로그인Empat tahun lalu, Ayla pergi tanpa pamit. Kini ia kembali—bukan untuk memohon maaf, tapi untuk berdiri tepat di hadapan pria yang hatinya pernah ia hancurkan. Adrian Grady belum lupa. Tidak tentang tatapan itu. Tidak tentang luka yang ditinggalkan tanpa kata. Mereka terikat dalam proyek yang tak bisa dihindari. Dingin di meja kerja. Panas dalam tatap mata. Tapi di antara separuh dendam dan separuh rindu, ada satu rahasia yang terlalu besar untuk tetap terkubur. Dan jika terbongkar, bisa membuat keduanya hancur… atau tak bisa saling melepaskan lagi.
더 보기Ruang rapat Grady Group terasa dingin. AC menyala kencang, namun dinginnya kalah dibanding aura Tuan Adrian Grady. Ia berdiri di ujung meja panjang, mata abu-abu gelap menusuk setiap orang di ruangan itu, terutama satu yang membuat darahnya bergejolak: Ayla Virella.
Detik itu, waktu terasa berhenti. Adrian menatap Ayla—mata cokelat terang, rambut hitam panjang, wajah oval—tanpa senyum, tanpa kelembutan. Hanya tatapan tajam, dingin, dan menusuk. Jantungnya berdetak cepat, tapi ia menahan semua emosi yang bisa terlihat. Peserta rapat bergeser sedikit, merasakan hawa tegang yang lebih dingin daripada AC. Bisik-bisik terdengar: “Dingin… seluruh ruangan terasa beku.” “Biasanya memang dingin, tapi kali ini… menusuk sampai ke tulang.” “Bagaimana Nona Ayla bisa tetap tenang di hadapan itu?” “AC kalah… aura Pak Adrian lebih tajam daripada biasanya.” “Dia menatap seolah bisa membaca pikiran Ayla.” Adrian membuka rapat dengan nada rendah, berat, seperti kapak menebas udara: “Jadi… ini proposalmu, Nona Ayla?” Ayla menatapnya, tetap tegak, menahan diri. Ia ingin menjawab, namun tatapan itu menusuk seperti es. Dan pertanyaan bertubi-tubi pun dimulai. Tanpa jeda, tanpa memberi ruang untuk jawaban: “Nona Ayla… target ini realistis?” “Anggaran ini… sudah dianalisis?” “Strategi tim… siap dieksekusi?” Setiap kata Adrian seperti pedang es. Ayla membuka mulut beberapa kali untuk menjawab, tapi pertanyaan berikutnya langsung menenggelamkan suaranya. Ia menahan napas, meneguhkan diri. Mata Adrian tidak berpindah sedikit pun, menatap lurus ke matanya. Ayla sempat goyah, ingin menunduk, ingin mengalihkan pandangan, tapi ia menahan diri. Ini profesional Ayla. Ia menatap Adrian, menahan detak jantung yang hampir melonjak. Beberapa kali ia membuka mulut, hendak menjawab, tapi kata-kata terhenti di tenggorokan. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan frustrasi, dan tetap menatap layar laptopnya, mencatat setiap celah di kepalanya. Peserta rapat menahan napas, beberapa menunduk, beberapa saling bertukar pandang. Bisik-bisik terdengar: “Pak Adrian… ini lebih menusuk dari biasanya.” “Bagaimana Nona Ayla bisa tetap tenang di hadapan semua pertanyaan itu?” “AC kalah… udara tegang ini luar biasa.” “Aku tak tahu berapa lama dia bisa bertahan.” “Dia hampir tak punya kesempatan untuk bicara.” “Lihat tatapannya… menakutkan sekaligus mengagumkan.” Flashback Adrian Empat tahun lalu, pulang dari luar negeri, Adrian berharap melihat Ayla di apartemen seperti biasa. Tapi apartemen kosong. Barang-barangnya masih di tempat semula, tapi Ayla tidak ada sama sekali. Teleponnya tak diangkat, pesan belum dibalas. Ia memeriksa setiap sudut apartemen, memanggil namanya, tapi tidak ada jawaban. Panik berubah menjadi kemarahan. Adrian mengingat tawa Ayla di dapur, aroma kopi yang ia buat sendiri, rambut yang jatuh di bahu saat tersenyum. Semua hilang. Tidak ada satu pun tanda akan kembali. Tiada pesan, tiada catatan. Ia merasa dikhianati, ditinggalkan, tapi tidak memahami alasannya. Bara kemarahan bercampur rindu yang membeku di dada. Ia mengingat mencari petunjuk: apartemen kosong, laci rapi, buku-buku di tempatnya. Tidak ada catatan, tidak ada pesan. Hatinya seperti teriris, tapi ia menolak terlihat lemah. Setiap