Demi mendapat maaf dari Farel, akhirnya aku menyewa orang suruhan untuk mencari Hana dan juga Kia. Putraku mulai bisa tersenyum ketika aku memberitahunya tentang hal ini. Perlahan sikap Farel mulai melunak, bahkan sudah mau makan satu meja dengan kami, hal yang tidak pernah ia lakukan semenjak Rani tinggal di rumah ini."Makan yang banyak, Nak," ucapku sambil mengusap rambutnya. Farel tidak menolak, membuat senyum bahagia terbit dari bibir ini."Bunda ambilkan lauknya, ya. Farel mau apa? Ayam?" Rani pun ikut menawarkan diri, tetapi sayang respon yang diberikan Farel terhadapnya berbeda."Tidak usah, aku bisa sendiri," ketusnya.Riak sendu tercetak dari wajah cantik itu. Kuusap tangannya dengan lembut, memberi kekuatan padanya agar tidak bersedih atas sikap putraku. Aku tahu kerasnya usaha Rani untuk mendekatkan diri pada Farel. Akan tetapi, anak itu membangun dinding kokoh yang tidak bisa Rani tembus. Bagi Farel, bundanya hanya satu yaitu Hana, meskipun kini Rani sudah menjadi ibu sam
Tiba di rumah sakit, aku langsung menuju ruang IGD setelah mendapatkan keterangan dari seorang perawat. Kaki ini melangkah dengan tergesa bersama rasa cemas yang menyelimuti hati. Mendengar kabar Farel kecelakaan, membuatku sontak menyalahkan diri sendiri. Sebagai seorang Ayah, aku tidak becus menjaga putra sulungku. Apa yang harus aku katakan pada Hana andai dia berada di sini. Mantan istriku pasti merasa kecewa karena aku yang meminta Farel ikut denganku, tetapi kenyataannya akulah penyebab segala kesakitan anak itu.Tiba di depan ruang IGD, salah satu teman Farel yang sering datang ke rumah sedang berdiri bersama seorang Dokter. Gegas kupercepat langkah menghampiri mereka yang sedang terlibat pembicaraan."Bagaimana keadaan Farel?" tanyaku dengan napas yang tersengal. "Anda ayahnya?""Iya.""Farel mengalami retak di tulang lengannya. Untuk bagian tubuh yang lain bisa dikatakan baik-baik saja, hanya terdapat luka ringan. Tapi tetap dia harus menjalani perawatan di sini untuk bebera
"Kok sudah pulang, Bang? Farel sama siapa?""Abang pulang dulu sebentar, cuma mau mandi. Abang titipkan dia sama Suster di sana. Kamu gak keberatan, kan kalau Abang tinggal lagi?""Aku gak papa kok, Bang. Farel, kan sedang butuh Abang." Rani tersenyum. Bisa kurasakan ketulusan dari setiap kata yang ia ucapkan. Aku terharu. Ternyata istriku mau memaklumi keadaan yang mengharuskan diri ini mengutamakan putraku."Maaf ya, Bang. Rani tidak bisa menjadi ibu sambung yang baik buat Farel. Andai dia tidak keberatan, Rani ingin menemani dia di rumah sakit. Tapi Rani tahu pasti Farel tidak mengharapkan kehadiran Rani," keluhnya. "Jangan bicara seperti itu, Sayang. Kamu sudah berusaha menjadi ibu yang baik untuk Farel. Hanya saja dia masih belum bisa menerima keadaan Abang yang sudah berpisah dengan bundanya. Kamu yang sabar, ya." kataku seraya mengelus pipinya. Rani berusaha tersenyum dan mengangguk meskipun sangat kentara ia paksakan."Abang mandi dulu, ya. Harus cepat ke sana lagi. Kasian Fa
Sudah setengah hari Farel pergi dari rumah dan aku belum mendapat informasi lagi dari orang suruhan. Anak itu benar-benar nekat. Ia sampai berani membohongiku demi bisa keluar dari rumah ini. Aku yakin dia pergi untuk mencari keberadaan bundanya. Rasa gelisah membuat diri ini tidak bisa duduk dengan tenang. Apa lagi setelah orang suruhanku akhirnya memberi informasi kalau mereka kehilangan jejak Farel. Sepertinya anak itu sadar jika sedang diikuti. Farel cukup jeli dan pintar dalam mengecoh mereka."Gimana, Mas? Sudah diketahui ke mana tujuan Farel?" Rani datang sambil membawakan segelas teh hangat untukku."Mereka kehilangan jejak. Sepertinya anak itu tahu kalau sedang diikuti," terangku seraya memijat kening yang terasa pusing. Memikirkan Farel dan segala ulahnya membuat diri ini harus ekstra menjaga kesabaran."Apa mungkin dia mencari Mbak Hana?""Sepertinya iya. Dia tidak bisa sabar padahal Abang juga sedang berusaha mencari keberadaan bundanya.""Abang mencari Mbak Hana?" Pertan
