Beranda / Pendekar / Rimba Memburu Senala / 8- Pria Berjanggut Memburu Dendam

Share

8- Pria Berjanggut Memburu Dendam

Penulis: Erbidee
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-23 12:11:39

Debu beterbangan, bercampur dengan aroma anyir darah yang menyengat. Tidak ada yang menyangka pria berjanggut itu masih bernyawa setelah tebasan Codet. Seperti tidak ada kejadian apa-apa, pria itu bangun dan duduk dengan kedua kakinya terulur. Kedua tangannya membersihkan baju ungunya yang kotor oleh tanah. Beberapa orang mengucek-ucek matanya bukan karena gatal, melainkan seperti tidak percaya. Ada orang yang masih bisa hidup sesudah tubuhnya tertebas.

Matanya yang tajam menyapu kerumunan orang yang menatapnya dengan raut wajah takpercaya. Beberapa orang mengucek matanya lagi, mencoba meyakinkan diri bahwa apa yang mereka lihat bukanlah mimpi.

"Bagaimana mungkin ...?" bisik seorang pelayan. Mulutnya menganga lebar. Semasih si pelayan mulutnya menganga, pria berjanggut bangun dari menjelepok. Beberapa orang di depan pondok inap yang sekaligus menyediakan beragam makanan pun seakan-akan berdiri terhipnotis. Pria berjanggut lantas membungkuk, mengambil golok bergagang rajawali miliknya
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Rimba Memburu Senala   88- Ayo, Tidur

    Rimba Rangkuti dan Cucu akhirnya melihat dengan mata kepala bagaimana sebuah perseteruan antara ayah-anak itu terjadi.“Ketika kita meninggalkan anak-anak Akarlangit, mereka tersenyum bahagia,” ujar Cucu.Rimba diam, tidak menimpali ucapan sahabatnya. Dia menarik selimut di kamar penginapan yang berisi empat orang. Yu Lie dan Lon Chang sudah lelap sedari tadi.“Aku, kamu, dan mereka berdua hanyalah pengembara.” Kata Rimba lagi, “Kita tidak bisa memilih apa yang akan kita lihat dan alami.”Kali ini Cucu diam di balik selimut. Pandangannya tajam pada langit-langit kamar tempat mereka menginap malam itu.“Setidaknya, pikiranmu kali ini lebih baik dari sebelumnya.”Rimba tersenyum di sisi Cucu lalu beringsut memunggunginya. “Ayo, tidur.”Sepasang mata merah Cucu menghilang nyalanya.---Langkah Lou Cho Nghek kembali menapaki dunia luar. Namun dunia yang dilihatnya bukan lagi dunia yang sama. Salju tampak lebih kelabu, langit tampak lebih rendah, dan wajah-wajah di jalanan tampak seperti b

  • Rimba Memburu Senala   87- Lou Cho Nghek Mendengki Kian Menggila

    Di tengah kabut salju yang meruap, langkah Lou Cho Nghek mengoyak kesunyian malam. Napasnya memburu. Matanya me-merah bukan karena dingin, melainkan karena bara yang membakar dadanya tak henti-henti.Di hadapannya, rumah kayu kecil berdiri tenang. Sepasang cahaya dari dalam memperlihatkan siluet Thong Chai dan Mei Chin yang tengah duduk bersebelahan. Sebuah ketenangan yang menjadi bahan bakar bagi amarah Lou Cho Nghek.Dia tak mengetuk. Pedangnya membelah pintu kayu itu seperti membelah kenangan masa kecil yang dipenuhi cacian: "Anak yang gagal menjadi bayangan ayahnya."Mei Chin bangkit lebih dulu. Kipas baja terlipat di tangannya. Tatapannya dingin, tapi tak gentar. Thong Chai berdiri dengan gerakan mengalir seperti embun yang tak bisa dicegah oleh badai.“Lou Cho Nghek,” ucap Thong Chai pelan, “kau datang dengan amarah, bukan keberanian.”“Aku datang dengan kebenaran yang kalian sembunyikan!” balasnya dengan suara parau.Pertarungan pun meletus. Ruang sederhana itu berubah menjadi

