MasukTidak ada kata apapun yang keluar dari mulut Ayla, hanya desahan dan nafas berat yang silih berganti.“Nghh… hah, hah”Adrian tersenyum puas melihat itu, aku tahu, kamu gak akan sanggup menahan sentuhanku sayang, begitu pikirnya sebelum dia kembali menghisap kulit putih payudara Ayla hingga meninggalkan bekas kemerahan, “slurp, pc… mmm..”Adrian mulai kembali menghisap satu pucuk payudara Ayla, masih satu payudara yang tadi, belum bergantian, payudara yang lainnya masih terus dipilin perlahan.“Ssh… aahh.. mmm.. slurp, pc.. slurp…, pc, aku lapar Ay…” katanya lanjut menaikan tempo hisapan, jilatan dan pilinannya. “Mmm… nghh… ahhh, Ad,” nafasnya sudah tidak beraturan, ia semakin merasakan sensasi basah di bawahnya, tapi dia tidak peduli, rasa ini… terlalu memabukan.“Iya sayang… mmh.. slurp… pc, slurp.. pc, cp cp cp cp..”Adrian mulai berpindah ke payudara yang satunya lagi, dan melakukan hal yang sama di sana, sementara tangan satunya kembali aktif memilin pucuk payudara satunya yang
“Nghh..” desah Ayla dengan tubuh yang mulai bergerak gelisah karena sensasi jari dan tangan Adrian yang terus bermain di pucuk payudaranya.“Lihatkan? Tubuhmu ingin lebih sayang.” “Mmm..” kepala Ayla masih menggeleng tapi jelas ekspresi nya menahan nikmatnya sensasi yang sudah lama ia rindukan juga.Bahkan kini mulai muncul pikiran untuk melepaskan bra-nya sendiri, tapi nggak, gak boleh Ay… begitu emosi dan logikanya berdebat.Adrian mencium kembali bibir Ayla, membuat Ayla melepaskan gigitan pada bibir bawahnya sendiri, dan mulai mengikuti ritme ciuman Adrian.Adrian Masih bermain di atas bra tipis itu, kadang diremas satu satu, atau ditarik pucuknya, atau dilebarkan tangannya hingga menekan kedua pucuknya seperti tadi.“Nghh…” “Mmm…”Desahan dan cecapan terdengar silih bergantian. Sepertinya logika Ayla juga mulai kalah, dia tidak menunjukan perlawanan apapun kali ini. Gelengan kepalanya sudah hilang, tangannya sudah melingkar kembali di leher Adrian.“Cpcpcp… nghh”Ditengah itu
Perlahan Adrian mendekatkan bibirnya ke bibir Ayla, dengan lembut dia meraup bibir itu, mencium, merasakan rasa yang sudah sangat dia rindukan. “Mmh…” kepala Ayla menggeleng, seperti ingin menolak, tapi bibirnya justru merespons.Bangun, Ayla… ingat Reya… suaranya di dalam kepala begitu lirih.Saat Adrian mulai menjelajah setiap sudut bibirnya lalu masuk lebih dalam, menghisap lidahnya lembut namun intens, Logika Ayla seolah hilang dalam sekejap.“Mmmh…” tangan Ayla terangkat, bukannya mendorong tapi melingkarkannya di leher Adrian.Adrian tersenyum di antara napas mereka yang berpadu, mereka saling berpagutan, meluapkan rasa yang sudah tertahan terlalu lama.Suara lembab basah pelan memenuhi ruangan itu, “Hhh…” napas Ayla terpecah, menahan antara sadar dan hanyut, sementara Adrian hanya menunduk lebih dalam, membiarkan dunia di sekitarnya lenyap.Ketika akhirnya mereka berpisah hanya untuk mencari udara, napas mereka sama-sama berat.“Ay…” suara Adrian serak, nyaris seperti desah
Pertanyaan itu menghujam dada Ayla, membuat seluruh tubuhnya menegang, Matanya membesar terkejut namun juga menyimpan rahasia dan luka.Aku… nggak pernah ingin pergi, Adrian.Tenggorokannya kering, lidah kelu. Ia hanya bisa menatap mata abu-abu itu yang dulu rumahnya, kini menelanjangi dan merenggut logikanya.“Jawab Ayla.” Katanya rendah tapi tegas.Ayla memejamkan mata sesaat, menghembuskan napas berat.Tapi… kamu tidak boleh tahu, Ad.“Aku hanya harus pergi, Ad. Nothing special about it.”Adrian tertawa pendek, penuh getir.“Heh. Nothing special?” Ia menatap tajam. “Maksudmu… kamu pergi begitu saja, cuma karena kamu mau pergi? Heh?”Genggaman tangannya menguat, sementara tangan Ayla yang tadi sempat menolak kini mulai kehilangan daya.“Jangan harap bisa lepas begitu mudah.” katanya dingin.“Adrian, lepas! Aku harus pergi. Sekarang.”Tangan Ayla berusaha melepaskan diri, namun Adrian justru menariknya lebih dekat.Jarak di antara mereka lenyap, dada mereka bersentuhan. Satu tangan A
Ruang rapat Grady Group terasa lebih sunyi dibanding pagi hari. Hanya suara lembar kontrak yang dibuka dan jarum jam yang bergerak pelan. “Silahkan dibaca dulu kontraknya, Bu Ayla.” kata Lucas.Adrian duduk tegak di ujung meja, mata abu-abunya menatap Ayla yang sedang membaca kontrak dengan seksama. Ay… Ada keinginan untuk tersenyum ketika melihat Ayla begitu serius, bibirnya sedikit manyun, kebiasaan kecil yang selalu muncul saat ia benar-benar fokus. Tapi ia cepat menahan diri.“Pastikan semuanya jelas sebelum kita tandatangani,” Adrian berkata datar, namun nada tegasnya membuat Ayla menahan nafas sejenak.Ayla menunduk, mata fokus pada lembar demi lembar kontrak.“Gimana menurutmu San?”Santi yang duduk di samping Ayla ikut membaca kontrak itu. Meski gugup merasakan ketegangan yang memenuhi ruangan, ia berusaha tetap tenang.“Menurut saya, semuanya sudah bagus Bu… kontraknya normal, menguntungkan kedua pihak.”Ayla mengangguk setuju.“Tapi poin ini Bu….”Ayla melihat kemana tanga
Apartemen Adrian sunyi, hanya detak jam dinding yang menemani kesepiannya. Adrian duduk di sofa, tatapannya kosong menembus jendela. Gelas bourbon di tangannya dibiarkan tak tersentuh, asap rokok membentuk lingkaran tipis di udara.Matt masuk setelah dipanggil, meletakkan kantong kopi di meja dengan santai. "Wah... ada hal penting nih kayaknya," komentarnya, memperhatikan asap rokok yang melingkari Adrian. "Merokok? Tanda bahaya dan seru... haha."Adrian menoleh sekilas. "Revan.""Siapa dia?" Matt mencoba mengingat. "Jangan-jangan, cowok yang makan bareng Ayla itu?"Adrian mengangguk singkat. "Selidiki dia. Semua tentang dia. Gue nggak peduli dia klien atau apapun itu. Gue nggak suka caranya dia ngeliatin Ayla."Matt mendengus, bersandar di meja. "Lo bahkan belum tahu apa-apa tentang dia. Cuma insting lo aja yang main."Adrian mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya setajam pisau. "Insting gue jarang salah, Matt. Gue nggak akan biarin Ayla deket sama orang yang mencurigakan. Cari tah







