Bab 23: Kutemukan Dia dan Dia Berkhianat Makan malam benar-benar aku yang buat dan hidangkan spesial untuk ibu mertuaku. Dengan bahan makanan apa adanya yang tersedia di kulkas, masakan sederhana itu pun berhasil siap di atas meja makan. Bu Rini kulihat begitu senang dengan hasil karyaku malam ini. Berkali-kali dia memujiku. Padahal, hanya tempe goreng, sayur bening, dan telur dadar yang kubuat untuknya. Masyaallah, beliau memang mertua yang selalu memuji dan tak pernah meremehkan apalagi julid kepada mantunya sendiri. Selesai makan malam, Bu Rini lalu mengajakku untuk salat Isya berjamaah terlebih dahulu. Aku menurut. Kata mertuaku, biar kami lebih tenang kalau pergi-pergi. Meninggalkan rumah dalam keadaan sudah salat adalah sebuah kelegaan tersendiri. Begitu ujarnya. Habis salat, Bu Rini hanya zikir sebentar saja. Dia tidak mengaji, karena aku tahu kami harus buru-buru mendatangi rumah Mas Refal. Takutnya kemalaman di jalan. Apalagi jarak te
Bagian 24: Matilah Kalian!Flash ponsel kunyalakan. Kini, di tengah kamar yang remang-remang tanpa pencahayaan kecuali lampu flash ponsel serta cahaya dari lorong di depan kamarku, tampak jelas dua insan biadab tengah bercinta tanpa seutas busana pun. Navita berada di atas tubuh polos suamiku. Keduanya tampak sama-sama syok saat aku dan Bu Rini berhasil memergoki mereka. “Refal! Astaghfirullah! Apa yang kamu lakukan? Ya Allah!” Bu Rini berteriak histeris. Beliau sampai terduduk di atas lantai dengan tangisan yang pecah. “Apa-apaan kalian?” Mas Refal panik luar biasa. Tanpa sadar, dia mendorong tubuh Navita yang masih menempel di atas tubuhnya hingga perempuan itu terjatuh di kasur. Bisa kulihat dengan jelas persetubuhan haram tersebut telah terjadi di atas ranjang tidur kami. Lampu kamar pun kunyalakan, Mas Refal dan Navita sama-sama menyipitkan mata. Mereka berdua kalang kabut mencari pakaian demi menutupi tubuh telanjangnya tersebut. Sedangk
Bagian 25: Darah Lebih Kental Dari Air Benar saja, Mas Refal dan Navita akhirnya diarak oleh para warga komplek dengan berjalan kaki menuju rumahnya ketua RT yang berada di blok F. Aku dan Bu Rini tentu saja ikut serta. Bedanya, kami berdua naik motor. Aku yang membonceng mertuaku tersebut. Beliau dari tadi hanya bisa terisak-isak sambil memelukku dari belakang. Hati Bu Rini pasti hancur berkeping-keping. Di depan sana, arak-arakkan warga terlihat semakin ramai. Sorak sorai penduduk yang bahkan hanya menyaksikan dari teras rumah masing-masing pun terdengar begitu membahana. Komplek perumahan yang biasanya terasa begitu sunyi di malam hari sebab para penduduknya sibuk beraktifitasi di dalam rumah, kini berubah begitu ingar bingar. Semua kehebohan ini disebabkan tak lain dan tak bukan karena perzinahan Mas Refal bersama Navita. Siapa yang tak malu wajahnya jika sang suami bermain gila di depan mata kepala sendiri? Tentu aku sudah begitu malu den
Bagian 26: Maaf, Aku Lelah! “Ibu, aku minta maaf yang sebesar-besarnya. Keputusanku sudah bulat. Mungkin kedengarannya sangat kejam, tapi kami berdua sudah sepakat di depan notaris sebelum menikah, bahwa barang siapa yang berselingkuh, maka dialah yang akan keluar dari rumah tanpa membawa harta sekeping pun!” Aku tegas berucap. Tangisan Bu Rini sedikit pun tidak membuat hatiku luluh. Bukan tega atau kejam kepada orangtua, tetapi di sini aku yang tersakiti. Kupegang kedua bahu ibu mertuaku. Susah payah kubantu beliau untuk bangkit dari simpuhnya. Bu Rini masih saja pecah tangisan pilunya. Percuma, pikirku. Menangis sekencang apa pun ibu mertuaku, hal itu tak akan menjadi sebuah alasan bagiku untuk mengurungkan niat semula. Mas Refal harus mendapatkan ganjaran atas apa yang dia perbuat hari ini. “May … Ibu mohon,” pinta Bu Rini seraya memelukku kencang. Di hadapan banyak orang termasuk anaknya sendiri ya
