Share

Tiba-tiba datang

Gue cuma nggak mau lo nanti memperlakukan semua cewek dengan sama rata. Karena pada dasarnya lo harus memilih mana yang akan menjadi prioritas utama.

--Emil--

***

Hari sudah gelap. Si raja malam sudah bertengger di atas sana. Ditemani dengan ribuan pengawalnya yang selalu memperlihatkan cahaya indahnya masing-masing. Evan duduk di depan jendela, masih dengan earphone yang sejak tadi menyumpal indera pendengarannya. Tidak seperti biasanya, kali ini earphone itu mengeluarkan bunyi, berkat kabel yang tersambung pada ponselnya.

Matanya terus menatap langit. Pikirannya lebih berisik daripada lagu yang sedang ia dengarkan. Pandangannya kosong, menatap jauh ke arah langit.

Tak berselang lama, Evan bangkit dari duduknya dan menyambar jaket yang tersampir di belakang pintu kamar dan sebelah tangannya menyambar kunci motor yang tergeletak di atas nakas.

Evan keluar kamar, pandangannya terhenti saat mengetahui kalau pintu kamar ibunya juga ikut terbuka.

"Mau kemana, Nak?" tanya Sri yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Mau ke rumah Emil sebentar, boleh?"

Sri mengangguk sambil beranjak untuk menuangkan air ke dalam gelas yang terdapat di atas meja. Wanita itu meneguk air sampai tandas. Pandangannya langsung berpusat pada Evan. "Jangan pulang malam-malam, ya!"

Evan mengangguk. Cowok itu mendekati Sri, lalu mencium punggung tangan sang ibu. "Evan pamit, ya."

Evan segera melesat pergi ke rumah Emil. Entah apa faktor yang mendorong dirinya sampai dia harus pergi malam-malam seperti ini.

Sesampainya di rumah Emil. Ternyata suasananya sudah sepi dan sedikit gelap, padahal baru jam sembilan malam. Evan mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan mencoba untuk menghubungi Emil.

"Masuk aja, gue di kamar!"

Evan terdiam. Tubuhnya masih mematung di depan gerbang. Bagaimana bisa masuk, suasana di depannya saja sudah sangat gelap.

Merasa tak mendapat respon apa pun. Emil kembali membuka suara.

"Lampu depan emang mati, besok baru dibenerin. Kamar gue terang, kok."

Evan mendongak, tepat di atas tempatnya berdiri adalah kamar Emil dan benar saja, cahaya terang terlihat dari bawah sini. Tanpa ragu Evan segera memarkirkan motornya dan masuk ke dalam.

Orang tua Emil sedang tidak ada di rumah, cowok itu sendiri yang cerita pada Evan. Kalau kedua orang tuanya sedang menghadiri pesta pernikahan sepupunya di Semarang.

"Ngapain? Tumben malam-malam kesini?" tanya Emil.

Evan berdecih. "Ya udah gue balik."

"Dih, ambekan!"

Emil beranjak mendekati showcase di pojok ruangan. Lalu mengeluarkan dua minuman kaleng dan melemparkan yang satunya pada Evan.

Kamar Emil ini bisa diibaratkan tiga kali lipat kamar Evan. Bayangkan saja. Di bagian kanan ada sofa, karpet berbulu yang cukup tebal dan beberapa PlayStation, sudut ini khusus untuk dirinya bermain game. Di bagian kiri ada kasur dan nakas kecil. Lalu di depan jendela, tepat menghadap balkon ada meja belajarnya dan satu komputer. Sementara lemari, Emil memiliki ruang khusus untuk berganti pakaian.

Pantas saja Evan dan Elang akan selalu memilih kamar Emil untuk berkumpul saat mereka sedang bersama.

"Makasih," ucap Evan saat berhasil menangkap minuman kaleng itu.

"Cepetan cerita, keburu gue ngantuk!"

Evan mengangguk, sebelum membuka mulut untuk berbicara, Evan lebih dulu meneguk minumannya.

"Gue ngobrolin ini sama lo, karena kita sama-sama cowok dan gue yakin lo bakalan paham."

"Langsung to the poin aja!"

"Gue mau nembak Eca!" kata Evan dengan cepat.

"Uhukk."

Emil hampir tersedak minumannya kalau saja cowok itu tidak buru-buru menelan cairan dalam mulutnya. Emil berdehem, sebelum kembali bersuara. "Bercandanya jangan keterlaluan, dong!"

