Jingan, si elang yang hidup bersama dengan Calistung, suatu siang membawa seorang anak bayi dan meletakkannya di hadapan Calistung. Terperangahlah Calistung. Bagong melangkah dengan hati-hati. Bayi mungil bernama Senala terbungkus kain lusuh di punggungnya, tubuh kecilnya nyaris tak bergerak, hanya sesekali terdengar suara napas lembutnya. Bagong, dengan tubuh gemuknya yang berkeringat, berjalan menyusuri jalan setapak yang jarang dilalui manusia. Kabut tebal menyelimuti hutan, membuat setiap langkah terasa seperti memasuki dunia lain yang penuh misteri. Ketika matahari mencapai puncaknya, Desa Jenang sudah berubah menjadi puing-puing. Lima orang itu menaiki kuda mereka dengan puas, meninggalkan kehancuran di belakang mereka. Warga desa yang tersisa hanya bisa memandang dengan tatapan kosong, terlalu takut untuk melawan atau bahkan berkata-kata. "Latihanmu selama ini bukan untuk bermain-main, Anakku. Mungkin waktunya tiba untuk kita mempertahankan apa yang harus kita lindungi."
view moreJingan menukik tajam, membelah udara. Tubuhnya yang besar nan gagah memburu satu titik di rerimbunan hutan. Tubuh Jingan kian mendekati sasaran. Seekor harimau. Makhluk itu mengendap menuju mangsanya.
Biru langit jelas menyaksikan pertarungan elang raksasa itu melawan seekor harimau yang hendak memangsa bayi manusia yang kejer menangis.
Harimau itu mengaum, bersiap memangsa bayi mungil merah yang menangis ketakutan. Secepat kilat kibasan sayap Jingan, si elang bertubuh besar nan gagah menghalau gerigi harimau yang nyaris menggigit leher sang bayi. Pertarungan Jingan dan harimau pun terjadi. Merasa terganggu oleh kibasan sayap si elang, harimau itu berusaha mencakar sayap Jingan. Elang besar itu berkelit dengan gerakan lincah, tepat sehingga cakaran harimau gagal merobek salah satu sayapnya. Jingan terbang dengan penuh perhitungan mencari titik lemah lawannya. Upaya itu sekaligus sebagai pengalihan agar harimau menjauh dari mangsanya.
Pada satu detik waktu yang tidak terduga, Jingan menyerang dengan kedua sayapnya terbuka lebar. Manakala menyadari mendapat serangan mendadak, harimau itu berdiri dengan kedua kaki depannya berusaha menghalau cakaran kedua kaki Jingan. Mereka beradu kekuatan. Cakaran kedua makhluk itu diselingi auman harimau dan pekik Jingan penuh semangat. Kepakan kedua sayap Jingan menjadikan tubuhnya tetap dalam posisi di atas, sedangkan tubuh harimau masih berdiri dengan kedua kaki depannya menghalau cakaran liar Jingan bertubi-tubi.
Harimau itu mengaum panjang. Kesakitan. Satu bagian wajahnya me-merah. Darah deras mengucur. Satu matanya terluka. Cakaran Jingan berhasil membuat satu mata harimau itu bercucuran darah. Aumannya terhenti seiring tubuhnya lari dari medan pertarungan.
Jingan mendekati bayi mungil itu. Sepersekian detik binar sepasang matanya tajam menatap wajah bayi yang masih menangis meski tangisannya tidak sekejer barusan. Dengan perlahan, Jingan mencengkeram tubuh bayi mungil itu, membawanya terbang mengangkasa.
---
Kabut pagi menyelimuti Bukit Berkabut dengan keheningan yang magis, menyerupai selimut tipis yang merangkul bumi. Bukit Berkabut bagai seorang pandita mengenakan pakaian putih yang duduk tenang bertemankan awan. Di sebuah lapangan berumput yang tersembunyi dalam rimbunan bukit, seorang anak lelaki bergerak lincah seperti rusa yang tak mengenal lelah.
Anak lelaki itu berteriak lantang,
“Hiya!”
Tangannya terentang, dan dia lagi berteriak sembari gerak tubuhnya gesit.
“Hiya!”
Kakinya melompat.
“Hiya!”
Terkadang dia berguling-guling di tanah basah oleh embun. Latihannya menyerupai tarian alam yang harmonis, sebuah paduan kecekatan dan keluguan anak kecil, tetapi sarat dengan kekuatan tersembunyi. Udara pagi yang dingin tak membuatnya surut; dia terus melatih jurus-jurus yang diajarkan gurunya.
