
Rimba Memburu Senala
Jingan, si elang yang hidup bersama dengan Calistung, suatu siang membawa seorang anak bayi dan meletakkannya di hadapan Calistung. Terperangahlah Calistung.
Bagong melangkah dengan hati-hati. Bayi mungil bernama Senala terbungkus kain lusuh di punggungnya, tubuh kecilnya nyaris tak bergerak, hanya sesekali terdengar suara napas lembutnya. Bagong, dengan tubuh gemuknya yang berkeringat, berjalan menyusuri jalan setapak yang jarang dilalui manusia. Kabut tebal menyelimuti hutan, membuat setiap langkah terasa seperti memasuki dunia lain yang penuh misteri.
Ketika matahari mencapai puncaknya, Desa Jenang sudah berubah menjadi puing-puing. Lima orang itu menaiki kuda mereka dengan puas, meninggalkan kehancuran di belakang mereka. Warga desa yang tersisa hanya bisa memandang dengan tatapan kosong, terlalu takut untuk melawan atau bahkan berkata-kata.
"Latihanmu selama ini bukan untuk bermain-main, Anakku. Mungkin waktunya tiba untuk kita mempertahankan apa yang harus kita lindungi."
Baca
Chapter: 18- Lembah RahasiaRimba duduk anteng di pangkal dahan besar sebuah pohon yang tinggi menjulang. Kesendiriannya diliputi suasana khas Hutan Belubuk. Sunyi. Meski kesunyian yang begitu dia nikmati kadang terganggu oleh gemeresak dedaun atau rerumput yang terinjak oleh tubuh maupun kaki penghuni Hutan Belubuk yang gesit bergerak, semua itu tidak membuat Rimba batal anteng duduk di pangkal dahan besar sebuah pohon yang tinggi menjulang.Rimba baru saja selesai berlatih gerakan bela diri. Tanpa dia sadari, gurunya telah berhasil mendidiknya dengan menanamkan suatu pemahaman: alah bisa karena biasa. Bugar dia dapatkan lantaran rutin berlatih jurus-jurus Calistung. Setiap hari. Setiap waktu. Tidak peduli di mana tempat, Rimba tekun berlatih bela diri dengan mengulang gerakan jurus-jurus yang sudah diajarkan gurunya, Calistung.Meskipun sendirian, duduk anteng untuk mengusir lelah dan membuat keringatnya menguap, mata dan pendengaran Rimba tetap awas, waspada. Sebuah pengajaran Calistung kepadanya. Sebuah ilmu
Terakhir Diperbarui: 2025-06-06
Chapter: 17- Lima Bangkotan Itu BerlatihMatahari sepenggalah. Hutan Belubuk menghangat. Begitu juga dengan Padepokan Mamak Jambul. Sebuah area di dalam jantung Hutan Belubuk yang tersembunyi itu diliputi oleh pagar bambu yang rapat, berdiri terpancang setinggi tiga meter.Di angkasa biru, Jingan melayang dengan sayap terkembang. Matanya yang awas mengawasi beberapa tubuh yang tengah bergerak kompak di area Padepokan Mamak Jambul. Tanah lapang itu menjadi saksi bagaimana lima orang yang sudah bisa disebut: bangkotan, masih sudi menimba ilmu, berguru kepada Mamak Jambul.Codet begitu bersemangat. Walau gerakan-gerakan kaki dan tangannya belum sekompak dengan murid sebangkotan lainnya, dia bersikeras. Terkadang dia meringis menahan nyeri akibat lukanya yang belum sembuh total. Untuk menghalaunya, Codet beberapa kali berteriak. Teriakan itu sebagai cara dia melampiaskan rasa nyeri bila datang tiba-tiba.Codet masih bertahan meski napasnya sudah mulai berat. Gerakan kakinya sedikit terseret, tapi pandangannya tetap tajam. Dia me
Terakhir Diperbarui: 2025-06-06
Chapter: 16- Berempat, Mereka Menuju PadepokanSungguhpun lelah dan terengah-engah, Calistung segera menggunakan jurus pernapasan untuk mengatasinya. Pepohonan yang porak-poranda dan semak yang menghitam menjadi saksi bisu pertarungan sengit tadi. Udara malam membawa bau hangus dan jejak energi yang tak lagi dapat dijelaskan. Calistung, seorang pendekar berumur yang selalu tampak tenang, perlahan berdiri. Napasnya yang awalnya terengah-engah mulai teratur, berkat jurus pernapasan yang dia pelajari bertahun-tahun. Tongkat kayu tua yang kini menjadi tumpuannya terasa sedikit lebih berat, tapi dia tetap melangkah dengan langkah penuh kepercayaan diri.Sementara itu, lambat laun tubuh Siluman Ular Belubuk berubah menjadi asap dan lesap, menyatu bersama udara malam Hutan Belubuk. Kegelapan yang pekat di hutan itu terasa berbeda, bagai menyimpan rahasia yang tak mampu diungkap oleh manusia biasa. Yang tersisa hanya pepohonan yang acakadut, roboh, semak-semak menghitam dalam gelapnya malam di Hutan Belubuk.Pendekar Calistung menyeka dah