Evan menoleh. Wajahnya terlihat datar dan serius. Sedetik kemudian dia menarik kedua sudut bibirnya, sampai giginya yang rapih itu terekspos. "Gue serius!"

Lawan bicaranya kebingungan. Dengan alis yang bertaut Emil kembali berdecih.

"Ajarin gue, kasih tips supaya gue bisa nembak cewek, yang romantis."

"Gue tau lo orangnya romantis, Mil. Makanya Susan masih nempel terus 'kan sama lo," tambah Evan.

Emil menoleh, kenapa Evan jadi membahas hubungannya dengan Susan. Bukankah sebelumnya dia sedang meminta tips. Selain bijak, Emil juga tipikal cowok yang setia dan seketika bisa berubah menjadi romantis. Tidak heran kalau diantara ketiganya, hanya Emil yang memiliki pacar dan bertahan sampai saat ini.

Emil menghela napas panjang. "Gue kasih tau." Evan mengangguk antusias.

"Cewek itu lebih suka cowok yang nggak banyak basa basi. Langsung tunjukin, dan berhenti bertanya."

Raut wajah Evan terlihat jelas sekali kalau cowok itu sedang kebingungan. Emil menepuk bahu Evan sambil kembali mengeluarkan kata-kata bijaknya.

"Misalnya, langsung beliin dia makan dan anterin ke kelasnya gitu. Buat hal sederhana, tapi kesannya bisa membuat cewek itu spesial. Dari pengalaman gue ke Susan gini, sih."

"Tapi lo jangan ngelakuin itu ke semua cewek!"

Evan menatap Emil tajam. "Maksudnya apa?"

"Lo lupa. Dulu waktu SMP, saat pelajaran olahraga si Andin keseleo, terus lo gendong dia sampe UKS. Eh dua hari kemudian lo ngelakuin hal yang sama saat si Mae pingsan di kelas. Lo tuh sebenernya gak perlu melakukan semua hal itu."

"Ya, itu kan karena gue kasihan aja."

"Kasihan nggak harus begitu. Lo inget, habis kejadian itu si Andin sama Mae berantem karena ngiranya lo suka sama mereka berdua."

Evan terdiam. Otaknya kembali mengingat kejadian lama itu. Evan meringis, saat mengingat gimana dirinya dipersalahkan karena telah membuat dua gadis itu baper.

“Apalagi si Amand—“

“Stop!” kata Evan menginterupsi. Tatapannya tajam ke arah Emil.  "Lo kenapa jadi bahas masa lalu?"

Emil terkekeh melihat raut Evan yang tidak terima. "Bukan bahas masa lalu, tapi gue cuma nggak mau lo nanti memperlakukan semua cewek dengan sama rata. Karena pada dasarnya lo harus memilih mana yang akan menjadi prioritas utama."

Evan manggut-manggut pertanda mengerti. Selanjutnya kedua remaja itu tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Satu hal lagi, jangan permainkan perasaan cewek. Apalagi jadiin taruhan. Gak lucu!" desis Emil seraya melirik Evan sinis.

Evan tertegun, dia sadar kalau Emil sedang menyindirnya. Namun, sebisa mungkin dia mengelak. "Eh, udah malam gue balik, ya."

Emil mengangguk. Lalu segera bangkit dan menyusul Evan yang sudah lebih dulu berjalan di depannya. Kalimat terakhir yang Emil ucapkan ternyata berakibat buruk pada sikap Evan. Buktinya, cowok itu kini tidak mengeluarkan sepatah kata apa pun. Wajahnya terlihat tidak bersemangat, berbeda seperti ketika Evan baru sampai.

"Hati-hati lo. Jangan ngebut!" Evan mengangguk. Tak lama Vespa miliknya sudah melaju menyusuri jalan.

Jalanan sudah sangat sepi, hanya ada beberapa kendaraan beroda dua, termasuk Evan salah-satunya. Hanya angin malam yang menemani perjalanannya sampai ke rumah.

***

Pria itu baru saja selesai mencuci mobil. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Hingga mengharuskan tangannya yang masih sedikit basah untuk menjawab telepon tersebut.

"Cari tahu soal teman laki-laki yang kemarin mengantar Eca pulang!"

"Baik, Pak," sahut Tono dibarengi dengan anggukan kepala.