Bagian 1: Suara Rintihan “Apa? Kamu tega nyuruh adikmu sendiri tinggal di kost-kostan? Maya, di mana perasaanmu? Kamu memang nggak pernah nganggap Navita itu sebagai adikmu!” Suara Bunda Lisa meninggi. Membuat gendang telingaku rasanya mau pecah. Refleks ponsel yang sempat menempel di telinga itu langsung kujauhkan. Sambil menghela napas panjang aku menjawab salah pahamnya ibu tiriku, “Bun, maaf. Bukan aku tega atau sampai tidak menganggap Navita adikku sendiri atau bagaimana. Bukan begitu—” “Lantas apa, May? Navita itu darah dagingmu sendiri! Kalian itu satu bapak! Sedarah! Apa yang membuatmu enggan menampung saudara sedarah sendiri di rumahmu? Adik satu-satumu itu mau kuliah dengan baik, apa kamu tidak khawatir kalau dia tinggal mengekost? Astaga! Kamu bikin hatiku sakit rasanya, May!” Bunda histeris di seberang sana. Membuatku jadi serba salah dan tidak enak hati. “Bun, begini. Aku kan, sudah menikah. Apalagi … aku dan Mas
Bagian 2: Ternyata …. “Maya!” Pekik jerit itu membuatku spontan membelalakan mata sebesar mungkin. Aku terbangun dari tidurku. Napasku terengah-engah seperti orang yang habis dikejar-kejar oleh anjing. Terasa juga olehku keringat sebesar bulir jagung membasahi dahi dan rambut hingga lembab. “Mas! Mas Refal!” Aku berteriak sambil menoleh ke sebelah kananku. Lelaki tinggi dengan rambut yang acak-acakan dan mata memerah itu merangkulku erat. Dia menatapku dengan tatapan yang bingung. “Kamu kenapa teriak-teriak begitu? Kamu tidur nggak baca doa, ya?” Mas Refal bertanya. Dia lalu menarik napas dalam dan berdecak. Aku masih saja terengah-engah. Kupeluk erat tubuh suamiku. Ternyata semua yang kudengar tadi hanyalah mimpi buruk belaka. Ya Allah … tapi kenapa seperti nyata sekali, ya? Bahkan, aku masih ingat betul dengan nada maupun isi kalimat mereka berdua tadi. “A-aku … mimpi kamu selingkuh sama adikku
Bagian 3: Caper “Refal, Ayah bangga sama kamu. Kariermu bagus sekali. Sudah karyawan tetap di bank BUMN. Ayah doakan, semoga kelak Refal bisa jadi kepala cabang seperti Ayah dulu, ya. Kalau ingat masa-masa itu, rasanya indah sekali.” Ayah menatap langit-langit. Beliau berbicara seolah tengah mengenang masa kejayaannya. Ya, Ayah memang sudah pensiun tiga tahun yang lalu. Setelah pensiun, uang pesangonnya langsung Bunda gunakan untuk kami berangkat umroh sekeluarga. Aku, Ayah, Bunda, Navita, nenek dan kakek dari pihak Bunda, bahkan kedua adik-adiknya Bunda yang sudah punya suami. Bayangkan, betapa besarnya biaya yang digelontorkan saat itu! Dulu, aku ingin sekali memberikan masukan agar uang pesangon Ayah disimpan saja untuk biaya pendidikan adikku yang kala itu baru masuk SMA. Akan tetapi, aku tidak punya keberanian lebih karena aku paham betul bahwa aku hanyalah seorang anak yang tidak perlu banyak ikut campur urusan orangtua. Makanya, seka
Bagian 4: Kena Skak “Berkat bundamu di rumahlah, kalian bisa seperti ini, Maya. Kamu jadi sarjana yang pernah membanggakan Ayah karena cumlaude serta pernah bekerja di tempat yang bonafide. Sedangkan adikmu, Navita, dia bisa jadi juara tiga umum di sekolahnya saat penerimaan nilai ujian sekolah kemarin. Semua berkat Bunda Lisa hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak ke mana-mana.” Ayah malah memberikan pembelaan. Membuat hatiku jadi perih sendiri. Walaupun sudah dibela, muka Bunda kulihat tetap merah padam. Pasti karena ucapanku yang sangat nyelekit tadi. Rasakan itu, Bun. Aku bisa lebih pedas lagi kalau dia berani-beraninya menyinggung tentang pekerjaan maupun bentuk fisikku. Lihat saja! “Besok aku mau jadi ibu rumah tangga juga kaya Bunda. Makanya aku mau cari suami yang kaya raya biar aku nggak perlu capek-capek kerja begadang. Kalau Mas Refal sih, sebenarnya juga udah mapan menurutku. Mungkin karena dari Mbak Mayanya sendiri nggak sih