  • Rimba Memburu Senala   86- Kedengkian Tidak Memerlukan Alasan

    Kedengkian tidak memerlukan alasan. Ia hanya tumbuh bagai semak belukar. Mungkin hanya api yang dapat meluluhlantakkan kedengkian sehingga panasnya pun menjalar ke sekujur tubuh yang meronta-ronta.Lou Cho Nghek mengendapkan kedengkiannya kepada Thong Chai dan Mei Chin. Pasangan itu menghindar untuk menghindari perseteruan. Mereka berdua memilih ketenteraman di satu rumah sederhana. Keseharian mereka adalah berkebun, menggembalakan binatang ternak, merajut cinta dan kasih sayang dalam setiap senyum dan lelah tubuh mereka.Sekte Yǒngjiǔ tetap menjadi sekte yang disegani meskipun rumor kekalahan Lu Thong sudah menyebar. Namun banyak dari para pendekar berempati, dan beranggapan bahwa ayah lebih memilih untuk mengalah demi sang anak.“Lu Thong bukan orang sembarangan. Lou Cho Nghek itu anak bau kencur, sekali kepret, habis anak itu.” Satu pendekar mengungkapkan pendapatnya ketika sedang duduk-duduk di kedai.“Dan, Thong Chai bisa saja mengalahkan anak Lu Thong itu.” Satu pendekar berambu

  • Rimba Memburu Senala   85- Pertarungan Darah dan Nama

    Salju turun perlahan di atas puncak Gunung Xuelan, menyelimuti tanah dengan keheningan yang menyesakkan. Di bawah langit kelabu, dua bendera berkibar: satu berwarna biru keperakan bertuliskan Yǒngjiǔ, satu lagi merah darah bertuliskan Shèng Xuè. Dua sekte, dua jalan, dua darah yang sama—namun kini saling menantang.Di aula utama Sekte Darah Suci, Lou Cho Nghek berdiri di depan para murid barunya. Matanya tajam, penuh bara yang tak padam. Di belakangnya, Guru Duan duduk bersila, wajahnya tenang lamun penuh perhitungan.“Mulai hari ini,” kata Lou Cho Nghek. Suaranya menggema, “kita tidak tunduk pada warisan yang membusuk. Kita tidak tunduk pada nama yang hanya menjadi beban. Kita adalah darah yang murni, yang memilih jalannya sendiri.”Seorang murid muda, Liang Fei, mengangkat tangan. “Tapi ..., Tuan Lou, apakah benar Sekte Yǒngjiǔ adalah tempat kelahiranmu? Tempat ayahmu mengajar dan membesarkanmu?”Lou Cho Nghek menatapnya lama. “Benar. Dan karena itulah aku tahu betapa rusaknya akar

  • Rimba Memburu Senala   84- Keakraban Para Pengembara

    Rimba memandang sahabatnya. Raut wajahnya bingung. Sementara, Cucu, sahabatnya pun ekspresi wajahnya bingung.“Mengapa dalam pandangan mereka berdua, kita adalah binatang?”Cucu menggeleng bingung dan tak mengerti.“Aku tidak melangkah dengan empat kaki.”“Aku juga begitu,” sahut Cucu.Akibat bertemu tiba-tiba dengan Cucu yang tinggi besar dan Rimba Rangkuti, Lon Chang, si Pengembara Botak dan Yu Lie berhalusinasi. Mereka mengidentikkan tubuh Cucu dan Rimba ramping seperti kijang, tapi kulitnya bersisik keperakan dan matanya bersinar kehijauan. Mereka berdua hanya menatap dengan sorot yang tak manusiawi. Lalu halusinasi mereka mulai ngaco, hingga mitos Qisao, Gunung Xuelan dan sebagainya menjadi igauan. Di padang rumput, mereka berhalusinasi, mengigau. Sementara Rimba dan Cucu hanya mampu tertegun melihat tingkah Lon Chang dan Yu Lie.“Kita masih beruntung.”“Beruntung?”

  • Rimba Memburu Senala   83- Qisao adalah Mitos

    “Qisao adalah mitos,” sebut Lon Chang.Yu Lie diam, mengangguk tidak, menggeleng pun tidak.“Apa yang kualami cuma mimpi.”Yu Lie melirik gelang di genggaman Lon Chang.Lon Chang mengeratkan genggamannya.“Kalau sekadar mimpi, kenapa gelang itu bisa berada di tanganmu?”Lon Chang tersadar dan mengangkat genggamannya, melihat gelang itu dengan saksama. Kemudian dia memandang Gunung Xuelan.“Gerbang terbuka dalam semusim,” gumam Lon Chang.Yu Lie pun mencari apa yang dipandang oleh Lon Chang. Kemudian gadis itu berkata, “Kamu mau ke sana?”Lon Chang terlihat ragu. “Aku berharap ini sekadar mimpi.”---Lon Chang menatap siluet Gunung Xuelan yang menjulang dengan tenang dan dingin, seperti menyimpan ribuan rahasia dalam kabut abadi. Langit berwarna kelabu, menyiratkan musim yang berubah dan waktu yang tidak lagi pasti. Angin berdesir pelan,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status