Hari ini akhir pekan. Biasanya Tono akan beristirahat di rumahnya, tetapi beda dengan sekarang, yang setiap harinya dia harus datang ke rumah majikannya. Sebelumnya dia hanya menjadi supir untuk Gerald, dan karena Gerald hari Minggu libur, maka Tono dibebaskan untuk libur juga.

Namun, sejak Gerald pergi ke Palu, tugas Tono menjadi tambah berat. Dia harus datang setiap hari untuk mengantar kemana pun Eca akan pergi. Tidak hanya itu, Tono juga harus mengawasi dan menjaga Eca layaknya bodyguard.

Tono menutup teleponnya. Lalu bergegas masuk. Seperti biasanya, selesai mencuci mobil maka dia akan meminum kopi hitam yang sudah dibuatkan oleh Bi Imah untuknya.

"Pak Tono, kopinya," ucap Bi Imah sambil menyodorkan secangkir kopi hitam ke depan Tono.

Tono mengangguk. "Makasih, Bi."

Ting ... tong ...

Tak lama terdengar suara bel rumah, yang menandakan ada tamu di luar.

Bi Imah segera berlari menuju pintu utama. Lalu kakinya terus melangkah ke depan gerbang. Di sana sudah berdiri seorang pemuda dengan jaket hitam pekat yang melekat di tubuhnya.

"Cari siapa?"

Cowok itu menoleh, menatap wanita yang sudah hampir menua dari ujung kaki sampai kepala. "Saya cari Aresha, ada?"

"Ada, silakan masuk dulu. Saya panggilkan."

"Gak usah, Bu. Saya tunggu di sini aja," sahutnya sambil tersenyum ramah.

Bi Imah mengangguk. Wanita itu melangkahkan kakinya menuju kamar Eca. Diketuknya pintu kamar Eca beberapa kali sampai sang empu membukakan pintu.

"Bi, aku hari ini libur," desisnya kesal karena merasa tidurnya terusik.

"Di luar ada yang nyariin, Non."

Eca mengucek matanya, sesekali mulutnya menguap.

"Siapa sih, masih pagi gini udah bertamu," gerutu Eca sambil mulai menjejakkan kakinya di antara anak tangga.

Gadis itu berjalan dengan rasa malas yang menyelimuti dirinya, juga dengan mata yang masih sayup, menahan kantuk.

Pandangannya tertuju pada pemuda di balik pagar. Eca hanya bisa menatap punggung cowok itu. Karena dia menghadap arah lain. Dibukanya pagar, bersamaan dengan suara yang masih lesu itu terdengar.

"Ada perlu apa, Mas? Saya gak ada delivery makanan. Kayaknya, Mas salah orang deh," oceh Eca.

Cowok itu membalikkan badannya. Matanya membulat sempurna saat melihat penampilan cewek di depannya.

"H-Hai."

Eca tertegun, tubuhnya mematung. Namun, di detik berikutnya dia berlari menuju motor Vespa biru dan menatap wajahnya lewat pantulan kaca spion. Gadis itu mengusap sudut matanya, lalu kedua ujung bibirnya. Setelah selesai, Eca kembali menatap cowok itu.

"Ngapain?" tanya Eca dengan suara yang meninggi.

"Lo ... belum mandi, ya?" tanya Evan ragu.

"Kenapa? Masih belekan, ya?" tanya Eca serius. Padahal hatinya terus menggerutu kenapa Evan datang di saat yang tidak tepat. Lihat penampilannya sekarang. Rambut cepol yang acak-acakan, matanya masih sayu, bibirnya pucat, bahkan dia masih memakai piyama berkarakter Dora the Explorer.

Eca malu banget! Pasti Evan bakal ilfeel deh sama Eca! Gerutu Eca dalam hati sambil memejamkan matanya.

"Lucu."

"Hah?" Eca melongo.

"M-Maksud gue ... bajunya lucu," sahut Evan dengan salah tingkah sendiri.

Eca mengangguk sambil kembali berjalan masuk. "Sebenarnya ada perlu apa?"

Evan mengekor. Lidahnya mendadak kelu. Cowok itu menghela napasnya. "J-Jalan. Y-Yuk."

"Hah?" Eca tersentak dan langsung membalikkan badannya. Aneh, bisa-bisanya Evan datang tanpa bilang-bilang, dan sekarang mengajaknya jalan begitu saja.

Sinting nih orang! Tapi Eca suka!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status