Dari kejauhan, Calistung mengawasi dengan tenang dari petilasannya. Jubahnya serbaputih, bersih dan sederhana, menjadikan sosoknya seolah-olah bagian dari kabut itu sendiri.
“Tegakkan tulang punggungmu!”
Sesekali senyumnya terlukis di wajah kerasnya, mencerminkan rasa bangga dan kagum pada kemajuan murid kecilnya.
“Jadikan rotanmu lurus menohok!” tuturnya lantang.
Sekali lagi senyumnya mengembang.
Pandangannya terhenti, matanya menerawang, dan ingatannya melayang ke masa lampau. Bayang-bayang pertemuannya dengan bayi kecil yang diantarkan oleh Jingan, sang elang perkasa, kembali membanjiri pikirannya.
Kala itu, Jingan muncul dari cakrawala dengan gagahnya, mencengkeram seorang bayi mungil dengan cakarnya yang kokoh, tapi lembut. “Dari mana anak ini, Jingan?” tanya Calistung dengan suara berat, tetapi penuh keingintahuan. Jingan menjelaskan dalam bahasanya yang unik dan dipahami oleh Calistung, bahwa bayi itu diselamatkannya dari serangan harimau ganas di tengah hutan. Kilatan mata tajam Jingan, yang mampu menembus lebatnya dedaunan, menyelamatkan bayi itu dari takdir tragisnya.
Kini, Bukit Berkabut telah menjadi rumah bagi bayi yang tumbuh menjadi Rimba Rangkuti, seorang anak yang tangguh dan gigih. Tempat yang sulit dijangkau oleh manusia biasa ini menjadi saksi dari pertumbuhan luar biasa Rimba. Pepohonan menjulang dan gemercik air terjun menciptakan melodi abadi, bagai memeluk anak itu dalam keajaiban alam.
Pagi itu, dengan tongkat rotan di tangannya, Rimba mengiris udara yang dingin, mengukir bayangan gerakan yang sarat energi dan kegigihan. Sinar matahari yang mulai naik menambah kilau peluh di kulitnya. Dari atas, Calistung turun layaknya burung rajawali yang melayang, menguji muridnya dengan serangan-serangan yang tak terduga. Rimba bertahan, menyerang balik, hingga satu gerakan cepat dari gurunya membuat tongkat rotan itu terlepas dari genggamannya.
Calistung tersenyum, menepuk lembut kepala Rimba. “Kamu telah berusaha keras, Anakku. Sekarang waktunya kita makan,” ucapnya penuh kebapakan.
“Mari, Guru.” Rimba berkata dengan sopan.
Dan dengan tawa ringan, keduanya melangkah menuju hangatnya sarapan, meninggalkan lapangan yang masih dipenuhi energi perjuangan dan semangat hidup.
---
Langit biru yang melengkung di atas Bukit Berkabut menyatu dengan tenangnya alam. Di bawah pandangan tajam Jingan, si elang raksasa, sosok Calistung dan Rimba terlihat kecil. Sayapnya yang megah terbentang seperti layar besar, berkilauan diterpa matahari menjelang siang. Elang itu melayang-layang, mencermati langkah dua penghuni bukit yang menuju rumah panggung berbingkai kayu kokoh, diam melayang seperti penjaga rahasia alam.
Tanpa berpaling, tangan Calistung terangkat, lambaiannya sederhana, tapi sarat makna. Seruan bisu itu dimengerti Jingan, yang segera menukik turun menembus udara dengan kepakannya yang nyaris tanpa suara. Dalam sekejap, elang perkasa itu berdiri gagah di dekat mereka, tubuhnya terlihat kekar, dengan otot-otot yang membungkus sayapnya seakan-akan siap melindungi siapa saja yang ada dalam jangkauannya. Matanya memindai Bukit Berkabut yang terbentang, mencari tanda-tanda ancaman. Namun kabut yang tebal menutupi segalanya, menghadirkan kedamaian dan misteri dalam satu helaan napas.
Sesampainya di rumah panggung, aroma makanan yang sederhana sungguh menggoda menyambut mereka. Perut Rimba, yang bergejolak seperti drum perang sesudah latihan yang menguras tenaga, taksabar lagi menanti santapan.