Telaga bening di mata ini satu per satu mulai luruh. Melihat interaksi mereka yang begitu akrab, terlihat saling menyayangi layaknya saudara. Seketika perasaan iri merambati hati. Ingin rasanya aku berada di sana, di antara mereka yang saling becanda tawa.Farel terlihat sangat ceria sambil sesekali menggoda Kia dan bocah kecil yang entah siapa. Tawanya begitu lepas, sangat berbeda saat ia berada di rumah bersamaku. Kia ... putri kecilku kini tubuhnya semakin tinggi. Hana begitu pandai mengurusnya hingga Kia tumbuh menjadi gadis kecil yang semakin cantik dan sopan. Bisa dilihat dari penampilan anak itu yang kini memakai jilbab seperti bundanya.Kia ... ini Ayah, Nak. Adakah Kia mengingat dan merindukan Ayah? Andai kondisinya memungkinkan. Ingin kurengkuh tubuh mungil itu dalam dekapan. Menghujaninya dengan ciuman untuk meluapkan rindu yang selama ini tertahan.Namun, hal itu hanya ada dalam angan semata. Diri ini tidak cukup bernyali untuk menemui mereka setelah apa yang aku lakukan
"Gimana? Abang jadi ngikutin Farel? Kenapa jam segini baru pulang?" Rani mencecarku dengan pertanyaan ketika diri ini baru saja sampai rumah. Jam memang sudah menunjukkan pukul satu malam. Aku kira Rani tidak sudah tidur, ternyata ia masih menungguku di ruang tamu."Abang memang ngikutin dia.""Terus? Dia ke mana? Nyari Mbak Hana? Abang juga ketemu dia, dong," cecarnya lagi yang membuat kepalaku semakin pusing.Tak ingin terjadi pertengkaran, aku beranjak meninggalkan Rani. Namun, istriku itu tak menyerah sebelum rasa penasarannya terjawab. Rani mengikutiku ke kamar sambil terus mencecarku dengan pertanyaan."Kenapa Abang gak jawab pertanyaan aku? Abang ketemu Mbak Hana terus kalian bernostalgia sampai Abang pulang selarut ini?""Bisa gak sih kamu diam!" bentakku. "Abang ini cape, Ran. Baru saja sampai tapi kamu malah terus bertanya macam-macam, pake acara curiga lagi. Ya, Abang memang mengikuti Farel yang ternyata menemui Hana. Tapi Abang sama sekali tidak menemui mereka apa lagi mel
"Abang."Tubuh ini berdiri, bergerak mendekati mereka yang masih bergeming. Pandangan mata tak lepas dari Hana yang tengah berusaha menyembunyikan tangisnya. Dengan gerak cepat, tangan itu menghapus jejak air mata yang sempat keluar dari netranya."Apa kabar, Han?" Bibirku bergetar saat mengucapkannya. Hana memaksakan seulas senyum padaku sebelum menjawab, "alhamdullillah baik. Abang sendiri bagaimana?""Abang tidak baik-baik saja tanpa kalian." Ingin rasanya kuucapkan kata itu, tetapi sayang hanya mampu tertahan di tenggorokan."Alhamdullillah, Abang juga baik." Mata ini beralih pada Kia yang kini memegang ujung baju bundanya. Netra bening itu mulai menelaga. Bibirnya bergetar menahan tangis yang sebentar lagi siap keluar."Kia, ini Ayah, Nak. Sini peluk Ayah. Kia gak kangen?"Gadis kecilku menengadah, menatap bundanya seakan meminta persetujuan. Hana menganggukkan kepala sambil tersenyum. "Itu Ayah sekarang sudah datang. Kenapa gak peluk Ayah? Katanya Kia kangen.""Sini, Nak."Gad
Permintaan Rani sangat berat untuk kukabulkan. Mempertemukan dia dengan Hana tidak pernah terlintas dalam pikiran ini sedikit pun. Membiarkan mereka berjumpa sama saja menguak luka lama yang dirasakan Hana. Bertemu wanita yang telah menyebabkan hancurnya mahligai rumah tangga kami, pasti akan mengingatkan Hana akan pengkhianatan yang telah kami lakukan.Namun, diri ini tidak bisa menolak ketika Rani memiliki niat baik kepada Hana. Istriku ingin meminta maaf secara langsung atas apa yang telah ia lakukan. Mungkin sudah saatnya kami semua berdamai dengan keadaan. Semoga saja Hana menerima permintaan maaf dari Rani dan mengizinkan jika sewaktu-waktu kami menemui anak-anak dan membawa mereka ke rumah ini, rumah yang seharusnya menjadi hak mereka.Hari minggu waktu yang dipilih kami untuk berangkat ke Bandung. Bukan tanpa alasan, karena aku tahu Hana libur berjualan pada hari itu. Farel sudah lebih dulu berangkat ke sana seperti biasa. Dia masih belum tahu kalau aku sudah bertemu dengan bu