh hangat di atas meja.

Evan menoleh. "Makasih, Bu. Maaf, merepotkan," ucapnya ramah.

"Panggil Bibi aja."

Evan terdiam menatap Bi Imah, "Saya kira Ibu ...."

"Saya asisten rumah tangga di sini."

Evan mengangguk. Sebelumnya Evan memang mengira kalau Bi Imah adalah ibunya Eca.

"Ibunya non Eca sudah meninggal ketika melahirkan," ucap Bi Imah, wanita ini memang orang yang terbuka. Namun, saat melihat Evan entah kenapa dia menjadi yakin untuk menceritakan sedikit tentang keluarga Eca.

Evan tersentak mendengar soal ini. Dia tidak menyangka saja, gadis sebaik Eca harus hidup tanpa kasih sayang dari seorang ibu. Apalagi dengan mengingat kalau gadis itu selalu bersikap ceria dan menunjukkan senyum kebahagiaan ke semua orang.

"Lagi ngomongin apa sih, serius banget?" suara itu menggema dari balik pintu, selanjutnya disusul dengan kemunculan Eca.

Bi Imah segera pamit ke dapur. Sementara Evan masih membuka matanya. Kelopak matanya tidak mengedip sama sekali, dadanya berdebar sangat cepat sampai Eca kembali menyadarkannya.

"Evan!"

Evan baru mengerjap. "H-Hah?" sahut Evan gugup.

"Katanya mau jalan?" Evan mengangguk.

"Lo mau kemana?"

"Terserah Evan. Eca ikut aja," sahutnya sambil senyum.

Ya, jawaban semua perempuan pasti seperti itu 'ter-se-rah', tapi pada kenyataannya dia akan menolak ketika tidak suka.

"Ya udah, yuk." Evan jalan lebih dulu di depan Eca, gadis itu mengekor di belakang.

Evan sudah memakai helm miliknya. Namun, Eca masih berdiri mematung di depan Evan. "Kok, diem?" tanya Evan bingung.

Eca menatap Evan, seulas senyum kembali terukir. Dia senang. Benar-benar senang tepatnya.

"Yuk, berangkat!"

"Evan, ini masih pagi banget tau."

Evan melirik arloji di tangannya. "Udah jam sepuluh Sha. Yuk, nanti kemalaman pulangnya."

Akhirnya Eca mengangguk dan mendekati Evan. Saat mau menaiki motor, Evan mencekal pergelangan tangannya. Eca menoleh, menatap Evan tanpa arti.

Evan tak berbicara. Namun, tangannya segera memakaikan helm pada Eca. "Pakai helm, kalau nggak mau ditangkap polisi."

"Hmm," Eca mengangguk. Kupu-kupu berterbangan dalam perutnya. Napasnya terasa tidak beraturan karena degup jantungnya yang semakin cepat.

Keduanya sudah duduk diam di atas motor. Evan menancap gas, melajukan Vespa miliknya dengan kecepatan sedang. Dia ingin menikmati tiap detik ini. Tidak! Apa yang barusan menyelinap dalam pikirannya? Evan menggelengkan kepalanya. Dia harus fokus pada tujuannya, mendapatkan hati Eca dan memenangkan taruhan dengan Elang.

Sementara di jok belakang gadis itu tersenyum lebar. Poninya yang diterpa angin membuat matanya sedikit tertutup, tetapi kecantikannya tidak luntur meski embusan angin terus menerus menyapu lembut wajahnya.

Sudah hampir sepuluh menit, dan Evan memarkirkan motornya di depan sebuah parkiran 24 jam, dekat dengan stasiun Gondangdia. Eca hanya diam dan terus mengikuti Evan. Mereka berjalan beberapa meter untuk sampai di stasiun.

Evan menatap Eca sambil tersenyum. Sementara Eca menautkan kedua alisnya. "Kok, ke sini?"

"Kita akan naik kereta."

"Naik kereta?" tanya Eca dengan nada sedikit meninggi.

Sebelumnya Eca tidak pernah naik kereta. Dari kecil hingga saat ini. Meski dia tinggal tak jauh dari stasiun, tetapi tetap saja dia belum pernah mencoba naik kereta.

"Tunggu di sini, gue beli tiket dulu."

Eca terdiam. Kepalanya terasa pening jika membayangkan keadaan di dalam kereta, seperti yang ayahnya pernah bilang.

"Evan," ucap Eca seraya menarik lengan Evan. Tentu saja membuat Evan menghentikan langkahnya. Cowok itu menoleh.

"Kenapa?"

Eca menggeleng sambil terus menatap manik mata Evan. "Kita mau kemana? Naik motor aja, nggak bisa emang?"

"Nggak," sahut Evan santai. "Lo tenang aja, nggak akan kenapa-kenapa, kok."

Eca menghela napas berat. Kemudian mengangguk untuk menyetujui ucapan Evan.

"Eca ikut beli tiket, boleh?" Evan mengangguk.

Keduanya berjalan berdampingan sambil mengantri panjang di depan loket pembelian tiket.

"Mbak, tujuan Jakarta Kota dua," ucap Evan pada petugas perempuan yang sedang berjaga di dalam sana. "Pulang pergi," sambung Evan.

Evan baru saja membeli tiket harian berjamin (THB) di loket manual. Tiket ini biasanya digunakan sekali pakai, dan uang bisa dipulangkan jika mengembalikan ke loket di stasiun awal.

Sementara Eca hanya celingukan tidak mengerti. Stasiun adalah tempat asing yang belum pernah dia datangi.

"Yuk." Eca mengangguk.

"Ini tiket lo, nanti tap melalui gate. Pintu akan terbuka kalo lampunya menyala berwarna hijau."

Eca manggut-manggut sambil terus mendengarkan arahan dari Evan. "Kenapa nggak bareng sama Evan aja?"

"Gue di belakang lo, tenang aja."

Eca menghela napasnya berat. Kali ini jantungnya berdebar lebih cepat bukan karena sedang berada di dekat Evan. Melainkan rasa takut yang menyerang dirinya karena harus naik kereta.

Eca sudah berhasil masuk dan sekarang giliran Evan. Cowok itu menghampiri Eca. Keduanya langsung melangkah menuju peron untuk menunggu kereta yang akan mereka naiki.

Kedua remaja itu berdiri di peron, menunggu kereta tujuannya. Evan mendongak, menatap pengumuman di layar monitor atas sana. Ternyata kereta tujuannya masih sepuluh menit lagi.

Evan menarik tangan Eca, sampai sang empunya tersentak dan menatap Evan. "Duduk dulu, masih lama keretanya," kata Evan seraya membawa Eca ke bangku tunggu yang ada di belakang mereka.

Gadis itu menurut dan duduk. Selang beberapa menit, kereta jurusan Jakarta kota tiba. Evan mengajak Eca dan menariknya ke gerbong khusus wanita.

"Lo naik gerbong ini, supaya lebih aman."

Eca menggeleng. "Nggak mau, Eca takut sendirian!" ucapnya lirih. Tangannya terus berpegangan pada Evan.

Evan menghela napasnya. "Sha, jangan takut. Gue nggak kemana-mana, kok."

"Evan," ucap Eca dengan mimik wajah yang didramatisir. Berharap agar dirinya tidak disuruh masuk sendirian.

Evan menghela napas panjang sambil mengacak rambutnya frustasi. Gue nggak nyangka kalau ngajak lo jalan akan serumit ini!

Eca akan mengenang hari minggu yang indah ini. Pertama kalinya naik kereta dan sama orang yang Eca suka. Ayah, tolongin Eca! Jantung Eca degupnya kencang banget.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status