malam ia mengulang pertanyaan itu: “Kenapa dia pergi begitu saja?” Kembali ke rapat Adrian menyalurkan kemarahan dan frustrasinya lewat pertanyaan bertubi-tubi. Tidak ada senyum, tidak ada empati—hanya pedang es yang menusuk, membuat seluruh ruang rapat beku. Ayla hanya mendengarkan, menahan diri, menunggu kesempatan yang tak datang hingga Adrian berhenti. Diam. Ruang rapat terasa hening sejenak. Lampu lampu memantul di meja kaca, mencerminkan ketegangan yang menebal. Adrian menatap Ayla, tetap tajam, menunggu reaksi. Akhirnya Ayla membuka mulutnya, suara tenang dan profesional: “Sudah, Tuan Adrian? Jika tidak ada pertanyaan lagi, saya akan jelaskan.” Seluruh ruangan seakan bernapas lagi. Beberapa peserta menghela napas lega, sebagian lain menatap kagum. Ada yang menulis cepat catatan, ada yang memiringkan kepala mencoba memahami ketegangan yang baru saja pecah. Bisik-bisik terdengar: “Dia benar-benar tenang… luar biasa.” “Bagaimana mungkin setelah semua pertanyaan itu, dia tetap fokus?” “Profesionalisme level tinggi.” Adrian menatap Ayla dengan mata yang sulit dibaca, mengamati setiap gerak, setiap gestur, dan nada suaranya. Sialnya dia tetap tenang, elegan, profesional—tidak satu pun retakan terlihat. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seakan menantang keteguhan Adrian, membuatnya merasa tercekik oleh ketenangan itu. Ayla mulai menjelaskan, satu per satu, jawaban untuk setiap pertanyaan yang sebelumnya terhenti: “Target realistis, Tuan Adrian,” ucap Ayla sambil menunjuk grafik. “Data tim internal mendukung. Risiko utama sudah diidentifikasi.” Adrian mengerutkan dahi, kesal karena ketenangan Ayla tidak goyah meski ia serang bertubi-tubi. Ia merasakan frustrasi, detak jantungnya meningkat, namun ia tetap menahan diri, menatap lurus ke matanya. “Anggaran sudah dianalisis, asumsi dikonfirmasi data historis,” Ayla melanjutkan sambil gestur halus menekankan angka-angka di slide. Adrian menahan napas sejenak, sialnya… ketenangan Ayla membuatnya semakin kesal. seolah ingin merobek sikap profesionalisme itu tapi menahan diri, dia cuma mengeraskan rahangnya diam-diam. “Strategi tim siap dieksekusi sesuai timeline,” Ayla menambahkan sambil menggerakkan pointer ke pencapaian tiap departemen. “pencapaian tiap departemen dipantau ketat, siap jika ada kendala.” Peserta rapat mendengarkan, beberapa mengangguk, beberapa saling bertukar pandang kagum. Bisik-bisik terdengar: “Tidak mudah menghadapi pertanyaan Pak Adrian, tapi Nona Ayla… hebat.” “Ini tegang, tapi dia bisa menahan diri dan menjawab dengan jelas.” “Lihat tatapan Adrian… masih dingin, tapi aku yakin dia terkejut dengan ketenangan Ayla.” Saat semua jawaban selesai, Adrian tetap berdiri, dingin, tatapannya menusuk. Tidak ada senyum, tidak ada kelembutan, hanya pedang es yang menahan Ayla. Ia menahan diri, menahan rasa kagum yang enggan ia akui. Ayla menutup laptopnya, menatap dari kursi, tetap profesional, senyum samar tertahan, bukan kelembutan, tapi tantangan yang siap mereka hadapi di babak berikutnya. Adrian menghela napas tipis, matanya menatap lurus tanpa memberi ruang untuk berdebat. Suaranya tenang, tapi keras dinginnya menusuk seperti bilah es. “Tim kami akan meninjau ulang materi ini. Kalau ide kalian memang memenuhi standar saya, kalian akan mendapat kabar seminggu dari sekarang untuk melanjutkan ke tahap kontrak. Kalau tidak…” ia berhenti sejenak, senyumnya tipis, tajam, “…anggap saja ini pertemuan terakhir kita.” Seluruh ruang rapat perlahan kembali bernapas normal, tapi sisa ketegangan masih terasa di udara, seolah beku di setiap sudut ruangan.Pintu kantor Adrian tertutup rapat, meninggalkan ruangan sunyi. Di meja, selembar kertas lusuh tergeletak, cek yang baru ia terima. Adrian menatapnya lama, jari-jari menekuk tepi kertas, nafasnya pelan tapi tegang.