Terakhir Diperbarui: 2025-03-30
Chapter: 15- Senala, Joran, dan RimbaAliran sungai jernih satu-satunya di lembah itu dikelilingi pohon-pohon besar. Tidak jauh dari sungai itu, satu dataran cukup lapang dijadikan tempat berlatih Senala barusan. Gadis remaja Hutan Belubuk itu, dengan gesit dan lincah, meliuk-liuk menghindari serangan tongkat kayu Rimba. Rimba, dengan wajah serius, berusaha keras melancarkan serangan. Namun gerakannya masih kaku dan kurang terarah.Sebenarnya, Rimba menutupi kemampuan bela diri yang sudah dimilikinya. Senala tidak mengetahui bahwa Calistung adalah pendekar digdaya yang sebenarnya. Nama Calistung tidak setenar Mamak Jambul. Justru ketidaktenarannya itu membuatnya merasa lebih aman dan nyaman. Calistung tidak membutuhkan ketenaran dan nama besar.Mereka berdua benar-benar lelah. Di pinggir aliran sungai, Rimba mengusap wajahnya dengan air sungai yang jernih. Kesegaran menyentuh pori-pori wajahnya yang hangat berkeringat. Rambut ikalnya, juntaiannya ikut pula basah.Senala ikut pula berjongkok di sisi Rimba. Dengan adat yang
Terakhir Diperbarui: 2025-03-26
Chapter: 14- Calistung versus Ular Siluman BelubukCalistung berdiri tegak, tangannya terangkat, memancarkan cahaya biru yang kuat. Perisai energi yang melindunginya bergetar hebat saat Siluman Ular Belubuk menyerang dengan taring dan ekornya yang besar. Desisan ular itu memekakkan telinga, dan setiap serangannya mengguncang tanah di sekitar mereka."Kau tidak akan bisa mengalahkanku, manusia!" desis Siluman Ular Belubuk. Suaranya seperti gemuruh batu yang bergesekan. "Hutan ini adalah wilayahku, dan kau tidak punya hak untuk melewatinya!""Aku tidak mencari masalah," jawab Calistung tegas. Suaranya tenang. "Tapi kami harus melewati hutan ini untuk menyelamatkan teman kami.""Tidak ada yang boleh melewati hutan ini!" raung Siluman Ular Belubuk. Amarahnya memuncak. Ia meluncurkan serangan dahsyat, menerjang perisai energi Calistung dengan seluruh kekuatannya. Perisai itu bergetar hebat, dan retakan-retakan mulai muncul di permukaannya.Calistung mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mempertahankan perisai itu. Keringat membasahi dahiny
Terakhir Diperbarui: 2025-03-25
Chapter: 13- Siluman Ular BelubukDi dalam rumah di pinggir Hutan Belubuk, Codet meringkuk di atas tikar pandan, keringat dingin membasahi dahinya. Luka menganga di perutnya, bekas sabetan Golok Rajawali Baramundi, sudah berhenti mengeluarkan darah. Jempol dan Bau sudah tidak begitu cemas lagi."Bagaimana keadaannya, Jempol?" tanya Bau. Suaranya bergetar.Jempol berhenti mondar-mandir, menatap Codet yang pucat pasi. "Luka ini terlalu dalam. Kita butuh tabib, Bau.""Tapi tabib terdekat ada di desa seberang hutan. Perjalanan ke sana bisa memakan waktu berjam-jam," sahut Bau, kembali khawatir.Codet mengerang pelan, matanya terbuka sedikit. "Jangan ..., jangan pergi ..., tinggalkan aku ....""Kami tidak akan meninggalkanmu, Codet," kata Jempol, menggenggam tangan Codet erat. "Kami akan mencari cara untuk membantumu."Tiba-tiba, pintu rumah terbuka. Ceking dan Matu masuk diikuti Mamak Jambul, Calistung, dan Baramundi. Mata mereka langsung tertuju pada Codet yang terbaring lemah."Ya ampun, parah sekali lukanya," seru Mama
Terakhir Diperbarui: 2025-03-25