Pov IbraBibir ini tak hentinya menyunggingkan senyum kala mengingat kebersamaan dengan Hana dan anak-anak tadi siang. Kebahagiaan yang tidak dapat kulukiskan saat diri ini diberi kesempatan berkumpul dengan mereka. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati ini ketika Hana buru-buru mengajak anak-anak pulang. Ia sepertinya tidak nyaman akan candaan yang kulontarkan padanya. Aku jelas tahu dia sempat merona, tetapi dengan cepat ia mengubah ekspresi itu dengan wajah yang terlihat datar.Huft, rupanya jalanku untuk mendapatkan kembali hatinya masih sangat panjang. Hana masih sulit kutaklukan, meskipun tak kupungkiri, ia sempat tersenyum kecil menanggapi godaan yang kuberikan."Ibra, itu ponsel kamu dari tadi bunyi terus, kok gak diangkat?"Mama tiba-tiba muncul saat aku masih tenggelam dalam lamunan. Sontak saja aku mengambil ponsel yang kuletakkan di atas meja. Nomor yang tak dikenal, kubiarkan saja. Takutnya orang yang sengaja iseng menggangguku. Namun, ponsel kembali berdering, memb
Waktu bergulir terasa sangat lambat. Sudah hampir dua bulan aku berada di Palembang, rasanya seperti sudah dua tahun saja. Rasa rindu pada anak-anak makin menggebu tiap harinya. Pun pada Bunda mereka yang bahkan sama sekali tidak pernah aku lihat dan dengar suaranya. Hanya dari Farel aku mendengar kabar tentang Hana. Mantan istriku masih disibukkan oleh urusan Butik yang makin hari makin ramai, katanya. Andai mengikuti kata hati, ingin rasanya aku pulang ke Jakarta, melepas rindu pada anak-anak yang hanya bisa bersua lewat telepon. Akan tetapi, aku masih harus mengurus masalah perusahaan yang sampai saat ini masih belum selesai."Ibra? Kamu, Ibra, kan?"Aku yang tengah menyantap makan siang di sebuah restoran, terkesiap ketika melihat seorang wanita sudah berdiri di depanku. Mata ini menyipit, mencoba mengingat siapa gerangan perempuan ini."Kamu lupa? Aku Laras, teman SMA kamu. Kita, kan satu kelas," terangnya yang membuat mataku makin menyipit.Laras? "Ya ampun, kamu Laras yang to
"Ibra, ini Hana sama Farel mau pulang, kok gak kamu cegah?"Mama langsung memberiku tatapan tajam ketika aku baru saja sampai di ruang tengah. Beliau duduk berdampingan dengan Laras, sedangkan Hana dan Farel duduk di seberang mereka."Ini juga Ibra mau cegah," kataku sambil mengambil posisi duduk di samping Farel. Anak itu melirik sekilas, kemudian kembali melengos malas."Hana, jangan pulang dulu, Nak. Kita makan malam sama-sama. Kasihan juga anak-anak yang masih kangen sama ayahnya." Mama membujuk Hana. Sedangkan orang yang dibujuk masih setia menundukkan kepala seraya meremas jemarinya. Ciri khas seorang Hana jika sedang dilanda gugup dan gelisah."Tapi sebentar lagi magrib. Hana takut nanti pulangnya kemalaman.""Kalau begitu ya menginap saja di sini," jawabku cepat.Farel mendelik tajam padaku. "Itu mah maunya Ayah," cibirnya. Kuacak rambutnya karena gemas akan sikap anak itu yang senang menyindir ayahnya ini."Ibra betul. Kalau takut kemalaman, kalian menginap saja di sini. Atau
Satu bulan waktu yang diberikan Hana padaku, nyatanya terasa sangat singkat, tetapi bermanfaat. Aku berguru pada seorang Ustadz rekomendasi dari salah satu teman. Dari beliau aku mulai belajar mendalami ilmu agama. Tak lupa, kuceritakan kisah perjalanan hidupku padanya dan alangkah malunya aku saat beliau memberitahuku tentang hakikat poligami.Aku, manusia serakah yang menggunakan kata poligami sebagai kedok untuk menutupi nafsu. Menikahi lagi secara diam-diam di belakang istriku, memang diperbolehkan, tetapi tidak dianjurkan. Ada adab yang harus dikedepankan untuk menghargai perasaan istriku.Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim.Penggalan surat