Dengan lahap Rimba mengunyah. Tiap suapan seperti perayaan kecil bagi seorang anak yang lapar dan puas.
“Masakan Nenek Suyatim tidak pernah salah,” ujar Rimba, “..., selalu benar!”
“Selalu enak, Rimba,” tukas Calistung selesai meneguk minumannya.
Rimba tersipu malu. Begitu pun Nenek Suyatim yang ikut pula makan bersama mereka berdua.
Di seberang meja, Calistung masih menyantap makanannya dengan tenang. Setiap gerakannya perlahan, mencerminkan kedalaman seorang guru yang memaknai hidup dengan sederhana dan bijaksana.
Nenek Suyatim sejenak menengok ke beranda rumah.
Tak jauh dari sana, di beranda rumah, Jingan menikmati bagiannya. Elang itu mematuk seonggok daging segar. Ketenangan dan kekuatan bagai terpancar dari tiap gerakannya.
Dalam kebersamaan yang aneh namun alami itu, Bukit Berkabut sekali lagi menjadi saksi bisu dari harmoni antara manusia dan alam, makhluk kuat, Guru Calistung dan seorang anak kecil yang berusaha keras mengenali takdirnya. Di bawah kabut yang menyelimuti, rahasia pagi itu tetap terjaga, hanya untuk mereka yang bersedia mendengarkan cerita yang tidak pernah diucapkan.---
Saat musim berganti dan salju tak lagi memaksakan dinginnya, Sekte Yǒngjiǔ berdiri sebagai monumen dari banyak luka yang perlahan disembuhkan. Para pendekar kembali ke jalan masing-masing, membawa bukan hanya ajaran bela diri, tetapi pelajaran tentang hati, tentang kehilangan, dan tentang keberanian untuk memaafkan.---Di ruang meditasi yang tenang, Yu Lie menulis jurnalnya sendiri, bukan untuk dikenang, melainkan untuk menjaga agar sejarah tak kembali dibengkokkan oleh ambisi. “Kebenaran bukan pisau,” tulisnya. “Ia adalah cermin. Kadang menyakitkan, tapi tanpanya, kita berkelana tanpa arah.” Dia menyadari bahwa tugasnya tak pernah hanya tentang membongkar rahasia—tapi mengembalikan jiwa yang terluka ke pelukan dunia.Langit malam di atas Tanah Riuh menggantung kelabu, seolah-olah enggan memberi cahaya pada hari-hari yang masih mengandung luka. Angin membawa bau debu, lilin yang telah padam, dan sisa harapan yang belum dibakar oleh ketakutan.Di ruang meditasi yang sama, Yu Lie duduk
Di tengah Tanah Salju yang kini menampakkan rona musim semi, Pertemuan Agung dimulai dengan arak-arakan para pendekar dari berbagai sekte. Aula utama Sekte Yǒngjiǔ kembali menjadi pusat perhatian. Simbol naga bersinar terpahat segar di dinding, dan langit tampak bersahabat, menyingkirkan salju demi cahaya kehangatan.Pertemuan Agung itu adalah pertemuan kedelapan semenjak Mei Chin dan Thong Chai terpisah.Thong Chai berdiri di podium kehormatan, mengenakan jubah biru keperakan, sementara Mei Chin berada di sisinya, tangannya menggandeng seorang bocah lelaki yang belum genap sepuluh tahun, tetapi sorot matanya tajam dan menyala penuh semangat.“Ini adalah Chen Lung,” ucap Mei Chin dengan suara bergetar, “Putra kami. Buah dari cinta yang tumbuh di tengah badai.”Chen Lung menggenggam jubah ayahnya. Tatapan para pendekar berubah dari hormat menjadi haru. Anak kecil itu membungkuk perlahan seperti telah diajarkan sejak bayi untuk menghormati para tetua. Mungil tubuhnya, tapi langkahnya ga
