Share

Bab 5

Penulis: Nelda Friska
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-28 14:33:59

Demi mendapat maaf dari Farel, akhirnya aku menyewa orang suruhan untuk mencari Hana dan juga Kia. Putraku mulai bisa tersenyum ketika aku memberitahunya tentang hal ini. Perlahan sikap Farel mulai melunak, bahkan sudah mau makan satu meja dengan kami, hal yang tidak pernah ia lakukan semenjak Rani tinggal di rumah ini.

"Makan yang banyak, Nak," ucapku sambil mengusap rambutnya. Farel tidak menolak, membuat senyum bahagia terbit dari bibir ini.

"Bunda ambilkan lauknya, ya. Farel mau apa? Ayam?" Rani pun ikut menawarkan diri, tetapi sayang respon yang diberikan Farel terhadapnya berbeda.

"Tidak usah, aku bisa sendiri," ketusnya.

Riak sendu tercetak dari wajah cantik itu. Kuusap tangannya dengan lembut, memberi kekuatan padanya agar tidak bersedih atas sikap putraku. Aku tahu kerasnya usaha Rani untuk mendekatkan diri pada Farel. Akan tetapi, anak itu membangun dinding kokoh yang tidak bisa Rani tembus. Bagi Farel, bundanya hanya satu yaitu Hana, meskipun kini Rani sudah menjadi ibu sambungnya.

"Farel mau ikut Ayah ke kantor, gak? Dari pada jenuh di rumah," tawarku.

"Boleh. Aku juga tidak betah kalau harus di rumah terus," jawabnya seraya melirik sekilas ke arah Rani. Aku tahu Farel sengaja menyindir Rani untuk membuat istriku itu kembali sedih.

"Kalau begitu cepat habiskan makanan kamu. Kita langsung berangkat."

Farel menganggukkan kepala. Dengan lahap ia menghabiskan sarapan hingga piring berisi makanan itu tandas tak bersisa.

"Nasi goreng buatan Mbok Tuti enak. Hampir mirip sama buatan Bunda," ujarnya seraya mengelap mulut dengan tisu.

"Aku tunggu di depan, Yah. Jangan lama-lama. Tadi, kan Ayah yang memintaku menghabiskan sarapan dengan cepat." Farel berdiri kemudian berjalan keluar rumah. Setelah tubuhnya menghilang di balik tembok, aku berdiri untuk memberi pelukan hangat pada Rani. Mata bening itu sudah mengembun. Aku tahu ia tersinggung atas ucapan Farel.

"Yang sabar, ya. Abang yakin sebentar lagi sikapnya akan berubah. Buktinya sekarang dia sudah mau sarapan bareng kita," ujarku seraya mengecup pucuk kepalanya berkali-kali.

Rani terisak. Kudekap tubuhnya lebih erat untuk memberinya kekuatan.

"Sampai kapan aku harus bersabar, Bang? Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Aku sudah lelah menghadapi sikap anakmu yang semakin keterlaluan," keluhnya.

"Abang mengerti. Abang mohon bersabarlah sebentar lagi."

Kuurai pelukan, kubingkai wajahnya yang sudah bersimbah air mata. "Abang berangkat dulu, ya. Kamu baik-baik di rumah."

Rani mengangguk. Satu kecupan aku daratkan di keningnya cukup lama.

"Yaelah, ternyata malah bermesraan. Pantesan gak nongol-nongol. Niat kerja gak, sih!"

Farel tiba-tiba muncul dengan wajah yang ditekuk. Aku dan Rani gelagapan karena malu kepergok olehnya.

"Nana, Ayah berangkat dulu. Baik-baik sama Bunda di rumah, jangan nakal."

Gadis kecilku mengangguk lucu. Kuberikan satu kecupan di pipi gembilnya karena gemas.

"Ayok, Nak, kita berangkat."

"Ini juga sudah siap dari tadi," ketusnya sambil berjalan mendahuluiku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil mengikutinya.

🌷🌷🌷

"Tuan!"

Ketukan di pintu dan teriakan Mbok Tuti menghentikan aktifitasku dan Rani yang mulai memanas. Gegas kupunguti pakaian yang sudah berserakan dengan cepat. Rasa khawatir tiba-tiba menyergap mendengar suara Mbok Tuti yang terdengar panik.

"Ada apa, Mbok?" tanyaku ketika sudah membuka pintu. Benar saja, wajah Mbok Tuti terlihat pias. Wanita paruh baya itu meremas ujung daster yang ia kenakan sambil sesekali melirik ke arah kamar Farel.

"Itu, Tuan. Den Farel, tadi Mbok lihat dia keluar rumah sambil ngendap-ngendap," terangnya dengan gugup.

"Mbok yakin? Gak salah lihat?"

"Yakin, Tuan."

Kuhela napas dengan kasar. Anak itu pasti membuat ulah lagi dengan sengaja keluyuran di luar sana.

"Ya sudah. Mbok boleh pergi."

Mbok Tuti mengangguk. Aku pun kembali masuk menghampiri Rani yang duduk di ranjang dengan selimut yang menutupi tubuh polosnya.

"Ada apa sih, Mas? Mengganggu saja," keluhnya jengkel.

"Farel pergi. Dia pasti keluyuran lagi sama teman-temannya," terangku.

"Sudah biarkan saja. Memang sudah biasa, kan dia seperti itu."

"Kamu benar. Tapi perasaan Abang tiba-tiba cemas. Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya."

Rani mencebik. Ia baringkan tubuhnya dengan posisi membelakangiku. "Mau bermesraan saja susah. Selalu saja gagal," gerutunya.

"Maaf ya, Sayang. Abang menghubungi Farel dulu. Nanti kita lanjutkan yang sempat tertunda tadi," bisikku.

Kaki ini melangkah keluar kamar seraya mengotak ngatik ponsel menghubungi nomor Farel. Aktif tetapi tidak diangkat. Sepertinya anak itu sengaja mengabaikan panggilanku.

Kamar Farel menjadi tujuanku saat pikiran buruk terlintas begitu saja. Kubuka lemari pakaiannya yang ternyata masih utuh. Kuhela napas lega karena ternyata apa yang aku takutkan tidak terjadi. Aku takut anak itu kabur dari rumah karena sudah tidak betah tinggal di sini.

Kuputuskan kembali ke kamar saja untuk membujuk Rani yang sedang merajuk. Biarlah nanti kucoba menghubungi Farel lagi jika urusan dengan Rani sudah selesai.

Namun, dering ponsel yang kupegang menghentikan kembali langkah ini. Nomor Farel. Akhirnya anak itu menghubungiku juga.

"Hallo, Nak? Kamu di mana?"

[Hallo, apa benar ini dengan ayahnya Farel?]

"Betul. Ini siapa, ya? Kenapa ponsel anak saya bisa ada di Anda?" tanyaku mulai was-was.

[Maaf saya menggunakan ponsel Farel untuk menghubungi keluarganya. Saat ini Farel berada di Rumah Sakit Sastra Medika, dia mengalami kecelakaan.]

"Apa? Oke, saya segera ke sana!"

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 37

    Extra Part"Kamu yakin, kita akan datang ke sana? Kalau itu hanya akan membuatmu tidak nyaman, sebaiknya jangan. Abang tidak ingin menyakiti perasaanmu lagi," ujarku pada Hana.Saat ini kami berada di kamar, sama-sama berbaring dengan saling berhadapan. Pilow talk, hal yang sering kami lakukan semenjak menikah kembali."Hana yakin. Abang tidak usah khawatir, saat ini sudah tidak ada lagi rasa sakit di hati ini. Hana sudah ikhlas dan mengubur kejadian masa lalu. Bukankah kita sudah sepakat untuk membuka lembaran baru?" terangnya. Kuelus pipinya dengan penuh sayang. "Tapi dengan menemui dia, sama saja kembali menguak masa lalu yang telah kita kubur."Hana tersenyum. "Abang tega mengabaikan permintaan orang yang sedang sakit keras? Kita datang ke sana atas dasar kemanusiaan. Setidaknya dengan menengok dan mengunjungi dia, menambah pahala bagi kita. Bukankah begitu?""Kamu selalu berhasil membuat Abang kagum. Abang beruntung bisa memilikimu kembali. Abang tidak akan pernah bosan mengucap

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 36

    Satu bulan waktu yang diberikan Hana padaku, nyatanya terasa sangat singkat, tetapi bermanfaat. Aku berguru pada seorang Ustadz rekomendasi dari salah satu teman. Dari beliau aku mulai belajar mendalami ilmu agama. Tak lupa, kuceritakan kisah perjalanan hidupku padanya dan alangkah malunya aku saat beliau memberitahuku tentang hakikat poligami.Aku, manusia serakah yang menggunakan kata poligami sebagai kedok untuk menutupi nafsu. Menikahi lagi secara diam-diam di belakang istriku, memang diperbolehkan, tetapi tidak dianjurkan. Ada adab yang harus dikedepankan untuk menghargai perasaan istriku.Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim.Penggalan surat

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 35

    "Ibra, ini Hana sama Farel mau pulang, kok gak kamu cegah?"Mama langsung memberiku tatapan tajam ketika aku baru saja sampai di ruang tengah. Beliau duduk berdampingan dengan Laras, sedangkan Hana dan Farel duduk di seberang mereka."Ini juga Ibra mau cegah," kataku sambil mengambil posisi duduk di samping Farel. Anak itu melirik sekilas, kemudian kembali melengos malas."Hana, jangan pulang dulu, Nak. Kita makan malam sama-sama. Kasihan juga anak-anak yang masih kangen sama ayahnya." Mama membujuk Hana. Sedangkan orang yang dibujuk masih setia menundukkan kepala seraya meremas jemarinya. Ciri khas seorang Hana jika sedang dilanda gugup dan gelisah."Tapi sebentar lagi magrib. Hana takut nanti pulangnya kemalaman.""Kalau begitu ya menginap saja di sini," jawabku cepat.Farel mendelik tajam padaku. "Itu mah maunya Ayah," cibirnya. Kuacak rambutnya karena gemas akan sikap anak itu yang senang menyindir ayahnya ini."Ibra betul. Kalau takut kemalaman, kalian menginap saja di sini. Atau

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 34

    Waktu bergulir terasa sangat lambat. Sudah hampir dua bulan aku berada di Palembang, rasanya seperti sudah dua tahun saja. Rasa rindu pada anak-anak makin menggebu tiap harinya. Pun pada Bunda mereka yang bahkan sama sekali tidak pernah aku lihat dan dengar suaranya. Hanya dari Farel aku mendengar kabar tentang Hana. Mantan istriku masih disibukkan oleh urusan Butik yang makin hari makin ramai, katanya. Andai mengikuti kata hati, ingin rasanya aku pulang ke Jakarta, melepas rindu pada anak-anak yang hanya bisa bersua lewat telepon. Akan tetapi, aku masih harus mengurus masalah perusahaan yang sampai saat ini masih belum selesai."Ibra? Kamu, Ibra, kan?"Aku yang tengah menyantap makan siang di sebuah restoran, terkesiap ketika melihat seorang wanita sudah berdiri di depanku. Mata ini menyipit, mencoba mengingat siapa gerangan perempuan ini."Kamu lupa? Aku Laras, teman SMA kamu. Kita, kan satu kelas," terangnya yang membuat mataku makin menyipit.Laras? "Ya ampun, kamu Laras yang to

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 33

    Pov IbraBibir ini tak hentinya menyunggingkan senyum kala mengingat kebersamaan dengan Hana dan anak-anak tadi siang. Kebahagiaan yang tidak dapat kulukiskan saat diri ini diberi kesempatan berkumpul dengan mereka. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati ini ketika Hana buru-buru mengajak anak-anak pulang. Ia sepertinya tidak nyaman akan candaan yang kulontarkan padanya. Aku jelas tahu dia sempat merona, tetapi dengan cepat ia mengubah ekspresi itu dengan wajah yang terlihat datar.Huft, rupanya jalanku untuk mendapatkan kembali hatinya masih sangat panjang. Hana masih sulit kutaklukan, meskipun tak kupungkiri, ia sempat tersenyum kecil menanggapi godaan yang kuberikan."Ibra, itu ponsel kamu dari tadi bunyi terus, kok gak diangkat?"Mama tiba-tiba muncul saat aku masih tenggelam dalam lamunan. Sontak saja aku mengambil ponsel yang kuletakkan di atas meja. Nomor yang tak dikenal, kubiarkan saja. Takutnya orang yang sengaja iseng menggangguku. Namun, ponsel kembali berdering, memb

  • Rindu Untuk Farhana   Bab 32

    "Oma, Bunda, Ayah sudah sadar!"Aku dan Mama terperanjat. Makanan yang baru saja disentuh pun kami tinggalkan begitu saja setelah mendapat kabar baik ini. Bang Ibra sudah sadar. Itu tandanya ia telah berhasil melewati masa kritis. Kami bergegas mengikuti Farel ke kamar rawat Bang Ibra. Dengan rona bahagia yang kentara dari wajahnya, Farel menghampiri ayahnya yang sudah membuka mata."Ayah, itu Oma sama Bunda."Bang Ibra menoleh ke arah kami. Senyum tipis terukir dari bibirnya yang masih terlihat pucat."Ibra, alhamdullillah kamu sudah sadar, Nak." Mama mendekati putranya. Kristal bening mengalir di kedua pipi beliau. Bukan tangis kesedihan, melainkan ungkapan rasa bahagia menyambut sang putra yang telah sadar dari koma.Aku masih berdiri agak jauh. Menyaksikan kebahagiaan mereka dengan perasaan haru. Sampai ...."Hana, kemarilah, Nak. Kenapa hanya berdiri di situ?""I-iya, Ma." Perlahan, kaki ini mendekat. Bisa kulihat mata Bang Ibra yang menatap diri ini dengan lekat. Aku hanya bisa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status