Extra Part"Kamu yakin, kita akan datang ke sana? Kalau itu hanya akan membuatmu tidak nyaman, sebaiknya jangan. Abang tidak ingin menyakiti perasaanmu lagi," ujarku pada Hana.Saat ini kami berada di kamar, sama-sama berbaring dengan saling berhadapan. Pilow talk, hal yang sering kami lakukan semenjak menikah kembali."Hana yakin. Abang tidak usah khawatir, saat ini sudah tidak ada lagi rasa sakit di hati ini. Hana sudah ikhlas dan mengubur kejadian masa lalu. Bukankah kita sudah sepakat untuk membuka lembaran baru?" terangnya. Kuelus pipinya dengan penuh sayang. "Tapi dengan menemui dia, sama saja kembali menguak masa lalu yang telah kita kubur."Hana tersenyum. "Abang tega mengabaikan permintaan orang yang sedang sakit keras? Kita datang ke sana atas dasar kemanusiaan. Setidaknya dengan menengok dan mengunjungi dia, menambah pahala bagi kita. Bukankah begitu?""Kamu selalu berhasil membuat Abang kagum. Abang beruntung bisa memilikimu kembali. Abang tidak akan pernah bosan mengucap
"Hallo."[Benar ini dengan Bapak Ibra Hardiansyah, orang tua dari Farel Hardiansyah?]"Betul, dengan saya sendiri. Ada apa ya, Bu?"[Farel membuat ulah lagi, Pak. Dia berkelahi dengan murid lain di sini. Saya harap Bapak bisa meluangkan waktu untuk datang ke sekolah. Karena kondisi murid yang dipukuli Farel cukup parah.]"Baik, Bu. Saya akan segera ke sana."[Terima kasih, Pak. Selamat siang.]Kuhela napas dengan kasar. Kupijat kening yang terasa pening setelah mendengar laporan dan panggilan dari sekolah untuk yang kesekian kalinya.Farel Hardiansyah. Putra sulungku bersama Farhana, wanita yang sudah membersamai selama tujuh belas tahun. Wanita yang sudah memberiku dua orang anak, Farel si sulung yang kini duduk di bangku kelas 3 SMP dan Azkia si bungsu yang saat ini berusia tujuh tahun.Hana, wanita shaliha berwajah ayu nan teduh. Selalu menjadi penenang dikala gundah menyapa. Usapan tangan lembutnya mampu membiusku hingga diri ini kembali tenang. Hana, seorang istri yang sempurna.
"Bang ... mari kita berpisah."Sontak saja pelukan ini aku lepas. Kubalikkan tubuh Hana hingga kini posisi kami berhadapan. Hatiku mencelos ketika melihat wajahnya sudah bersimbah air mata. Sikapku yang memang sudah sangat keterlaluan, telah melukai hati Farhana begitu dalam."Jangan katakan itu. Abang minta maaf jika selama ini terlalu sering mengabaikan kalian. Abang janji mulai hari ini akan lebih banyak meluangkan waktu untuk kamu dan anak-anak." Kali ini aku bersungguh-sungguh. Kejadian yang menimpa Kia menjadi tamparan keras untukku yang lebih condong kepada Rani. Akan tetapi, sampai saat ini aku belum bisa berkata jujur kepada Hana tentang keberadaan Rani yang hadir di antara kami. Entah sampai kapan aku akan menyembunyikan bangkai ini dari istri pertamaku."Abang tidak perlu berjanji. Keputusan Hana sudah bulat, kita akan tetap berpisah."Dia tetap pada pendirian. Kucoba meraih tubuhnya untuk didekap, tetapi Hana beringsut mundur menjauhiku membuat diri ini gusar dibuatnya."K
Hari itu adalah hari terakhir di mana aku bertemu dan bercakap dengan Hana. Sempat kuberi ancaman supaya dia mengurungkan niat, tetapi sama sekali tidak mempan. Aku meminta hak asuh Farel dan Kia jatuh ke tanganku. Namun lagi-lagi, wajah Hana yang memelas membuat diri ini tidak tega untuk memisahkan dia dengan anak-anak kami. Akhirnya kesepakatan kami ambil. Hana aku perbolehkan membawa Kia sedangkan Farel tetap tinggal denganku dan juga Rani. Dengan berat hati ia pun menyetujui. Aku tahu diri ini terlalu jahat dan egois. Namun mau bagaimana lagi? Sama halnya dengan Hana, aku pun tidak sanggup jika harus berpisah dengan Farel mau pun Kia. Kini dua tahun telah berlalu semenjak kepergian Hana. Rumah tangga bersama Rani yang kukira akan dipenuhi kebahagiaan nyatanya malah terasa hambar. Ditambah sikap Farel yang semakin menjadi pembangkang, menambah penyesalan diri atas kehilangan sosok Farhana.Aku sadar anak itu hanya ingin meluapkan rasa kecewanya padaku. Ia pun kecewa dengan Hana y