“Cek… sebuah cek” gumamnya, suara berat namun terkendali.Lucas masuk, langkah ringan tapi sigap.“Boss, semuanya oke kan?”Matt muncul di belakang, menatap cek di tangan Adrian.“Lo oke? Papa Lo ngapain?”“Ini… dia ngasih ini…”Matt mengambil kertas itu, meneliti setiap sudut.“Cek… pengirim Alaric Grady, penerima Ayla Virella. Tanda tangan terlihat asli, kertas lusuh, tanggal diterima empat tahun lalu.”“Menurut kalian… ini asli atau palsu?” suara Adrian rendah tapi menuntut jawaban.“Ini terlihat asli, Ad.”Adrian menelan ludah, tatapannya kosong sejenak.“Tapi terlihat asli nggak berarti nggak bisa dimanipulasi,” Matt menambahkan, nada seperti tertantang untuk membedah lebih jauh cek itu.Adrian menarik napas panjang, jarinya mengetuk meja perlahan, seolah mencoba menen
“Bu Ayla!” Santi langsung berseru saat melihat Ayla keluar dari ruangan Adrian.“Ya Tuhan… akhirnya ibu keluar juga.. haah” katanya seperti bernafas lega.Ia mempercepat langkah, mencoba menyamai tempo Ayla.“Aku dag-dig-dug nungguin ibu tahu... Kita kan ada janji makan sia—”“Aku ke toilet dulu, San.”Jawab Ayla datar, tanpa menoleh.Gedung Grady Group bukan ruang asing baginya, ia pernah hidup bertahun-tahun di dalam ritme kantor ini. Beberapa sudut berubah, tapi memorinya belum lapuk.Begitu masuk toilet, Ayla menaruh tas di atas wastafel lalu membasuh tangan. Air dingin tak cukup menenangkan denyut jantungnya.Deg… deg… deg.“Hahh… hhh…”Ia mengatur napas, memaksa dirinya kembali waras.“Tenang, Ayla. Tenang…”Tapi begitu ia menunduk, kilasan bibir dan tangan Adrian yang bermain di tubuhnya kembali menghantam kesadarannya.“Ugh… Ayla!”Lalu kata-kata Adrian bergema di pikirannya “kamu bahkan mencapai nipple orgasme”“OH.. my.. God ..” momen saat dia mencapai nipple orgasme itu kem
Adrian belum melepaskan hisapannya, sementara Ayla masih terengah-engah setelah merasakan sensasi yang begitu luar biasa untuk pertama kalinya.“Slurp…. Pc.. cp cp..”“Hah.. hah.. hah..”Tidak pernah dia merasakan sensasi ini bahkan dulu saat bersama Adrian, nipple orgasme tidak pernah tubuhnya berikan. “Plok..” akhirnya Adrian melepaskan hisapannya.Adrian memandang wajah Ayla yang masih Sayu dan terengah itu, jelas ada senyum kepuasan di wajah Adrian, “heh… so.. beautiful” gumamnya.“Kayaknya setelah 4 tahun, tubuhmu jadi lebih sensitif Ay,” sambungnya sambil tangannya kembali meremas penuh kedua payudara Ayla.Ayla tidak bisa menjawab, ia sendiri juga bingung dengan apa yang dilalui nya, apakah dirinya begitu merindukan sentuhan Adrian, hingga tubuhnya kewalahan menerima semua sentuhannya? Entah Ayla pun tidak tahu.“Cup…” Adrian kembali mencium bibir Ayla, lembut, penuh rindu dan ketulusan.“Mmm… cpcpcp” Ayla membalas ciumannya, membiarkan dirinya menikmati momen yang jujur sanga
Tidak ada kata apapun yang keluar dari mulut Ayla, hanya desahan dan nafas berat yang silih berganti.“Nghh… hah, hah”Adrian tersenyum puas melihat itu, aku tahu, kamu gak akan sanggup menahan sentuhanku sayang, begitu pikirnya sebelum dia kembali menghisap kulit putih payudara Ayla hingga meninggalkan bekas kemerahan, “slurp, pc… mmm..”Adrian mulai kembali menghisap satu pucuk payudara Ayla, masih satu payudara yang tadi, belum bergantian, payudara yang lainnya masih terus dipilin perlahan.“Ssh… aahh.. mmm.. slurp, pc.. slurp…, pc, aku lapar Ay…” katanya lanjut menaikan tempo hisapan, jilatan dan pilinannya. “Mmm… nghh… ahhh, Ad,” nafasnya sudah tidak beraturan, ia semakin merasakan sensasi basah di bawahnya, tapi dia tidak peduli, rasa ini… terlalu memabukan.“Iya sayang… mmh.. slurp… pc, slurp.. pc, cp cp cp cp..”Adrian mulai berpindah ke payudara yang satunya lagi, dan melakukan hal yang sama di sana, sementara tangan satunya kembali aktif memilin pucuk payudara satunya yang






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.