Malam telah menjelma sunyi, memeluk Tanah Salju dengan keheningan yang dalam. Bangunan utama Sekte Yǒngjiǔ tampak seperti benteng batu yang membeku. Namun di dalamnya, Yu Lie dan tiga rekannya sudah menyusup ke lorong tersembunyi, dipandu oleh petunjuk yang mereka temukan di naskah tua kedai penginapan: peta kecil dengan tinta tipis yang memudar. Tidak ada yang tahu bahwa mereka sudah berada di jantung tempat yang dulu hanya bisa dimasuki oleh Lu Thong sendiri.“Lorong ini tidak tercatat dalam arsip umum,” bisik Yu Lie sambil mengusap embun dari dinding.Rimba berlutut memeriksa celah lantai. “Ada jejak. Beku. Tapi baru satu-dua hari. Mungkin Lu Thong sempat ke sini sebelum wafat.”Lon Chang mendorong sebuah rak tua dengan lambang ukiran naga. Terdengar suara berderak, dan rak itu bergeser membuka lorong tangga turun yang gelap.Cucu tersenyum tipis. “Akhirnya tempat rahasia yang layak disebut rahasia. Mari kita turun dan menggali kebenaran.”---Ruangan di bawah tanah itu dingin dan
Angin di luar aula berderu pelan, seperti bisikan alam yang turut berduka. Aroma dupa menyesakkan dada, menggiring pikiran para pelayat pada kenangan yang belum sempat diselesaikan.Lou Cho Nghek datang tepat ketika langit meredup. Langkah-langkahnya tidak terdengar, tapi tatapan matanya mengguncang suasana. Dia berdiri di ambang pintu aula, mengenakan jubah abu-abu tua yang dipenuhi lapisan salju. Rambutnya sebagian mencair dari embun, sebagian lagi mengeras, menambah kesan beku pada wajahnya yang tanpa ekspresi.Beberapa murid yang mengenal wajahnya hanya bisa menunduk—ada ketakutan, ada dendam, ada hormat. Phe I Yek mendongak perlahan dan matanya membelalak.“Kamu datang juga,” katanya parau, nyaris seperti gumaman.Lou Cho Nghek tidak menjawab. Matanya hanya terarah pada peti mati. Langkah-langkahnya lambat, seperti menghitung dosa yang dibawanya dari masa lalu. Di depan peti, dia berlutut. Tangannya gemetar menyentuh kayu dingin.“Guru,” ucapnya lirih, “Aku …, tidak sempat bicara
Asap hitam membubung meninggalkan atap penginapan. Jelaga yang dibawa bersama asap hitam itu terpisah oleh butiran-butiran salju yang turun dari langit. Matahari sudah muncul dari ufuk, tetapi tidak membuat Tanah Salju menghangat karena sinarnya seakan-akan terhalang oleh butiran-butiran salju. Mungkin matahari memilih muncul ufuknya di wilayah lain, tidak di Tanah Salju.Di dalam kamar penginapan, kayu bakar menyisakan hangat dengan sisa-sisa batang-batang kayunya berubah warna menjadi sekam. Sisi jendela penginapan bagian luar menempel salju sehingga tampak seperti mata tombak yang berjejer. Embusan angin dingin berani menyelinap masuk ke dalam kamar, membuat Yu Lie menarik selimut untuk menghalau dingin.Lon Chang tidur masih dengan lelap meski suasana dingin di kamar penginapan begitu menyengat. Sementara Cucu dan Rimba, mereka berdua anteng-anteng saja. sepertinya dingin yang meliputi kamar penginapan mereka bukanlah gangguan bagi mereka untuk tetap pulas.Hingga Yu Lie merasa tu
Rimba Rangkuti dan Cucu akhirnya melihat dengan mata kepala bagaimana sebuah perseteruan antara ayah-anak itu terjadi.“Ketika kita meninggalkan anak-anak Akarlangit, mereka tersenyum bahagia,” ujar Cucu.Rimba diam, tidak menimpali ucapan sahabatnya. Dia menarik selimut di kamar penginapan yang berisi empat orang. Yu Lie dan Lon Chang sudah lelap sedari tadi.“Aku, kamu, dan mereka berdua hanyalah pengembara.” Kata Rimba lagi, “Kita tidak bisa memilih apa yang akan kita lihat dan alami.”Kali ini Cucu diam di balik selimut. Pandangannya tajam pada langit-langit kamar tempat mereka menginap malam itu.“Setidaknya, pikiranmu kali ini lebih baik dari sebelumnya.”Rimba tersenyum di sisi Cucu lalu beringsut memunggunginya. “Ayo, tidur.”Sepasang mata merah Cucu menghilang nyalanya.---Langkah Lou Cho Nghek kembali menapaki dunia luar. Namun dunia yang dilihatnya bukan lagi dunia yang sama. Salju tampak lebih kelabu, langit tampak lebih rendah, dan wajah-wajah di jalanan tampak seperti b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments